Burung Kuau Raja, Berjuluk '100 Mata' dengan Suara yang Terdengar Hingga Ratusan Meter

Burung Kuau Raja, Berjuluk '100 Mata' dengan Suara yang Terdengar Hingga Ratusan Meter
info gambar utama

Indonesia merupakan negara yang dianugerahi dengan beragam keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya flora dan fauna eksotis yang tidak ditemukan di negara lain. Hampir setiap pulau memiliki flora dan fauna endemik yang menjadi identitas. Salah satunya adalah burung kuau raja dari Sumatera yang beberapa waktu lalu ditemukan kembali setelah dinyatakan punah.

Mengenal Burung Kuau Raja

Burung Kuau Raja adalah burung eksotis asli pulau Sumatera yang pernah dianggap punah. Namanya mungkin tak seterkenal merak, jalak, cenderawasih, atau kasuari, tetapi burung kuau raja memiliki keunikan berupa ratusan corak berbentuk bulat-bulat kecil berbentuk serupa mata di tubuhnya dan akan terlihat jelas saat ia mengepakkan sayapnya.

Burung Kuau raja memiliki nama ilmiah Argusianus argus dan termasuk salah satu suku Phasianidae. Burung ini tersebar di Asia Tenggara dan ditemukan di hutan tropis di Sumatra, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia. Burung ini telah ditetapkan sebagai fauna identitas Sumatra Barat lewat Kepmendagri Nomor 48 Tahun 1989.

Keunikan burung kuau raja

Burung Kuau Raja memiliki keistimewaan tersendiri. Jantannya punya dua bulu utama pada bagian ekor sepanjang satu meter. Ketika burung mengepakkan sayap, bulu panjang ini akan tampak membentuk seperti kipas raksasa dengan tinggi hingga 140 cm. Pada bagian sayap tersebut juga akan muncul bulatan-bulatan seperti ratusan mata kecil yang membuat tubuhnya tampak begitu cantik.

Biasanya, aksi kepak sayap dan memamerkan bulu ini dilakukan pada saat musim kawin untuk memikat pasangannya. Jika dilihat sekilas, aksi pamer kipas raksasa ini mirip burung merak. Namun, pada kuau raja, kipas berada di bagian tengah tubuh dan ketika ia mempertontonkannya, bagian kepala si jantan akan nyaris tertutup.

Ratusan mata pada sayap kuau raja ini menarik perhatian banyak pihak. Salah satunya biolog terkemuka asal Swedia peletak dasar tatanama biologi, Carolus Linnaeus (1707-1778). Ia adalah sosok yang memberikan nama ilmiah Argusianus argus pada kuau raja. Nama Argus merupakan raksasa bermata seratus dalam mitologi Yunani. Dalam Bahasa Inggris, burung ini juga dikenal dengan nama Great Argus.

Keunikan lain dari kuau raja adalah ia tak dapat terbang jauh. Namun, ia adalah pelari yang cepat dan bisa berpindah-pindah tempat dengan melompati dahan-dahan pohon.

Kuau raja jantan mengeluarkan suara khas "ku-wau" berulang-ulang setiap 15-30 detik. Suaranya nyaring dan bisa terdengar hingga jarak ratusan meter.

Mengidentifikasi fisik Burung Kuau Raja

Burung kuau raja memiliki bulu dengan dominasi warna cokelat kemerahan dan kulit kepalanya biru. Burung jantan dewasa memiliki ukuran sangat besar, bahkan panjang bisa mencapai 200 meter. Di atas kepalanya terdapat jambul dan bulu tengkuk berwarna hitam. Ekor burung jantan dewasa juga sangat panjang.

Burung betina ukurannya lebih kecil dengan panjang sekitar 75 cm dengan jambul kepala kecokelatan. Bagian ekor dan sayapnya pun tak sepanjang jantan dan hanya dihiasi dengan sedikit corak bulat-bulat serupa mata serangga yang disebut oceli.

Mengenali burung kuau raja sebenarnya sangat mudah karena corak yang spesifik dan ukurannya besar. Mereka hidup di kawasan hutan, dari dataran rendah hingga ketinggian 1.300 mdpl. Burung ini jarang ditemukan di hutan sekunder dan hutan bekas tebangan.

Untuk bertahan hidup, kuau raja makan buah-buahan yang jatuh, siput, biji-bijian, semut, dan berbagai serangga. Mereka juga suka mencari sumber air untuk minum sekitar pukul sebelas siang.

Sosok kuau raja jantan pernah diabadikan dalam perangko seri "Burung Indonesia: Pusaka Hutan Sumatra" pada 15 Juli 2009. Burung ini juga sudah terkenal di dunia dan pernah menjadi bagian dari ilustrasi dalam buku karya Charles Darwin yang berjudul “The Descent of Man” yang terbit tahun 1874. Sang illustrator bernama TW Wood menggambarkan kuau raja sedang mengembangkan kipas raksasanya.

Contoh bulu kuau raja jantan juga tersimpan di Natural History Museum London. Bulu ini ditemukan pada tahun 1871 saat disematkan sebagai hiasan pada topi dari Hindia-Belanda yang saat itu dibawa ke London dan informasi ini didapatkan dari hasil riset profesor konservasi Asia asal Newcastle University, Phillip McGowan pada tahun 2009.

Kisah Macan Tutul Jawa, Dahulu Dihormati Sekarang Diburu

Ancaman kepunahan

Sumbar Eka Damayanti selaku Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat mengatakan bahwa kuau raja tidak memiliki musuh. Ancaman terbesar di habitat aslinya adalah kerusakan hutan. Baik itu karena penebangan kayu liar, kebakaran hutan, hingga alih fungsi hutan.

Kuau raja juga tidak terbebas dari perburuan liar untuk mengambil daging dan bulunya yang dikenal eksotis. Saat ini, populasi kuau raja di alam liar, terutama di kawasan Bukit Barisan, belum diketahui jumlahnya. Pihak BKSDA masih terus melakukan pendataan jumlah burung tersebut.

Pada tahun 2013, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengeluarkan red list dan memasukkan kuau raja dalam Appendix II CITES dengan status Near Threatened atau mendekati nyaris punah.

Dua tahun sebelumnya, organisasi para zoologi yang mendalami ilmu burung internasional, International Ornithologists Union, pun telah memasukkan nama kuau raja ke dalam daftar burung yang harus dilindungi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

DA
MI
MS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini