Mengenal Tiga Tradisi Unik Perayaan Maulid Nabi di Sulawesi Selatan

Mengenal Tiga Tradisi Unik Perayaan Maulid Nabi di Sulawesi Selatan
info gambar utama

Perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW atau Maulid telah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia yang telah diperingati sebagai ritual tahunan, dirayakan pada 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah.

Menurut Schimmel kecenderungan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad secara besar-besaran muncul pertama kali di Mesir selama era Fatimiyah (969 M- 1171 M). Ini dinilai logis karena orang-orang Fatimiyah mengklaim sebagai keturunan Nabi melalui putrinya Fatimah. Pada perayaan maulid di awal- awal ini berisi kegiatan berupa kutbah, penyajian, serta pembagian kue-kue dan madu yang merupakan kesukaan Nabi, khususnya kepada masyarakat yang miskin.

Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138H/1193M). Pandangan lain menyatakan bahwa ide perayaan Maulid ini berasal dari Sultan Salahuddin sendiri.

Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan Kota Yerusalem.

Di Sulawesi Selatan, tradisi Maulid masih terus dilakukan hingga saat ini, di mana setiap daerah punya corak atau kreativitas tersendiri untuk merayakannya.

Terdapat banyak tradisi Maulid di Sulsel, namun ada tiga tradisi maulid yang cukup unik dan dikenal luas oleh masyarakat Sulsel, yaitu tradisi maulid laut Maudu Lompoa di Cikoang Takalar, Damulu Banua di komunitas adat Kaluppini Enrekang, dan Maulid Kaddo Minyak di komunitas adat Batu Bassi Maros.

Bungo Lado; Tradisi Sambut Maulid Nabi dengan Pohon Uang

Maudu Lompoa, Cikoang Takalar

Maudu Lompoa adalah perayaan maulid di Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Disebut Maudu Lompoa karena Maulid ini terbesar sebagai puncak dari penyelenggaraan di daerah itu. Maulid akbar biasa pada 29 Rabiul Awal Hijriah.

Maudu Lompoa biasa juga disebut Maulid laut karena dirayakan oleh masyarakat pesisir dengan menggunakan perahu sebagai wadah Maulid, di mana perahu-perahu itu digotong ke pantai tempat perayaan Maulid.

Perahu yang digotong itu bukanlah perahu biasa. Mereka menyebutnya julung-julung. Sebuah replika perahu kayu khas Sulawesi, yang biasa digunakan nelayan setempat menangkap ikan.

Berbeda dengan perahu biasa, perahu ini lebih ‘berwarna’ karena telah didandani sedemikian rupa dengan beragam macam kelengkapan sehari-hari. Mulai dari baju, celana, kain, hingga lemari plastik, dan seprei. Bahkan sabun, odol, dan panci, bergelantungan di sepanjang sisi perahu.

Layar yang dibuat berwarna-warni dari berbagai macam kain ini konon perlambang kedatangan ajaran kebenaran Nabi yang dibawa Sayyid Jalaluddin, sang pelopor. Motif kain yang dipilih bisa bermacam-macam sesuai selera pemilik perahu. Sebuah perahu di perayaan ini bahkan ada dipasangi kain berbendera Amerika.

Julung-julung atau perahu arakan ini bertiang empat agak tinggi hingga terlihat mirip sebuah panggung. Di bagian belakang perahu ditempeli uang kertas Rp5.000 atau Rp10.000. Julung-julung ini berisi hidangan khas berupa nasi pamatara atau setengah matang. Dilengkapi lauk ayam kampung dan telur warna-warni penuh hiasan bunga kertas dan male atau guntingan kertas minyak menyerupai tubuh manusia.

Uniknya, perahu-perahu ini--di sepanjang perayaan maulid--hanya ditambatkan di sepanjang pesisir sungai Cikoang, yang hanya berjarak 100-an meter dari pesisir pantai. Lokasi itu menjadi tempat berlabuh perahu-perahu nelayan setelah berlayar di lautan lepas.

Sementara prosesi arak-arakan julung-julung ini disebut angngantara’ kanre maudu atau mengantar persiapan maulid ke lokasi pelaksanaan Maudu Lompoa.

Setelah tiba di lokasi, sebuah ruang terbuka di depan Balla Lompoa (aula besar) masyarakat adat Karaeng Laikang, rombongan menyebar mengelilingi perahu. Tabuh gendang tetap terdengar bertalu-talu. Tidak hanya saling menyiram air dan melempar lumpur, sejumlah pemuda membentuk lingkaran kecil.

Mereka memeragakan mappenca’ atau atraksi pencak silat. Dua orang bergantian bertarung adu silat, dan saling berpelukan setelah pertarungan tuntas.

Perayaan maulid ini telah menjadi kewajiban warga setempat setiap tahun. Selain sebagai tanda syukur atas kelahiran Nabi junjungan mereka, juga ungkapan tanda syukur atas rezeki yang mereka dapatkan dari setahun lalu.

Ada keyakinan, perayaan Maulid adalah sebuah tradisi yang harus mereka lestarikan. Tak perduli dengan besar kecil perayaan itu, yang jelas harus dilakukan. Syarat utama setiap orang menyedekahkan 4 liter beras dan 1 ekor ayam.

Empat liter beras ini memiliki makna, setiap manusia terdiri atas empat segi atau kejadian manusia terdiri dari empat asal, yaitu tanah, air, angin, dan api. Berbagai laku dan kelengkapan dalam ritual ini memiliki makna mendalam, yang menggambarkan proses awal yang melatarbelakangi maulid di masa lalu.

Perayaan Maudu Lompoa di Cikoang sudah sejak ratusan tahun silam. Tepatnya sejak 1621, ketika ulama besar dari Aceh bernama Sayyid Jalaluddin datang ke daerah ini untuk penyebaran agama Islam.

Sayyid merupakan keturunan Arab Hadramaut Arab Selatan yang dianggap sebagai keturunan dari Nabi Muhammad SAW ke-27. Di Cikoang, meski sempat pendapat penentangan dari kerajaan setempat, karena dinilai orang asing yang tidak jelas.

Tapi setelah mampu menunjukkan kesaktian, dia diterima dengan baik. Dia dinikahkan dengan putri dari bangsawan Kerajaan Gowa bernama I Acara Daeng Tamami--kebetulan berdomisili di Cikoang. Sayyid menjadi cikal bakal keturunannya di Cikoang.

Di mulai zaman Sayyid inilah Maudu Lompa rutin dan terlembagakan dalam ritual kerajaan setempat. Apalagi ketika pengaruh Sayyid, selalu diartikan sebagai “keturunan Nabi” di Cikoang ini makin kuat dari segi pemerintahan dan keagamaan.

Dari zaman Sayyid ini hingga sekarang perayaan Maulid terus dilakukan. Inilah yang membuat desa ini dikenal sebagai ‘Kampung Maulid’.

Sebelum perayaan maulid, berbagai persiapan dilakukan, seperti penyediaan ayam, beras, minyak kelapa, telur, perahu, dan berbagai perlengkapan lain. Proses ini dimulai sebulan sebelum 12 Rabiul Awal, atau sekitar 10 Shafar Hijriah.

Beberapa persiapan dengan mengurung ayam yang akan disembelih agar sehat. Ayam-ayam inilah disembelih oleh anrongguru atau pemuka agama dari keluarga Sayyid.

Beras yang digunakan harus ditumbuk sendiri, bukan dari pabrik. Lesung untuk menumbuk padi dipagari dan tak boleh rapat ke tanah. Tak diperkenankan bagi penumbuk padi menginjak bagian atas lesung.

Proses ini secara hati-hati dan dipastikan tak satu pun padi yang ditumbuk tercecer ke tanah. Ampas padi harus dikumpulkan pada tempat yang tidak mudah kena kotoran dan terjaga hingga selesai zikkiri’ atau pembacaan Sura’ Rate’.

Pada bagian akhir maulid dilakukan pambageang kanre maudu’ atau pembagian makanan Maulid. Semua makanan dan aksesoris perahu dibagikan kepada setiap orang di tempat itu, dimulai dari para tokoh agama yang membacakan zikkiri dan Sura’ Rate’. Proses ini berlangsung meriah, orang-orang berebutan mengambil telur yang dinilai sebagai berkah.

Setelah semua proses itu, perahu-perahu ini mengarungi sungai dan lautan, menuju rumah mereka masing-masing dengan arak-arakan.

7 Tradisi Unik Perayaan Maulid Nabi di Indonesia

Damulu Banua di Kaluppini, Enrekang

Tradisi Maulid lain yang cukup unik adalah Maulid di komunitas adat Kaluppini, Kabupaten Enrekang, yang biasa disebut Damulu Banua.

Bagi masyarakat Kaluppini, Damulu adalah sebuah ritual keagamaan yang wajib dilaksanakan. Jika di daerah lain, waktu pelaksanaan maulid hanya sebulan saja, maka di Kaluppini berlangsung hingga tiga bulan. Dalam rentang tiga bulan ini, setiap rumah tangga yang memiliki hajatan ataupun kebetulan ada pesta perkawinan ataupun kematian, biasanya akan dirangkaikan dengan perayaan maulid tersebut.

Pelaksanaan Damulu Banua ini memiliki makna tersendiri, karena merupakan puncak perayaan Maulid. Semua orang yang pernah bernazar atau bermohon sesuatu kepada Tuhan, akan membayar nazarnya sesuai dengan kemampuannya. Ada yang membayar dengan memotong beberapa ekor ayam. Bagi yang memiliki uang lebih, akan memotong seekor atau beberapa ekor sapi.

Ratusan ayam dan beberapa ekor sapi yang dipotong merupakan tahapan penting pelaksanaan Damulu Banua. Hewan-hewan ternak itu, setelah diberkati, langsung dipotong oleh salah seorang pemangku adat. Ayam-ayam yang telah dipotong segera dibersihkan, direndam di air panas sebelum dicabuti bulu-bulunya.

Setelah bersih, ayam itu dibakar hingga hangat dan benar-benar bersih. Puluhan lelaki kemudian memotong ayam-ayam itu dalam potongan kecil, lalu dikumpulkan, sebelum akhirnya dimasak dengan hanya menggunakan bumbu garam.

Selama menunggu masaknya makanan tersebut, di dalam masjid, para pemangku adat bersama warga membaca barzanji. Dilafalkan berulang-ulang dengan irama tertentu, khas Kaluppini. Laki-laki dan perempuan berkumpul di dalam masjid, meski tak bercampur.

Di tengah-tengah masjid terdapat tumpukan pisang yang tersusun rapi, yang sekelilingnya dipenuhi makanan songkolo dan nasi putih yang terbungkus daun pisang.

Setelah seluruh makanan selesai dimasak, beberapa laki-laki mulai mendatangi warga yang hadir satu persatu membagikan songkolo, nasi, lauk pauk ayam dan sapi yang siap santap. Sebagai pengganti piring, digunakan daun jati dan daun pisang. Sementara untuk pengganti mangkuk sop, digunakan tempurung kelapa.

Kepala Desa Kaluppini kemudian berkeliling mengawasi pembagian makanan tersebut. Tidak hanya di dalam masjid, orang-orang di luar masjid juga mendapatkan jatah makanan yang sama. Selama proses pembagian makanan ini tak boleh ada yang mendahului makan. Makanan baru bisa dikonsumsi setelah semua orang yang hadir mendapatkan jatah makanan.

Penggunaan daun jati dan daun pisang ternyata memiliki maksud tersendiri. Daun-daun itu nantinya digunakan sebagai pembungkus makanan yang tidak dihabiskan, karena porsinya memang cukup besar. Sisa makanan itu, yang disebut nande sesa atau ‘makanan sisa’ akan dibawa pulang, untuk dimakan bersama keluarga.

Berbeda dengan tempat lain, maulid di Kaluppini bukan dirayakan dengan telur, namun buah-buahan yang lagi musim dan manis. Paling sering pisang dan nangka.

Ini Dia Sejarah Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW

Maulid Kaddo Minyak di Komunitas Adat Batu Bassi, Maros

Pelaksanaan Maulid di komunitas adat Batubassi, Kabupaten Maros, juga cukup unik dan berbeda dengan daerah lain. Pelaksanaan Maulid ini menjadi ajang silaturahmi warga, baik yang masih ada di Batu Bassi ataupun yang tinggal di perantauan.

Perayaan Maulid ini pun biasanya akan mengundang warga-warga lain dari desa dan kecamatan tetangga. Para tamu akan mendapat perlakuan khusus, termasuk mendapatkan bingkisan Kaddo Minyak setelah acara tuntas.

Tradisi maulid Kaddo Minyak ini adalah salah satu tradisi yang masih bertahan dari sejak ratusan tahun silam sejak masuknya Islam di abad 17. Konon, Batu Bassi ini dulunya merupakan pusat pendidikan spiritual di Sulsel. Tempat dididiknya anak-anak raja. Pelaksanaan maulid biasanya tepat pada 12 Rabiul Awal, namun terkadang diundur pada kondisi tertentu.

Pelaksanaan maulid ini bukan sekadar perayaan seremonial, namun juga sebagai perayaan kehidupan, ungkapan rasa syukur atas hidup dan limpahan hasil panen pertanian mereka. Warga juga meyakini pelaksanaan maulid akan membuat rezeki semakin lancar.

Maulid juga dianggap ajang untuk bersedekah dan menyambungkan hubungan yang terputus. Dalam perayaan Maulid ini mereka biasanya saling bertukar Kaddo Minyak.

Uniknya, karena pertukaran Kaddo Minyak ini dilakukan secara acak, sehingga mereka tidak bisa memilih dengan siapa mereka akan bertukaran.

Hal menarik lainnya dari perayaan Maulid ini, adalah isi dari kaddo minyak tersebut. Kalau dulunya hanya berupa songkolo atau nasi ketan, ayam, atau ikan dan telur, maka seiring perkembangan zaman, isinya mulai bercampur dengan makanan-makanan modern, seperti biskuit, permen, roti, fanta, coca-cola, dan lainnya. Bahkan ada juga yang menambahi dengan sarung, piring, panci, bahkan kipas angin.

Beragam bentuk dan isi Kaddo Minyak ini, akan menunjukkan status sosial pemiliknya. Semakin membaik status ekonomi maka Kaddo Minyak-nya pun semakin beragam dan mahal. Ada yang nilainya mencapai jutaan rupiah. Jenis barang yang dimasukkan dalam bungkusan adalah jenis makanan yang disenangi dan sering dikonsumsi.

5 Perayaan Unik, Maulid Nabi Muhammad

Ditulis oleh Wahyu Chandra - Makassar

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini