Eddy Soetriyono, Kurator Seni yang Setia Jadi Jembatan Seniman dengan Masyarakat

Eddy Soetriyono, Kurator Seni yang Setia Jadi Jembatan Seniman dengan Masyarakat
info gambar utama

Kurator senior dan kritikus seni rupa, Eddy Soetriyono dikabarkan berpulang pada Sabtu, 9 Oktober 2021. Lahir di Semarang, 3 Maret 1956, Eddy muda yang kala itu masih SMP sudah menunjukkan ketertarikannya pada seni rupa, mulai dari seni rupa murni, komik, ilustrasi, desain tekstil, pernak-pernik perhiasan, hingga pasar seni.

Sejak menjadi mahasiswa di Departemen Seni Rupa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, dia aktif berkeliling Indonesia, Asia, dan Eropa untuk mempelajari seni murni beserta desainnya.

Setelah lulus pada 1982, dia menjadi dosen di almamaternya. Kemudian dirinya menjadi wartawan dan editor mingguan Tempo serta turut andil melahirkan majalah Swa.

Eddy juga pernah menjadi executive editor di Gatra, serta sebagai editorial consultant sejumlah majalah terkemuka. Selalu aktif menulis esai dan ulasan termasuk seni rupa, karya-karyanya dimuat di Kompas, Media Indonesia, Pikiran Rakyat dan lain-lain.

Dirinya juga tercatat sebagai penulis beragam buku seperti Kisah Sukses Liem Sioe Liong (1989), Palon (2008), Affandi (2007), Indonesia Porcelain Figurines (2007), Lanskap China Indonesia dari Ma Yung Qiang (2007), Dari Bunga ke Panorama (2005),

Eddy juga mendirikan C-Arts Magazine yang berfokus pada perkembangan seni kontemporer di Asia. Dirinya sekaligus bertindak selaku chief editor.

Coretan Mural, Cara Seniman Suarakan Kemerdekaan hingga Curhatan

Sebagai kurator, Eddy Soetriyono telah mengkurasi sejumlah pameran, beberapa diantaranya ialah: Pameran Bersama “The Sizhuan Movement, New Paintings from China”, Museum Nasional Indonesia (2008), Pameran Tunggal “Palon” dari pematung Noor Ibrahim, Galeri Nasional Indonesia (2008), Pameran Tunggal seniman Heriawan Siauw, Langgeng Gallery, Jawa Tengah (2007).

Pameran Tunggal seniman Ma Yung Qiang, Museum Nasional Cina (Namoc), Zhong Guo Mei Su Guan, Beijing, Cina (2007), “Art Festival Surabaya”(2006), “Jakarta Biennale XII”, Galeri Nasional Indonesia, Museum seni visual dan Keramik Jakarta, Taman Ismail Marzuki, (2006), “Bali Biennale I” (2006), Pameran Tunggal Made Wianta, Emmitan Gallery, Surabaya (2005), dll.

Kurator sebagai jembatan

Eddy sebagai kurator seni sering melihat ragam estetik kontemporer di dunia seni rupa. Adanya ragam ini melahirkan karya-karya penuh dengan ironi dan penyikapan atas masterpiece dari seniman-seniman terdahulu.

Menurutnya era kini telah mendorong para perupa kontemporer, seperti lazimnya intelektual kreatif lainnya, untuk lebih saksama dalam menegaskan pilihan estetik dan proses ciptanya. Sebagaimana fenomena dalam berbagai bidang seni, terdapat simpang kenyataan yang harus disikapi.

"Selain bagaimana menyikapi warisan tradisi, juga tak terelakkan hadirnya sistem simbolik dan tata nilai baru yang ditawarkan globalisasi," jelasnya dalam Kelas Kreatif Bentara dengan judul Seni Rupa Kita dalam Perspektif Kini.

Karena itu, kata Eddy, para kreator kini haruslah menyadari sekaligus berupaya mengungkapkan masalah-masalah yang sebenarnya secara sistematis melalui sarana artisitik serta intelektual dalam dialektika antara yang lokal dan yang global. Menurutnya hal ini bisa menghasilkan suatu ragam modernitas atau postmodernitas.

".... Di mana masyarakat (baca:pencipta) setempat adalah pelaku yang sesungguhnya dari perubahan yang dialaminya, bukan hanya sebagai pelengkap penderita saja (plagiat atau pengekor), melainkan pelopor," tegasnya.

5 Seniman Muda Indonesia yang Mendunia

Baginya banyak seniman kini yang tidak menyadari akan adanya tantangan atau risiko menyangkut pilihan-pilihan tersebut. Hal mana itu juga membatasi pemahaman mereka atas yang sesungguhnya telah dan tengah terjadi.

Padahal, tambah Eddy, dunia penciptaan dipenuhi oleh berbagai karya yang sekadar mengadopsi ikon, corak dan nilai-nilai yang diandaikan sebagai global, tersaji dalam suatu ragam seni yang tak jelas identitasnya. Di sisi lain, rentetan peristiwa di ruang publik, informasi-informasi serentak yang bersifat lokal maupun global, sering disikapi secara banal dan permukaan.

"...Serta kemudian memicu lahirnya karya-karya yang artifisial, kurang mengandung kedalaman perenungan," bebernya.

Eddy pun berharap para seniman tidak terjebak dalam dua sisi, global atau lokal. Tetapi bisa menggabungkannya menjadi sebuah karya yang global lokal (glokal), hal inilah yang menjadi tren dalam penciptaan karya seni kontemporer.

"Mengapa mereka tidak bisa? Ya tidak mau melanjutkan tradisi. Kontemporer, kamu jangan memisahkan tradisi dan modern, ambil semua," tegasnya.

Di sinilah menurutnya tugas seorang kurator dalam menjembatani antara seniman dengan publik. Seorang kritikus seni, ucapnya, tidak boleh hanya memperkenalkan karya seni dari sisi harganya saja, namun juga estektikanya.

"Kurator itu jembatan supaya senimannya sama kolektor bisa lewat. Yang kelas berat, misal truk bisa lewat, kelas ringan, vespa bisa lewat. kurator jangan berdiri menghalangi," tegasnya.

"Saya (kurator) hanya sebagai jembatan. Tugasnya duduk rebah. Agar senimannya bisa lewat. Jangan ngomong ndaki-ndaki tapi karyanya tidak dibicarakan. Gambarnya kita perlihatkan jangan hanya kata-kata," tambahnya.

Memang menurutnya penyebab bangkrutnya kritik seni adalah akibat menjamurnya profesi kurator, yang “dibarengi” secara beriringan. Penyusutan penulisan kritik seni rupa dan profesi kritikus, berbanding terbalik dengan makin terlihatnya peran kurator, pengusaha galeri, kolektor, dan art dealer.

"Karena sejumlah kritikus menjadi sibuk mempromosikan pelukis laris, dengan mengambil peran sebagai kurator, penulis katalog, maupun monografi," ketusnya.

Kurator melihat harga seni

Sebagai kurator senior, Eddy banyak menilai beberapa harga seni yang laku di pasaran. Tidak hanya laku, beberapa karya seni bahkan bisa dihargai mahal oleh kolektor.

Namun untuk mempromosikan sebuah karya seni, baginya seorang seniman harus menojolkan sisi estetika dan juga ekonomi. Dari dua sisi inilah, sebuah karya seni bisa dinilai harganya.

Misalnya saat melihat dari aesthetic value, seorang seniman yang tidak bisa mengembangkan estetika dalam sebuah karya seni, baginya tidak sedang melukis tetapi hanya menggambar.

"Itu pelukis pinggir jalan di Blok M banyak. Memang harus diangkat biar mereka laku tiap hari? Ini tidak sama, dunia lukis ini soal kasta. Emang yang mau beli (karya seni bagus) semua orang?" Tandasnya.

"Lukisan bagus yang harganya Rp3 miliar, yang bisa bayar harga bagus, ya orang langka," tambahnya.

Belajar Bersama Maestro di Studiohanafi: Pengelolaan Seni Dalam Alur Penciptaan dan Produksi

Selain itu, katanya, positioning seniman juga tidak gampang. Karena itu saat karya seni sudah dihargai mahal, jangan langsung mereka hebat.

Baginya saat karya seni memang sudah pantas dihargai dengan mahal. Akan terlihat dari permintaan saat sebuah karya sudah terbit di pasar.

"Urusannya bukan laku atau tidak laku. Kalau aesthetic value bagus tetapi tidak laku itu bodoh marketingnya. Tetapi kalau lukisan jelek, penjualnya bagus tetap tidak bakal laku," sindirinya.

Hal ini karena setiap karya seni akan dipantau oleh beberapa pihak, seperti para kurator, museum hingga para kolektor. Pihak yang terakhir inilah yang nanti akan membentuk nilai ekonomi dari sebuah karya.

"Nilai ekonomi itu bisa terlihat saat kolektor ada yang berani membeli. Sebuah karya kalau tidak digubris dengan kolektor ya habis," ucapnya.

Namun dirinya menyampaikan seniman perlu membedakan fenomena antara kolektor murni dan kolektor tengkulak. Kolektor murni sendiri adalah kecintaan seseorang yang berkorban demi sebuah lukisan bernilai, dan dia tak menjual lukisan lagi.

Sedangkan kolektor tengkulak berusaha berdagang lukisan dengan harga jutaan, dengan modal sekecil-kecilnya dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

"Sebar ke semua orang. Saat karya kalian diserang, akan dibela dari segala sisi. Kita tidak perlu membela, berkarya saja," tegasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini