Mengenal 4 Ragam Wastra Tradisional khas Pulau Dewata

Mengenal 4 Ragam Wastra Tradisional khas Pulau Dewata
info gambar utama

Bali selama ini memang lebih dikenal karena pariwisatanya. Saking populernya, bahkan banyak orang luar negeri lebih mengenal Bali daripada Indonesia secara keseluruhan. Memang tak terelakkan pesona alam Pulau Dewata begitu menakjubkan dan terus mendapat sorotan dari berbagai media dalam dan luar negeri. Dari mulai pantai, gunung, air terjun, area persawahan, dan tak lupa kawasan belanja serta kulinernya.

Namun, jangan lupa bila Bali juga kaya akan budayanya, salah satunya adalah wastra. Bagi yang belum familier dengan wastra, istilah tersebut mengacu pada kain tradisional Indonesia tetapi berbeda dengan kain tekstil yang dibuat modern, wastra merupakan kain yang dibuat secara tradisional dengan alat manual. Bedanya dengan kain tradisional biasa, proses pembuatan wastra murni hasil tangan pengrajin.

Setiap daerah punya wastra yang khas, bisa dari material, ukuran, warna, hingga motifnya. Proses pengerjaan wastra pun beragam, mulai dari teknik perintang warna menggunakan lilin atau lebih kita kenal dengan sebutan batik. Ada pula wastra yang dibuat dengan cara ditenun, misalnya dalam bentuk ulos, songket, poleng, dan berbagai kain tenun di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi.

Saat berkunjung ke Bali, berikut beberapa wastra khas yang bisa ditemukan:

Kain gringsing

Kain gringsing berasal dari Desa Tenganan dan merupakan satu-satunya kain tradisional yang dibuat menggunakan teknik dobel ikat dan memerlukan waktu dua hingga lama tahun untuk membuatnya.

Umumnya, masyarakat Desa Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang biasa dipakai dalam acara-acara khusus seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan.

Proses pembuatan kain ini dikerjakan dengan tangan dari awal hingga akhir. Benang yang dipakai berasal dari kapuk berbiji satu dan didatangkan dari Nusa Penida. Dari benangnya saja merupakan hasil pintalan tangan dengan alat tradisional dan bukan mesin.

Setelah dipintal, benang akan melewati proses perendaman dalam minyak kemiri kemudian diikat dan pewarnaan. Bahkan perendamannya saja bisa lebih dari 40 hari sampai satu tahun. Semakin lama benang direndam, hasilnya akan lebih kuat dan lembut. Untuk motifnya, kain gringsing menggunakan tiga warna yang disebut Tri Datau.

Mengenal Griya Kain Tuan Kentang dan Kain Tenun Palembang yang Mendunia

Kain endek

Endek merupakan kain tenun tradisional Bali yang berasal dari kata gendekan atau ngandek, berarti diam, tetap, dan tidak berubah warnanya. Ciri khas kain ini ialah corak dan warna yang digunakan dan memiliki simbol-simbol sarat makna. Biasanya kain endek digunakan dalam upacara adat dan keagamaan.

Motif kain endek umumnya terinspirasi dari alam, seperti flora dan fauna untuk kegiatan sehari-hari. Ada pula kain endek dengan motif dari tokoh pewayangan mitologi Bali. Selain itu, ada beberapa motif yang hanya boleh digunakan raja atau kaum bangsawan.

Banyak kain endek yang dibuat dalam motif geometri melalui bentuk-bentuk seperti garis lurus, garis putus, dan garis lengkung. Meski tampak sederhana, geometri menjadi ragam hias tertua di Bali dan menjadi simbol keyakinan masyarakat di sana. Ada pula motif encak saji dan patra yang dianggap sakral untuk digunakan dalam upacara keagamaan.

Bila ingin melihat kegiatan menenun kain endek, Anda bisa pergi ke Kabupaten Karangasem, Klungkung, Gianyar, Buleleng, Jembrana, dan Kota Denpasar. Biasanya kain endek dibentuk sarung, kain panjang, atau selendang. Sarung digunakan laki-laki dan perempuannya memakai kain panjang.

Pesona Wastra Indonesia, Lebih dari Sekadar Kain Penutup Tubuh

Kain cepuk

Wastra lain yang bisa ditemukan di Bali adalah kain cepuk. Kain ini berasal dari Desa Tanglad, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Mrenurut sejarahnya, penggunaan kain cepuk bukan sebagai pakaian luar melainkan sebagai bagian baju dalam sebelum pakaian luar. Namun, banyak pula kain cepuk dibuat dalam bentuk busana lain sehingga tidak baku dalam penggunaannya.

Kain cepuk dibuat secara tradisional dengan ATBM atau alat tenun bukan mesin, dan menggunakan bahan alami pula. Ada berbagai macam kain cepuk sesuai dengan penggunaannya:

  1. Cepuk ngawis biasa dipakai saat upacara pitra yadnya atau upacara ngaben.
  2. Cepuk tangi gede dipakai anak tengah pada upacara ngaben yang seluruh kayak dan adiknya meninggal dunia.
  3. Cepuk liking paku dipakai laki-laki dalam upacara potong gigi.
  4. Cepuk kecubung dipakai oleh perempuan dalam upacara potong gigi.
  5. Cepuk sudamala dipakai untuk membersihkan diri.
  6. Cepuk kurung dapat digunakan dalam hari-hari biasa.
Kain Tenun Kamohu Buton, Warisan Budaya Asal Sulawesi Tenggara

Kain poleng

Saat berlibur ke Bali, tentu Anda tidak asing dengan kain berpola kotak-kotak sederhana biasanya berwarna hitam dan putih. Kain tersebut bernama poleng dan melambangkan keseimbangan antara dua hal yang bertolak belakang. Biasanya kain ini ditemukan di jalan-jalan, pepohonan besar, patung, gapura, sampai tempat ibadah umat Hindu.

Poleng merupakan kain penting dan sakral bagi masyarakat Bali. Kain-kain tersebut juga digunakan dalam berbagai seni tari, drama, dan pewayangan seperti kostum penari kecak dan juga dikenakan oleh para pecalang yang sedang bertugas.

Masyarakat Bali percaya bila patung atau pohon besar dibungkus kain poleng, menjadi tempat bersemayam sosok-sosok yang dapat menghitam-putihkan kehidupan di dunia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini