Suku Naulu, Ritual Pengasingan Wanita dan Penggal Kepala sebagai Mas Kawin

Suku Naulu, Ritual Pengasingan Wanita dan Penggal Kepala sebagai Mas Kawin
info gambar utama

Indonesia memiliki lebih dari seribu suku bangsa atau kelompok etnis yang memiliki perbedaan soal cara hidup, budaya, dan tradisi masing-masing. Meski tak sedikit suku yang hilang ditelan zaman atau sudah lebih modern, nyatanya masih ada suku-suku kecil dengan kebudayaan unik masih bisa ditemui.

Salah satunya adalah Suku Naulu yang tinggal di kawasan pesisir selatan Pulau Seram, Maluku. Masyarakat Naulu kebanyakan datang dari Maluku Utara, tepatnya Pulau Halmahera. Setelah perang hotebanggoi, mereka bermigrasi ke wilayah selatan Pulau Seram dan berdiam di hulu Sungai Noa di Desa Sepa, Kecamatan Amahai.

Suku Naulu dikenal dengan tradisi menyeramkan pada masa lalu, termasuk di antaranya mengasingkan para perempuan dan memenggal kepala untuk mas kawin.

Mengenal orang Suku Naulu

Masyarakat Suku Naulu tersebar di Desa Sepa, Seram, tepatnya di daerah Yaisuru, Nua Nea, Bunara, Latan (Kampung Lama), Hahuwalan, Simalouw, Rohua, dan Rohua Waemanesi.

Sistem kemasyarakatan mereka dibagi dalam 12 klan atau marga, yaitu Pia, Matoke, Kamama, Sounawe Aepura, Sounawe Aenakahata, Sopalani, Perissa, Hury, Nahatue, Soumory, Leipary, dan Rumalait.

Kaum laki-laki biasa mengenakan natahari atau kaeng berang, kain merah yang diikat di kepala dan menjadi khas Suku Naulu. Secara etnis, mereka ada hubungannya dengan Manusela dalam hal bahasa dan keyakinan Naurus. Namun, Suku Naulu juga diketahui mengikuti agama Hindu.

Naurus merupakan agama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Tuhan pencipta alam semesta yang gaib dan maha agung disebut Upuku Anahatana. Namun, karena agama ini tidak diakui negara, terkadang mereka mencantumkan agama lain yang diakui demi berurusan dengan birokrasi negara seperti pendidikan, pernikahan, pekerjaan, dan pembuatan KTP.

Dalam kepercayaan Naurus, hubungan dengan Tuhan tidak dilakukan secara langsung, melainkan lewat perantara. Masyarakat Naulu percaya dalam setiap aspek kehidupan ada roh atau upu yang mengontrol keseharian mereka.

Adapun para upu yang senantiasa menjaga alam semesta, yaitu Nue Nosite (penjaga laut), Wesia Upue (penjaga darat), Sionoi Aha (penjaga udara), dan Seite Upue (penjaga hutan atau kebun).

Ketika berinteraksi dengan masyarakat luar, Suku Naulu senantiasa mengedepankan perasaan damai. Mereka memiliki prinsip yang dipegang teguh, yaitu selama berbuat baik maka tidak akan ada hal buruk yang datang.

Gawai, Ritual Adat Suku Dayak Iban Sebagai Wujud Rasa Syukur Atas Panen Melimpah

Ritual Suku Naulu

Suku Naulu dikenal memiliki beberapa tradisi yang telah dilakukan secara turun-temurun. Salah satunya adalah pataheri. Ini adalah ritual untuk para lelaki yang telah dianggap dewasa. Selama ritual yang disebut upacara cidaku ini, laki-laki akan mengenakan kaeng berang di kepala dan cawat.

Ritual tersebut akan dimulai dengan puasa satu hari, sejak pukul tiga dini hari hingga enam sore. Selama puasa, kaeng berang diikat di leher karena diyakini akan menjauhkan diri dari gangguan setan.

Usai berpuasa, mereka akan berkumpul di numa onate atau rumah utama, dan diberikan pakaian adat karanunu onate. Mereka akan didampingi oleh seorang kapitan atau panglima perang menuju rumah orang tua kapitan untuk memohon doa agar diberikan keberanian dan terhindar dari bahaya. Setelah berdoa, mereka kembali ke numa onate dan mengambil perlengkapan seperti parang, panah, tombak, dan satu tas berisi sirih pinang.

Tetua adat akan memberikan perlengkapan tersebut dengan menghadap ke utara, kemudian menuju pintu belakang arah ke timur untuk memimpin menuju ke tempat ritual di dalam hutan. Ritual pataheri juga melibatkan pemenggalan kepala manusia untuk perayaan atas kedewasaannya. Tak hanya itu, memenggal kepala juga dilakukan dalam upacara adat, misalnya saat mendirikan rumah adat baru sebagai persembahan untuk para dewa.

Masyarakat Suku Naulu memenggal kepala manusia untuk dijadikan persembahan pada nenek moyang. Mereka percaya tradisi ini wajib dilakukan demi terhindar dari bahaya dan musibah. Selain itu, tradisi tersebut juga dianggap menjadi simbol kebanggaan dan kekuasan. Bagi suku ini, kepala manusia memiliki arti penting. Bahkan, dijadikan mas kawin saat masyarakat Suku Naulu menikah.

Tradisi yang berasal dari masa lalu ini berawal dari raja Suku Naulu dalam memilih calon menantunya. Sebagai bukti kejantanan, maka laki-laki harus membawa kepala mahusia sebagai mas kawin.

Selain pataheri untuk laki-laki, ada pula ritual pinamou untuk perempuan menuju dewasa. Ritual ini akan mengasingkan perempuan yang baru mendapat menstruasi pertama. Mereka akan diasingkan dari keluarga dan masyarakat sementara waktu karena darah haid dianggap tidak baik bagi lingkungan adat.

Para perempuan ini akan dibawa ke posune selama sebelas hari. Posune merupakan rumah kecil yang terbuat dari daun rumbia. Luasnya sekitar 2x2 meter. Biasanya posune terletak di bagian belakang rumah atau pinggiran kampung.

Selama diasingkan, mereka akan dilayani oleh ibu atau saudara perempuan. Di dalam posune, mereka hanya akan dibekali dengan tempat tidur, sarung, piring dari daun sagu, dan batu tungku untuk memasak. Mereka harus makan makanan kering dan tidak boleh berkuah. Selama pinamou, para perempuan tidak boleh keluar dari posune, termasuk pulang ke rumah orang tuanya.

Saat pinamou selesai, akan dilakukan upacara adat dengan berkeliling kampung untuk menunjukkan pada warga desa bahwa perempuan tersebut sudah dewasa dan siap menikah.



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini