Totalitas Masyarakat Padangtegal, Jaga Hutan Monyet dari Sampah

Totalitas Masyarakat Padangtegal, Jaga Hutan Monyet dari Sampah
info gambar utama

Sampah, satu persoalan serius yang tidak akan pernah usai keberadaannya di muka bumi ini. Kesan yang muncul begitu mendengar kata sampah pasti selalu berhubungan dengan hal-hal negatif, karena keberadaannya memang kerap kali membawa dampak buruk dan kerusakan bagi lingkungan.

Padahal, keberadaan sampah sendiri justru bergantung dari perilaku dan aktivitas yang dilakukan oleh manusia.

Sampai saat ini, tak terhitung sudah berapa banyak permasalahan sampah di sejumlah wilayah yang padahal memiliki peran penting dalam berbagai hal, seperti kawasan hutan mangrove di pesisir Jawa, sampai tumpukan sampah di jalur pendakian gunung rinjani yang merupakan kawasan wisata.

Tapi di sisi lain, tak dimungkiri pula bahwa banyak pihak yang memiliki kesadaran tinggi akan keberlangsungan lingkungan, dan pada akhirnya bersama-sama melakukan aksi nyata dalam memberangus sampah di berbagai wilayah hijau.

Dari sekian banyak gerakan yang ada, salah satu aksi yang diketahui konsisten menerapkan prinsip pengelolaan sampah dengan baik sedari dulu, nyatanya dapat ditemui pada kehidupan masyarakat Desa Padangtegal, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali.

Faktanya, prinsip pengelolaan sampah nyatanya seakan menjadi bagian dari kehidupan, demi menjaga kelestarian hutan monyet yang menjadi kawasan ekowisata dan berperan penting bagi kehidupan masyarakat setempat.

Menyelamatkan Gunung Rinjani dari Persoalan Sampah

Pemeliharaan kawasan wisata hutan monyet

Ilustrasi monyet di kawasan hutan monyet dengan potensi sampah organik
info gambar

Hutan monyet di kawasan Ubud, atau yang dikenal juga dengan sebutan Ubud Monkey Forest bagi kalangan turis mancanegara memang tak perlu dipertanyakan lagi kepopulerannya. Hutan yang didiami oleh ratusan monyet ini sejatinya sudah mulai dikelola oleh masyarakat setempat sejak tahun 1970.

Satu dekade kemudian tepatnya di tahun 1980, pengelolaan mulai dilakukan secara serius dan profesional hingga saat ini. Adapun pegelolaan secara profesional yang dimaksud adalah tanpa kecuali, salah satunya soal pengelolaan sampah yang sudah pasti ditimbulkan dari kunjungan para wisatawan setiap harinya.

Melansir Antara, Desa Padangtegal yang berada di tengah kota Ubud mengalami pertumbuhan yang sangat pesat seiring dengan meningkatnya kawasan wisata hutan monyet, mulai dari fasilitas penginapan, restoran, dan kafe.

Jika dilihat dari segi volume, sampah yang dikelola sebagai hasil dari aktivitas wisatawan pada kawasan hutan monyet yang berada di Desa Padangtegal nyatanya mencapai 72 meter kubik per hari. Jumlah tersebut diketahui jauh lebih besar dari sampah yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten Gianyar sendiri, yang hanya mencapai 15 meter kubik per hari.

Berangkat dari hal tersebut, tak heran jika pimpinan Desa Padangtegal sejak dulu sudah menanamkan prinisip pengelolaan sampah yang maju, karena ingin kawasan pariwisata daerahnya dapat berjalan dengan baik, khususnya di tengah persoalan sampah yang ada.

Karena itu, masyarakat setempat atau yang lebih dikenal dengan istilah lokal sebagai masyarakat adat (pakraman) di Padangtegal, melakukan upaya pelestarian hutan yang ketat, dan akhirnya berbuah manis dalam bentuk perkembangan Ubud yang kian pesat dan kawasan hutan monyet yang nyatanya semakin meluas.

Diketahui, bahwa kasawan hutan monyet yang tadinya hanya memiliki luas sekitar 7,5 hektare, pada tahun 2012 bertambah menjadi 12,5 hektare.

Ancaman Sampah Plastik di Hutan Mangrove Pesisir dan Upaya Mengatasinya

Detail pengelolaan sampah pada rumah kompos

Salah satu program yang digaungkan oleh perangkat Desa Padangtegal sebagai upaya untuk mengelola keberadaan sampah yaitu lewat keberadaan rumah kompos, yang sudah hadir pertama kali pada tahun 2012, dan masih terus berjalan secara konsisten hingga saat ini.

Rumah kompos hadir dengan konsep pemberdayaan masyarakat mengenai swakelola sampah serta edukasi mengenai bagaimana pengelolaan sampah yang baik dan benar. Upaya swakelola tersebut dilakukan dengan meminta masyarakat setempat melakukan upaya pemisahan sampah organik dan non-organik secara mandiri.

Sebagaimana rencana baik yang tidak selalu berjalan dengan mulus, I Made Gandra selalu Kepala Desa Parangtegal, mengungkap jika awalnya sangat sulit meminta masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam melakukan swakelola pemisahan tersebut.

Namun, program tersebut akhirnya bisa terlaksana setelah perangkat desa memutuskan untuk mengalokasikan dana yang dapat dikatakan cukup besar, untuk kepentingan program tersebut.

“Awalnya memang susah meminta masyarakat untuk memilah sampah sendiri, banyak yang marah-marah. Akhirnya kita alokasikan dana sekitar Rp65 juta per bulan demi membebaskan masyarakat dari iuran sampah (gratis), dengan syarat mereka harus memisahkan sendiri jenis sampah organik dan non-organik,” ujar Made.

Demi menjalankan ketertiban dari ketentuan tersebut, bahkan sampai dibuat peraturan dan kebijakan bahwa sampah yang belum atau tidak dipisahkan dengan baik sesuai jenisnya, tidak akan diangkut oleh petugas kebersihan.

Hasilnya, sejak tahun 2016 sebanyak 100 persen dari sekitar 670 kepala keluarga atau setara dengan 3.500 penduduk, tercatat sudah terbiasa melakukan swakelola sampah. Desa Padangtegal diketahui juga telah memiliki kebun organik seluas satu hektare yang memanfaatkan pupuk kompos dari sampah desa dan sampah hutan monyet yang sudah terkumpul.

Mengenai sistem pengelolaan secara mendetail, seluruh sampah yang dihasilkan baik dari rumah tangga atau hasil kawasan wisata hutan monyet, setiap harinya akan ada 3 truk yang bergantian melakukan pengambilan sampah. Saat sampai di rumah kompos, sampah akan organik akan diolah sementara sampah non-organik akan dipilah dan dibawa ke TPA Temesi.

Meski Rumah Kompos berada di daerah pariwisata dekat hutan monyet, disebutkan bahwa sampah tidak berbau berkat penyemprotan bahan yang sekaligus berfungsi dalam mempercepat pengomposan.

Berkat adanya program ini, salah satu warga Desa Padangtegal, yaitu Dewa Gede Putra Utama, mengaku bangga akan pengelolaan sampah yang baik di lingkungannya, terlebih sebagai kawasan yang terkenal akan wilayah pariwisata sekaligus habitat hutan monyet.

“Saya selaku warga Padangtegal sangat berbangga dengan adanya rumah kompos. Sampah merupakan masalah yang sangat penting di dalam kehidupan sehari-hari terutama masalah sampah non-organik karena sangat berbahaya dalam pencemaran lingkungan terutama sampah plastiknya yang sangat sulit terurai,” ucap Gede, mengutip Radar Bali.

Memanfaatkan Sampah Rumah Tangga Menjadi Pupuk Kompos Organik

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

SA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini