Komedi Stambul, Hiburan Populer Masyarakat pada Zaman Kolonial

Komedi Stambul, Hiburan Populer Masyarakat pada Zaman Kolonial
info gambar utama

Pada awal abad ke-20, lahir sebuah pertunjukan teater sandiwara keliling di Surabaya bernama Komedi Stambul. Pertunjukan mereka menjadi semacam hiburan untuk masyarakat Hindia Belanda pada masa itu.

Nama Komedi di sini tak lantas berarti kisah lucu. Komedi di sini artinya pertunjukan. Mereka menyajikan musik di setiap pertunjukannya, biasanya menampilkan musik gambus, keroncong, mars, dan polka.

Sementara itu asal mula kata Stambul berasal dari nama Istambul. Nama ini digunakan untuk mematrikan kesan eksotik dunia timur.

Apalagi pada zaman itu, Istambul telah terkenal sebagai kota kebudayaan, dengan cerita-cerita sejarah yang dramatis dan memerlukan musik serta nyanyian pengiring yang menghidupkan suasana tragedi.

Selain itu hampir 90 persen pertunjukan yang dipentaskan kelompok ini mengadaptasi kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa. Hal ini juga ditambah pengaruh teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay dan banyak mengelilingi wilayah Indonesia semenjak 1883 Masehi.

Banyak yang mengira, Komedi Stambul merupakan produk impor dari Turki. Padahal sebenarnya pertunjukan ini merupakan hasil karya bangsa pribumi.

"Pakaian, lagu, dan segala perlengkapan diurus oleh pribumi. Kelengkapan kostum termasuk fes merah, banyak dikenakan oleh para aktor Stambul," beber Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai Revolusi.

Melihat 5 Periode Perkembangan Teater di Indonesia

Pelopornya saat itu adalah seorang Indo-Eropa bernama August-Mathieu. Sedangkan urusan dana diurus oleh Yap Goan Thay. Kostum para pemain Stambul cenderung mengikuti pola Eropa.

"Seorang China kaya meminjamkan modal dan menggunakan rumahnya yang besar untuk disewa sehingga akhirnya dia mampu membuat dan menggelar karyanya di gedung pertunjukan. Dia menghimpun para aktor dan dia sendiri menjadi sutradara," ucapnya.

Komedi Stambul saat itu tidak hanya manggung di dalam negeri, tetapi juga mancanegara, seperti Singapura dan Malaya (Malaysia). Kelompok ini melalang buana melalui jalur darat maupun laut.

Saat itu mereka menggelar pertunjukan seperti Aladin dengan Lampu Wasiat, Ali Baba dengan Empat Puluh Penyamun, dan Pengail dengan Roh Jahat. Awal mula, para pemain sangat kesulitan memainkan peran tetapi lambat laun berhasil menarik para penonton.

Mengutip dari Indonesia.go.id, bentuk pertunjukan dari Komedi Stambul saat itu adalah pementasan teater dengan menggunakan panggung berbingkai atau prosenium. Nantinya latar dari pertunjukan yang berupa layar besar akan berganti-ganti ilustrasi sesuai dengan cerita yang diinginkan.

Sedangkan kru dari setiap pertunjukan Stambul rata-rata lima puluh orang bahkan lebih. Mereka menggunakan lagu-lagu Melayu sebagai musik pengiring pertunjukannya, atau disebut Stambulan. Sehingga banyak lagu di Stambulan yang berisi sastra Melayu sangat populer dan kemudian dikenal oleh masyarakat luas.

"Lagu harus dinyanyikan dengan nada yang lebih halus, lembut, mengharukan, dan mendayu-dayu. Pada perkembangannya, lagu-lagu Stambul kemudian dimainkan di luar acara musik penggung Komedi Stambul," paparnya.

Meraih sukses besar dalam pertunjukan keliling

Sejak awal pertunjukan ini memang didesain untuk masyarakat kelas atas. Hal ini sudah terlihat dari dekorasi panggung yang terlihat mewah dan glamor. Tidak sembarang orang bisa menikmati pertunjukan Komedi Stambul, terutama bila bukan dari kalangan bangsawan.

Namun lambat laun, Komedi Stambul yang awalnya terkesan eksklusif di wilayah Pecinan Surabaya, mulai menjadi pertunjukan keliling. Apalagi setelah kota-kota metropolis mulai tumbuh sehingga tidak sabar menunggu pertunjukan mereka.

Pertunjukan keliling inilah yang kemudian mengundang para artis, biduan, penari didikan istana, hingga orang biasa untuk mencari keuntungan. Mereka kemudian membentuk sebuah kelompok pertunjukan keliling yang nantinya dikenal sebagai Tobong. Sementara itu Komedi Stambul punya cara untuk menarik para penonton agar hadir dalam pertunjukannya.

"Mulai dari membagikan leaflet, menggunakan ensemble Italia, menggelar tombola (lotre), sampai menerbangkan balon udara yang sebelumnya gagal terbang di depan gedung teater," tulis Kathleen Azali dalam artikel berjudul Komedie Stamboel, teater populer zaman kolonial asal Krembangan, seperti dikutip dari Ayorek.

Kathleen mencatat saat itu para pemain Komedi Stambul melakukan Atraksi tableaux vivant, di mana para aktor diam tak bergerak. Hal ini ditambah dengan panorama realis fantastis dari sejarah atau legenda yang mendapat sambutan hangat penonton.

Melihat 5 Periode Perkembangan Teater di Indonesia

"Selain karena noni-noni Indo yang terkenal kecantikannya, fenomena gambar realis juga sedang marak-maraknya di Indonesia," bebernya.

Karena itulah berbondong-bondong, masyarakat membeli karcis Komedi Stambul untuk menonton empat sampai lima jam pertunjukan. Misal di Mangga Besar, terlihat penonton dari beragam strata sosial datang saat pertunjukan mereka.

“Khalayak ramai sungguh tersedot oleh Komedie Stamboel, alhasil kerumunan itu jadi sulit diatur. Warga Belanda menggoda paksa seorang istri dari pria Tionghoa. Perkelahian pun pecah saat rombongan Mathieu memainkan Sahir Zaman. Polisi sampai harus turun tangan menggeret pria Tionghoa, memanggil andong, kereta pengangkut untuk membawa pria tadi pulang ke rumah," beber Matthew Isaac Cohen The Komedie Stamboel: The Popular Theater in Colonial Indonesia 1891-1903, yang dinukil dari Kompas.

"Di ujung lain, seorang sinyo yang beken di antara pengendara andong/sado memulai perkelahian. Pekerja seks bersama bos mereka berkumpul di dekat tenda panggung. Sementara itu, serdadu mabuk nan sombong diikat di sado yang ada di luar teater. Itu sebagai lelucon, jelas saja penonton malah jadi khawatir," ucapnya.

Tidak heran, jelas Cohen, dalam periode 30 Maret-24 Mei 1894, Komedie Stambul menangguk untung besar, mereka sukses mengantongi pemasukan bersih sebesar 10.000 gulden.

"Meskipun lagi-lagi kondisi cuaca yang buruk, hujan mendera membuat beberapa reportoar batal ditampilkan, tahun 1894 itu bagi Mathieu dan rombongan merupakan tahun sukses," pungkasnya.

Menginspirasi pertunjukan lain

Tentunya, kelompok pertunjukan ini ada masa jatuh dan bangun, Komedi Stambul sebagai perusahaan sering kali bangkrut. Pada tahun 1896, Mathieu berpindah menjadi direktur Sri Stambul, lalu Komedi Stambul Bunga Mawar di 1898, dan terus mengalami perpindahan hingga akhir hayatnya.

"Kematiannya yang cepat mengakhiri karyanya dan menamatkan usaha Komedi Stambul tersebut. Ada juga penerusnya yang mengusahakan agar Komedi Stambul ini tetap hidup, tetapi akhirnya tidak sukses," jelas Djoko.

Tetapi warisan dari Komedi Stambul ternyata masih terasa hingga sekarang. Model reportoarnya terdengar dalam debat politik, sinetron, hingga teater daerah.

Djoko menulis bahwa dari reportoar Komedi Stambul ini menjadi langkah pertama dalam pertumbuhan dunia film di Indonesia. Misalnya film pertama yang dibuat di Bandung pada 1928, berjudul Loetoeng Kasaroeng.

Dua tahun kemudian adaptasi cerita panggung Komedi Stambul Lily van Java di angkat ke layar film. Selanjutnya berturut-turut cerita-cerita lain seperti Si Tjonat, Resia Borobudur, Nyai Dasima, Melati van Agam, dan lain sebagainya.

Menarik, Anak Bangsa Pentaskan Karya Dunia!

Melodi-melodi standar Stambul kemudian menjadi kerangka dasar lagu-lagu keroncong, dan nantinya sering ditampilkan dalam pentas gambang kromong dan wayang cokek di berbagai soehian di Batavia.

"Di luar lingkaran teater dan hiburan, irama Stambul I yang menjadi kerangka keroncong bahkan diadaptasi menjadi lagu kebangsaan Malaysia," ucap Kathleen.

Komedi Stambul kemudian banyak melahirkan kelompok pertunjukan lain, seperti Komedi Stambul Miss Ribut Orion 1925 yang merupakan pesaing Komedi Stambul Dardanella.

Cerita-cerita yang mereka bawakan selain gaya Komedi Stambul adalah khas Dardanella seperti De Roos van Serang, Annie van Mendut, Lily van Cikampek, suatu jenis lakon yang kemudian dikenal dengan julukan Indische Roman.

Selanjutnya ada kelompok Komedi Stambul Miss Tjitjih 1928 di Batavia yang menyuguhkan sandiwara cerita Melayu. Di sinilah muncul nama perempuan muda bernama Tjitjih yang mahir bersandiwara, menari dan bernyanyi.

Tentunya yang paling melegenda adalah kelompok Komedi Stambul Srimulat 1950 di Solo yang warisannya masih terasa hingga kini. Pertunjukan komedi ini populer sejak tahun 70-an yang melahirkan para komedian seperti Tessy, Asmuni, Gogon, Basuki, Timbul dan masih banyak lagi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini