Indonesia Masuk ke Daftar Negara dengan Risiko Penularan Covid-19 Terendah versi CDC

Indonesia Masuk ke Daftar Negara dengan Risiko Penularan Covid-19 Terendah versi CDC
info gambar utama

Sekitar awal bulan Oktober lalu, Indonesia telah membuktikan keberhasilan dalam menangani gelombang kedua dari situasi pandemi yang terjadi, dan mendapat pencapaian yang memberi angin segar berdasarkan peringkat kinerja sejumlah negara dalam menangani hantaman Covid-19 yang dirilis oleh Nikkei Asia.

Lewat sebuah laporan bertajuk Covid Recovery Index, Indonesia berada di peringkat teratas se-Asia Tenggara dan peringkat ke-54 dunia dalam pemulihan Covid-19, yang dinilai berdasarkan manajemen infeksi, vaksinasi, serta mobilitas sosial setiap akhir bulan.

Berdasarkan peringkat tersebut, dimiliki indikasi bahwa semakin tinggi peringkat yang diraih maka semakin sedikit atau rendah kasus positif yang terjadi di suatu negara, atau dalam hal ini Indonesia.

Terbaru, pencapaian akan keberhasilan penanganan tersebut rupanya masih terus dipertahankan dan mendapat pengakuan serupa, setelah Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat atau CDC, memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara yang berada di level 1 risiko penularan Covid-19 paling rendah.

Indeks Pemulihan Covid-19 Asia Tenggara, di Mana Posisi Indonesia?

Satu-satunya di kawasan Asia Tenggara

Ilustrasi kasus Covid-19
info gambar

Tanpa mengesampingkan perjuangan yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, pencapaian ini sejatinya berhasil dimiliki berkat kerja keras dari sejumlah pihak terutama para tenaga kesehatan yang telah berjuang di sepanjang tahun ini.

Melansir laman resmi CDC, Senin (1/11/2021), terpantau ada sebanyak 29 negara di seluruh dunia yang masuk ke level sama. Dari sejumlah negara tersebut, beberapa di antaranya adalah Selandia Baru, Paraguay, Kuwait, dan negara yang diketahui menjadi awal mula lokasi ledakan infeksi virus terjadi, yaitu China dan Hong Kong.

Berdasarkan data tersebut pula, diketahui bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang berada di level tersebut.

Sementara itu jika melihat pada tingkatan level yang lebih tinggi, sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Brunei, Myanmar, Thailand, dan Singapura masih ada di level 4 dengan risiko penularan Covid-19 paling tinggi.

Filipina dan Vietnam berada di daftar negara level 3 yang memiliki risiko penularan cukup tinggi, sedangkan untuk Kamboja dan Laos berada di daftar negara yang tidak diketahui secara spesifik mengenai level dan tingkat penularan Covid-19 yang terjadi.

Terlepas dari hal tersebut, standar penilaian seperti apa yang sebenarnya digunakan oleh CDC dalam menentukan level tinggi atau rendahnya risiko penularan Covid-19 di suatu negara?

Mengenal 10 Jenis Vaksin Covid-19 yang Digunakan di Indonesia

Kriteria penilaian risiko penularan versi CDC

CDC
info gambar

Mengutip Kompas.com, diketahui bahwa CDC menetapkan kriteria penilaian utama yang digunakan untuk menentukan tinggi atau rendahnya level penularan Covid-19.

Secara lebih spesifik, ketentuan ini mengukur jumlah kasus infeksi baru selama 28 hari terakhir di suatu negara, dan membandingkannya dengan jumlah penduduk di negara yang bersangkutan.

Adapun perbandingan yang dimaksud dihitung berdasarkan jumlah penduduk per 100 ribu jiwa, dengan detail penetapan level sebagai berikut:

  • Level 1: kurang dari 50 kasus/100 ribu jiwa,
  • Level 2: 50-99 kasus/100.000 jiwa,
  • Level 3: 100-500 kasus/100.000 jiwa, dan
  • Level 4: lebih dari 500 kasus/100.000 jiwa.

Selain mengamati tingkat risiko penularan dari kriteria tersebut, CDC juga diketahui memantau perkembangan kasus baru harian di setiap negara tertentu, apakah risiko penularan Covid-19 yang terjadi cenderung meningkat, menurun, atau stabil.

Menilik Kemungkinan Covid-19 Menjadi Endemi, Apa Bedanya dengan Pandemi?

Anti lengah, persiapan menghadapi kemungkinan gelombang ketiga

Walau telah mendapat sejumlah pengakuan yang membuktikan keberhasilan Indonesia dalam menangani terpaaan dua gelombang Covid-19 yang terjadi, dan di saat bersamaan juga didukung oleh data yang menunjukkan bahwa angka kasus kian menurun atau cenderung stabil, hal tersebut tentu tidak membuat sejumlah pihak terutama dalam hal ini pemerintah menjadi lengah.

Tidak ingin mengulang kesalahan seperti lonjakan kasus gelombang kedua yang terjadi setelah liburan Hari Raya Idul Fitri beberapa waktu lalu, kali ini sejumlah langkah preventif diketahui sudah dilakukan untuk meminimalisir adanya risiko gelombang ketiga.

Salah satu kebijakan yang dilakukan belum lama ini dan berhasil mencuri banyak perhatian adalah dengan penghapusan cuti hari libur Natal dan Tahun Baru yang sedianya jatuh pada hari Jumat, 24 Desember 2021 mendatang.

Kepastian mengenai kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) bersama antara Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang hari libur nasional dan cuti bersama 2021.

Meski mengundang banyak pro dan kontra, keputusan tersebut sejatinya dilakukan demi mencegah lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi akibat tingginya mobilitas masyarakat di momen liburan, hal tersebut dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dalam sebuah rilis pemerintah yang dimuat oleh berbagai media nasional.

"Kebijakan tersebut semata-mata dilakukan untuk membatasi pergerakan orang yang lebih masif menjelang libur akhir tahun," ungkap Muhadjir.

"...kami harapkan jumlah mereka yang akan melakukan perjalanan bisa dibatasi dan juga dikendalikan. Terutama di dalam pengawasan menghindari kemungkinan terjadinya gejala ikutan yaitu mereka pulang pergi membawa oleh-oleh Covid-19," harapnya.

Melihat Kembali Efektivitas Kebijakan PPKM dalam Menurunkan Kasus Covid-19

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

SA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini