Sampah dan Pembangunan Masif Mengancam Hutan Perempuan Kampung Enggros

Sampah dan Pembangunan Masif Mengancam Hutan Perempuan Kampung Enggros
info gambar utama

Di Jayapura, Papua, terdapat sebuah hutan adat yang disakralkan yaitu Hutan Kampung Enggros. Nama Enggros berasal dari in berarti kedua dan jros artinya kampung. Kampung Enggros memiliki arti kampung kedua. Mulanya, di sana hanya ada satu kampung, yaitu kampung pertama bernama Tobati yang berlokasi di dekat Pantai Hamadi. Sedangkan Kampung Enggros sendiri berada di Teluk Youtefa.

Hutan Kampung Enggros berada di kawasan pesisir Jayapura dan memiliki luas mencapai delapan hektare yang didominasi pohon bakau. Kawasan ini sangat dijaga baik-baik oleh masyarakat sekitar, terutama kaum perempuan.

Masyarakat Kampung Enggros memiliki sebuah aktivitas yang disebut tonowiyat, yaitu ajakan untuk datang ke hutan bakau mencari kerang menggunakan kole-kole atau perahu kayu. Nantinya, kerang-kerang yang ditangkap akan dikonsumsi atau dijual ke pasar terdekat.

Aturan Hutan Kampung Enggros

Hutan Kampung Enggros bukan hutan adat biasa. Di sana ada kebudayaan yang menarik berupa pembagian wilayah untuk perempuan dan laki-laki. Meski tak ada aturan tertulis, tetapi seluruh wilayah hutan bakau hanya boleh untuk perempuan mencari makan. Bahkan, kawasan ini sampai lebih dikenal dengan nama hutan perempuan. Sementara itu, para laki-laki mencari makan di laut.

Lokasi hutan sebenarnya tak jauh dari area pemukiman warga dan hanya butuh waktu sebentar perjalanan dengan menggunakan perahu. Sesampainya di hutan, para perempuan akan mencari ikan, kerang, dan kepiting. Ada kerang yang terkenal paling enak di sana yaitu kerang noor.

Di dalam hutan, semua perempuan bebas masuk dan berkegiatan. Tak hanya mencari kerang, hutan juga jadi tempat para perempuan berkumpul dan saling mengobrol. Uniknya, mereka biasa beraktivitas dalam hutan dengan kondisi bertelanjang. Bukan tanpa alasan, kondisi tanah berlumpur di Hutan Perempuan membuat mereka sudah terbiasa berada di sana tanpa pakaian.

Adriana Youwe Meraudje, sebagai perempuan asli Kampung Enggros, menjelaskan bahwa kebiasaan mereka telanjang di hutan karena menggunakan pakaian di tanah lumpur itu membuat gatal sehingga sudah jadi kebiasaan turun-temurun.

Namun, tak perlu khawatir ada laki-laki yang mengintip sebab aturan tak tertulis tersebut memang sudah diketahui masyarakat lokal. Bahkan, bila ada yang berani mengintip pun, akan terkena denda sebagai hukuman.

Meski dikenal sebagai Hutan Perempuan, sebenarnya laki-laki bukannya sama sekali tidak boleh masuk kawasan ini. Kaum adam biasanya diperkenankan berkegiatan di hutan bila para perempuan sedang tidak bisa beraktivitas di sana, misal saat air sedang naik. Penandanya adalah air atau lumpur. Jika di sekitar hutan tampak jejak lumpur, berarti ada kegiatan perempuan di sana.

Teluk Youtefa | @Sony Herdiana Shutterstock
info gambar

Memahami Sekaligus Memecahkan Persoalan Sampah di Berbagai Hutan dan Gunung Indonesia

Ancaman sampah di Hutan Perempuan

Dari kejauhan, Hutan Kampung Enggros tampak begitu hijau dan rimbun. Namun, siapa sangka bila hutan adat ini juga mengalami ancaman kerusakan akibat sampah. Di antara pepohonan bakau, tampak tumpukan sampah mulai dari botol plastik, kulkas bekas, mesin cuci bekas, bantal, tikar, hingga aneka perlengkapan rumah tangga.

Menurut keterangan Adriana, aneka sampah yang ada di hutan ini datang dari arah Abepura, Entrop, dan Hamadi. Ketika hujan datang, sampah-sampah mengalir melewati sungai-sungai sampai akhirnya menumpuk di sana. Itu baru yang tampak di permukaan, belum lagi berbagai benda-benda yang sudah tertimbun lumpur.

Adriana mengatakan bahwa saat ini jika ingin turun mencari kerang, bahkan ia harus menginjak dulu sampah-sampah. Keberadaan kerang pun kian langka. Bahkan, untuk menjualnya ke pasar, mereka harus berusaha lebih keras dan menampung tangkapan dalam keranjang. Jika sudah dapat banyak, baru bisa dijual ke pasar.

Kondisi di laut pun tak lebih baik. Jaring-jaring yang terpasang nelayan laki-laki pun kadang berisi sampah. Kondisi air di sana sudah tercemar dan membuat masyarakat jarang menggunakan air laut untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak.

“Lewat sampah orang kota bikin rusak perempuan di kampung. Sampah bikin hancur kami pu laut, hancur kami punya hidup,” ujar Adriana seperti dikutip Mongabay.co.id.

Masalah Sampah di TN Kerinci Seblat dan Dampaknya pada Sektor Wisata

Pembangunan masif dan dampaknya pada kehidupan masyarakat

Tak hanya persoalan sampah, pembangunan masif di tempat ini juga menjadi ancaman lain. Sebelumnya, Entrop merupakan kawasan bakau dan kini telah jadi pusat bisnis.

Belum lagi, Presiden Joko Widodo meresmikan sebuah jembatan megah yang dikenal dengan nama Jembatan Merah sebagai penghubung Kota Jayapura dengan Kabupaten Keerom dan perbatasan Papua New Guinea. Di bawahnya ada Pantai Ciberi yang ramai dikunjungi wisatawan dan banyak lapak pedagan yang juga tidak menyelesaikan permasalah sampah.

Hutan bakau terus tergerus dengan penebangan masif dan alih fungsi hutan ini terus berlanjut. Kawasan hutan semakin menyusut seiring dengan pembangunan infrastruktur dan sampah yang mencemari alam dan kehidupan warga Kampung Enggros yang memang memggantungkan hidupnya pada hutan bakau.

"Yang kami sesali itu, Hutan Perempuan, kalau kami ke sana cari kerang, aduh tidak seperti dulu. Karena sampah," tutur Adriana kepada Kompas.com. "Padahal hutan perempuan itu kami punya tempat kalau kami lagi ada masalah, di situlah kami tempat curhat. Di situ kami bisa keluarkan isi hati.”

Sejak tahun 1967, Teluk Youtefa telah kehilangan kawasan hutan bakau hingga 50 persen dengan kerusakan tergolong tinggi. Hutan yang terus menyusut tentunya berdampak pada menurunnya jumlah biota perikanan.

John Dominggus Kalor, dosen Ilmu Kelautan dan Perikanan dari Universitas Cendrawasih, mengatakan bahwa status pencemaran di Teluk Youtefa sudah ‘lampu merah’. Hutan yang awalnya dimanfaatkan mencari hasil laut untuk keperluan masyarakat tercemar dan dampaknya tentu terasa pada orang-orang yang hidup di sana. Sumber mata pencaharian berkurang karena tangkapannya pun semakin sedikit.

Kata Yopince Hanasbey, warga Kampung Enggros yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar, dahulu kerang-kerang di Hutan Perempuan berukuran besar. Namun, saat ini ukuran kerang pun lebih kecil. Kualitas air pun semakin menurun hingga ibu-ibu di sana jadi tidak bisa mengolah kerang dengan mudah.

“Orang-orang tua dahulu, begitu pulang dari mencari kerang di hutan mangrove, kerang-kerang tersebut cukup direbus sekali kemudian dapat langsung di makan,” katanya. “Kini merebus kerang harus tidak atau empat kali, baru dapat dimakan.”




Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

DA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini