Mengenal Anggau, Hewan Endemik yang Jadi Masakan Suku Mentawai

Mengenal Anggau, Hewan Endemik yang Jadi Masakan Suku Mentawai
info gambar utama

Selain dikenal karena budaya dan objek wisatanya, Mentawai juga memiliki kuliner tradisional yang layak mendapatkan sorotan. Tak hanya sagu dan keladi yang jadi makanan pokok, masyarakat Mentawai juga mengolah bahan-bahan tak biasa sebagai masakan lezat, seperti ulat kayu, ulat sagu, hingga kepiting yang menjadi endemik daerah tersebut.

Mentawai sejatinya merupakan sebuah kabupaten kepulauan yang terletak di pulau Sumatra dan daerahnya dikelilingi oleh Samudera Hindia. Mentawai menjadi bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik dan gugus kepulauan tersebut merupakan puncak-puncak dari punggung pegunungan bawah laut.

Kabupaten tersebut terdiri dari empat kelompok pulau utama, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan yang mayoritas dihuni oleh masyarakat Suku Mentawai dan Suku Minangkabau.

Jika berkesempatan mengunjungi Mentawai, tentunya harus meluangkan waktu untuk mencicipi kulinernya yang khas dan sulit ditemukan di daerah lain. Berikut daftarnya:

Mencicipi Nasi Menok dan Tepo Tahu, Hidangan Tradisional Khas Magetan

Anggau siboik-boik

Hidangan yang satu ini agaknya terasa lebih 'normal' dari dua makanan sebelumnya. Namun, anggau siboik-boik juga terbilang unik karena bahan dasarnya adalah hewan endemik Mentawai. Anggau merupakan hewan jenis kepiting dengan cangkang berwarna ungu, badannya berwarna hitam, sedangkan kaki dan capitnya kemerahan.

Biasanya musim anggau adalah Agustus hingga September. Karena waktunya sebentar, tak heran bila masyarakat berbondong-bondong mendapatkan kepiting ini. Bahkan, musim anggau ini dijadikan agenda wisata oleh pemerintah setempat yang dikenal dengan nama Festival Muanggau.

Untuk membuat hidangan anggau siboik-boik, kepiting harus dibersihkan dan dibelah jadi dua bagian. Kemudian, dibumbui dengan bawang merah, bawang putih, jahe, daun kunyit, dan lada. Semua bahan dicampur jadi satu, ditambahkan air, dan direbus hingga matang serta bumbunya meresap.

Setelah matang, anggau biasa disantap dengan subbet, hidangan perpaduan antara keladi, pisang, dan kelapa yang dibentuk bulat-bulat serupa klepon.

Ragam Kuliner Khas Nias dengan Nama Unik, Hambae Nititi hingga Gowi Nifufu

Batra

Seperti halnya di Papua, masyarakat Suku Mentawai juga terbiasa menyantap ulat sagu yang disebut batra. Biasanya, batra dikonsumsi usai panen sagu, yang akan menjadi makanan utama mereka. Setelah sagu ditebang, dalam rentang waktu tiga bulan akan muncul larva dan akan dipanen sebagai lauk.

Paling mudah mengolah ulat sagu ini dengan dijadikan sate. Cukup ditusuk di bambu, diberi sedikit garam, dan dibakar di atas bara api. Setelah matang, sate batra akan terasa gurih dan beraroma lezat dari proses pembakaran.

Selain dibuat sate, batra juga bisa dimasak di dalam bambu. Untuk cara yang satu ini, perut ulat harus diiris terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam bambu, dan dibakar. Meski dimasak tanpa air, saat matang, batra akan berair berwarna kekuningan dan siap disantap dengan sagu.

Kemudian, batra juga bisa ditumis dengan campuran air kelapa muda atau diasap di atas perapian sampai warnanya menghitam dan kering.

Mirip Roti Jala India, Ragit Kudapan Khas Palembang yang Legit

Toek

Hidangan selanjutnya ini mungkin agak mirip dengan batra, yaitu sama-sama dari ulat. Bedanya, toek merupakan hewan serupa cacing atau ulat berwarna putih kekuningan. Biasanya toek didapatkan dari hasil rendaman kayu sungai selama tiga bulan. Namun, kayu yang dipakai pun bukan sembarangan, melainkan kayu tumung, kayu bak-bak, kayu mai geuk-geuk, dan kayu etet.

Kayu tumung bisa dibilang paling sering dipakai masyarakat Suku Mentawai karena proses pembuatan toeknya lebih cepat. Kayu tumung (Campnosperma auriculatum) tumbuh di hutan-hutan dan cukup mudah ditemukan. Setelah direndam tiga bulan di sungai, kayu diangkat dan dibelah dengan kapak. Di dalam kayu tersebut akan terdapat banyak lubang tempat bersarang ulat.

Setelah dibersihkan, toek bisa langsung dimakan dan bahkan lebih nikmat disantap mentah-mentah. Namun, bagi yang belum terbiasa, toek juga bisa ditumis dengan bumbu seperti bawang merah dan cabai, kemudian diberi garam dan perasan jeruk nipis.

Toek tak selamanya mudah ditemukan sebab proses pembuatannya tergantung pada cuaca. Jika sedang kemarau, toek tidak akan jadi karena air di sungai pun kurang lancar. Namun, pada musim hujan, ketika sungai deras pun, toek bisa kurang bagus karena air cenderung kurang bersih.




Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini