Mencari Dobi dengan Menapaki Jejak Kampung Legendaris di Bandung

Mencari Dobi dengan Menapaki Jejak Kampung Legendaris di Bandung
info gambar utama

Hanya tersisa alat pancing dan tumpukan sampah yang menghiasi area bibir dari mata air Ciguriang yang berlokasi di Kebon Kawung, Kota Bandung. Kini nasibnya terlihat kumuh dan hanya diramaikan dengan kegiatan memancing warga sekitar.

Padahal Ciguriang menyimpan banyak cerita sebagai salah satu kampung tertua di Bandung. Salah satunya adalah kisah para dobi atau jasa cuci pakaian pada zaman kolonial Belanda yang sekarang dikenal sebagai benatu atau laundry.

Dipaparkan dari Ayobandung,Minggu (4/12/20211) yang mengambil referensi dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karangan Haryoto Kunto dijelaskan para dobi ini memanfaatkan mata air Ciguriang untuk mencuci pakaian.

Di saat itu mata air ini masih cukup bersih, penduduk masih menggunakannya untuk kepentingan mandi dan mencuci pakaian di tepinya. Sampai kemudian mulai muncul modifikasi untuk menawarkan jasa mencuci pakaian.

Apalagi pada tahun 1884, mulai dibuka jalur kereta api dari Bandung-Batavia untuk mempercepat pengangkutan hasil perkebunan yang dimiliki para tuan tanah di Priangan, sehingga ikut menarik manusia dari kota lain masuk ke Bandung.

Menelusuri Gua Pawon, Rumah Orang Bandung pada Zaman Purba

Mereka yang datang tentunya akan di jamu, sehingga tumbuh hotel dan penginapan. Selain itu juga ada beberapa fasilitas yang ditawarkan agar para penginap nyaman, seperti sprei yang harus selalu diganti dan bersih.

Disinilah muncul benang merah antara jasa wisata dengan para pencuci pakaian. Sehingga melahirkan salah satu jasa yang dapat menghasilkan uang bagi masyarakat sekitar.

Walau aktivitas cuci mencuci telah ada sebelum stasiun dibuka, tetapi momen itu menjadi penting karena beriringan dengan Bandung yang sedang bertransformasi menjadi kota.

Memamfaatkan lokasinya yang dekat dengan pusat kota dan memiliki mata air yang terbuka, Kebun Kawung akhirnya menelurkan Kampung Dobi sebagai tempat mencuci pakaian.

Kampung dobi yang meramaikan Bandung

Jejak keberadaan Kampung Dobi tidak hanya terlacak di Bandung, tetapi juga di sepanjang Pulau Sumatra dan Jawa. Misalnya saja jejak Kampung Dobi di Johor, Malaysia dan di Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar).

Istilah dobi muncul dari bahasa India yang merujuk pada aktivitas mencuci pakaian di sepanjang sungai di Kota Mumbai. Para dobi ghat ini cukup populer hingga menarik minat Bollywood untuk memfilmkan kisahnya.

Maka tidak mengherankan Joanne Kathleen Rowling memberi nama dobi untuk karakter peri sang asisten rumah tangga dalam cerita Harry Potter. Pasalnya para peri ini memiliki karakter serupa dengan kegiatan dobi di Ciguriang dan beberapa tempat lain.

Fakta yang menarik, mayoritas para dobi ini berasal dari kaum pria. Alasannya kegiatan mencuci pakaian ini membutuhkan tenaga yang besar dengan membantingkan pakaian pada alas cuci berupa batu nisan.

Di daerah Ciguriang memang terdapat banyak batu nisan karena dahulu daerah tersebut merupakan kompleks pemakaman Kebon Jahe Pajajaran yang kini telah dipindahkan ke Jalan Pandu.

Para dobi ini akan bekerja mulai dari malam hari hingga fajar menjelang. Mereka akan menggunakan lampu cempor atau obor sebagai alat penerangan saat sedang mencuci.

Gedung Merdeka, Bangunan Kolonialisme hingga Jadi Tempat Persatuan Asia-Afrika

Layaknya seorang petani yang sedang menumbuk pagi, para dobi ini juga bersenandung dengan bahasa Sunda. Senandung dan suara pakaian yang dibanting ini akan menghasilkan suara yang mengusir sepi di malam hari.

"Puluhan benatu membanting cucian sehingga membentuk irama musik. Menurut catatan Haryoto Kunto yang juga tinggal di daerah Kebon Kawung jika dahulu dari tengah malam hingga subuh terdengar irama musik padahal itu orang sedang mencuci," ujar pegiat sejarah Komunitas Aleut, Irfan Teguh.

Biasanya mereka mencuci pakaian dengan menggunakan sabun batang yang juga dipakai untuk mandi. Setelah dicuci dan dikeringkan, pakaian akan ditabur dengan tepung kanji agar mengkilap.

Setelahnya pakaian akan disetrika dengan arang beralaskan daun pisang agar wangi. Untuk dapat mencuci pakaian di mata air Ciguriang, para dobi hanya perlu membayar uang senilai satu sen.

Pesanan jasa mencuci ini datang dari warga Belanda hingga pejabat bumiputra yang bermukim di Bandung. Termasyhurnya para dobi ini memang mendatangkan pelanggan dari beragam kalangan.

"Pesanan banyak datang dari berbagai daerah. Bahkan pernah ada pesanan yang datang jauh dari Soreang," ujar salah satu sesepuh di sekitar mata air Ciguriang, Sarlan.

Para dobi dalam kenangan

Kini kisah para dobi yang meramaikan malam-malam para warga di Kebun Kawung hanya menjadi kenangan. Banyak dari mereka telah pensiun, alasannya mata air Ciguriang tidak lagi dapat digunakan sebagai sumber mencuci pakaian.

Mata air Ciguriang memang kini telah kotor selain itu sudah mulai berkurang karena terbagi dengan sumur buatan warga. Apalagi pada tahun 1974, GOR Padjadjaran berdiri sehingga saluran air terbagi dan sebagian besar tersedot ke artesis.

"Kegiatan mencuci berhenti sekitar tahun 1970 ketika saluran terbagi dengan sumur warga dan kebutuhan di GOR Padjadjaran. Padahal tahun 1960 masih digunakan anak kecil untuk berendam sebelum disunat. Kalau sekarang dipakai warga sekitar untuk memancing," ujar Sarlan.

Dalam penelusuran yang dilakukan oleh Komunitas Aleut, ada sesepuh bernama Pak Dodo bercerita kisah dobi yang telah menghilang dari kampungnya. Salah satu dobi dari kampung tersebut adalah Ayah Us Tiarsa (penulis buku Bandung Halimunan) yang bernama Pak Oyo, kini telah meninggal.

Menurut Dodo, masyarakat masih menggunakan Mata Air Ciguriang untuk mencuci pakaian tetapi tidak sebagai dobi. Hal ini karena mulai menjamurnya industri laundry rumahan akibat murahnya harga mesin pencuci elektronik.

Braga Permai, Restoran Jadul Bernuansa Eropa Klasik di Bandung

Apalagi waktu pengerjaannya yang cepat, menjadi salah satu alasan para konsumen lebih memilih jasa laundry kiloan. Hal yang lebih pasti adalah para dobi ini tidak mau keturunannya mengikuti jejaknya, sekolah yang tinggi tentu diharapkan bisa memberikan pekerjaan layak.

Selain kisah dobi yang diceritakan turun-temurun oleh warga Kebon Kawung. Hal serupa juga terjadi kepada penemuan sejarah berupa batu nisan yang banyak ditemukan di sekitar Ciguriang.

Daerah ini memang merupakan Kuburan Kristen Kebon Jahe. Sehingga banyak batu nisan yang digunakan oleh dobi untuk menjadi alas mencuci.

Salah satunya adalah nisan dari Elisabeth Adriana Hinse Rieman yang diduga merupakan istri dari arsitek Lawang Sewu di Semarang. Ukuran dari nisan ini sebesar pintu rumah dengan inskripsi lengkap.

Bentuk tulisannya sangat sederhana, Selain nama lengkap Elisabeth ada juga tulisan "Geb. Amsterdam 9 Maart 1859" dan "Overl. Bandoeng 13 Januari 1903."Panjangnya usia dari nisan ini tentunya menyimpan begitu banyak kisah yang perlu dipelihara.

Namun, bukannya digunakan sebagai bahan pembelajaran, ketika penemuan nisan ini pada tahun 2015, kondisinya sudah tidak terawat dan terkulai di Kantor Kelurahan Pasirkalik.

"Jadi serba salah ketika kita menemukan sesuatu yang memiliki nilai sejarah lalu dipublikasikan namun ketika diamankan pemerintah justru tidak terawat. Kalau tahu begitu lebih baik tetap digunakan warga untuk mencuci," ujar Irfan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini