Matoa, Varietas Unggul dan Tanaman Identitas dari Tanah Papua

Matoa, Varietas Unggul dan Tanaman Identitas dari Tanah Papua
info gambar utama

Indonesia merupakan negara tropis dengan tanah yang subur dan memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Selain itu, jangan lupa bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang membuat sektor pertanian memiliki peranan penting dalam menunjang perekonomian nasional. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian.

Sektor pertanian dan perkebunan di Tanah Air pun sangat menjanjikan karena didukung dengan curah hujan tinggi dan banyak sinar matahari. Hasil seperti sayur-mayur dan buah-buahan pun sangat beragam, bahkan banyak ditemukan varietas unik dari sebuah daerah yang kemudian menjadi identitas dari daerah asalnya.

Salah satunya adalah buah matoa yang menjadi tanaman identitas Papua. Karena dinilai memiliki bentuk dan rasa yang unik, matoa telah ditetapkan sebagai varietas unggul melalui Keputusan Menteri Pertanian RI. 160/Kptps/SR.120/3/2006.

Ada yang sudah pernah mencoba buah ini?

Mengenal Pohon Ulin, Si Kayu Besi yang Dibanggakan oleh Suku Dayak

Karakteristik buah matoa

Matoa termasuk jenis pohon besar yang bisa tumbuh setinggi 50 meter dengan diameter batang 100 cm. Batang pohon matoa merupakan kayu keras berbentuk silinder sedangkan akarnya memiliki sistem akar tunggang. Pohon matoa bisa berbuah sekali saja dalam setahun. Bunga akan tumbuh sekitar bulan Juli-Oktober kemudian berbuah tiga-empat bulan setelahnya.

Sekilas, tampilan matoa mirip dengan buah pinang bentuk lonjong dengan kulit keras warna hijau, merah, dan hitam. Namun, bila dicicipi, rasa matoa cenderung manis dan beraroma wangi seperti perpaduan antara leci, rambutan, dan kelengkeng.

Di Papua ada dua jenis matoa yang dikenal masyarakat, yaitu matoa kelapa dan matoa papeda dengan perbedaan tekstur buahnya. Matoa kelapa memiliki daging buah yang kenyal seperti rambutan, sedangkan daging buah matoa papeda lebih lembek dan lengket.

Umumnya, matoa papeda banyak tersebar di Provinsi Papua Barat sedangkan matoa kelapa lebih banyak ditemukan di bagian tengah dan timur Provinsi Papua. Matoa juga dibedakan menjadi tiga jenis lagi berdasarkan warna kulitnya yaitu Emme Bhanggahe (matoa kulit merah), Emme Anokhong (matoa kulit hijau), dan Emme Khabhelaw (matoa kulit kuning).

Sementara itu dari pihak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua telah melakukan kegiatan karakterisasi pada beberapa tanaman matoa di Kampung Hebeaibulu, Kelurahan Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura.

Dari keterangan BTPT Papua, matoa di kampung tersebut memiliki ciri khas berupa tinggi pohon 10-15 meter dengan batang bulat berwarna cokelat tua dan daun berwarna hijau tua dengan pangkal tumpul serta ujung meruncing. Untuk buahnya berbentuk bulat lonjong, berwarna hijau dan memiliki permukaan kulit buah yang licin. Saat masih muda, buahnya keras dan berubah menjadi lunak ketika ditekan, serta memiliki rasa manis.

BTPT Papua juga melakukan kegiatan karakterisasi matoa ke kampung-kampung lain. Misalnya, di Kampung Besum, Distrik Namblong, matoa ditemukan berwarna hijau dan memiliki daun lebar. Sedangkan di Kampung Yakotim, Distrik Kemtuk Gresi, daunnya lebih lebar memanjang dan buahnya hijau.

Kemudian di Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, matoa memiliki buah berwarna putih dan tidak terlalu lembek, selain itu daunnya bergerigi. Ada lagi matoa di Kampung Sere, Distrik Sentani Tengah, dengan karakter tepi daun bergelombang, warna daun hijau tua, daging buah berwarna putih kekuningan dan terlepas dari bijinya dan memiliki rasa manis.

Matoa bisa langsung dikonsumsi dan rasanya segar serta memiliki aroma yang menyegarkan khas buah-buahan tropis. Bila sedang musim, matoa banyak dijual di pasar dan pedagang kaki lima. Karena kulitnya tebal dan keras, matoa cenderung awet dan bisa disimpan sampai satu minggu tanpa pengawetan.

Mengenang Menteng, Buah Asli Indonesia yang Kini Semakin Langka

Persebaran buah matoa

Buah matoa tersebar di dataran Seko (Jayapura), Wondoswaar-Pulau Weoswar, Anjai Lebar, Warmare, Armina-Bintuni, Ransiki, Pami-Nuni (Manokwari), Samabusa-Nabire, dan Pulau Yapen.

Di daerah lain, buah ini dikenal dengan beberapa nama. Di Sumatra, matoa dikenal dengan nama kongkir, lauteneng, atau pakam. Sedangkan di Kalimantan, buah ini biasa disebut galunggung, jampango, kasei, atau landur. Sementara orang Sulawesi mengenalnya dengan nama kase, landung, nautu, atau wusel. Di Jawa, buah ini disebut jagir, leungsir, atau sapen. Kemudian di Maluku disebut hatobu, loto, ngaa, atau tawan. Di Papua sendiri masyarakatnya mengenal nama lain matoa seperti ihi, mendek, mohui, senai, tawa, atau tawang.

Pada dasarnya buah matoa tersebar di seluruh dataran rendah hingga ketinggian 1.200 mdpl di wilayah Papua. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah dengan kondisi tanah kering atau tidak tergenang air dan cocok dengan iklim curah hujan tinggi. Selain tumbuh subur di Papua, matoa juga ditemukan di daerah lain seperti Jawa, Maluku, dan Sulawesi karena memang termasuk tanaman yang mudah beraptasi dengan kondisi lingkungan serta tahan serangan serangga.

Pemanfaatan matoa

Dalam hasil studi dalam Jurnal Farmasi Sains dan Praktis yang diterbitkan di journal.unimma.ac.id, dikatakan bahwa seluruh bagian matoa dapat dimanfaatkan seperti obat. Mulai dari buah, daun, kulit batang, kulit buah, hingga akarnya. Pada dasarnya matoa memiliki kandungan alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, senyawa fenolik, terpenoid, dan vitamin A, C, E yang bermanfaat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan perbandingan dengan makanan lain seperti jeruk nipis, spirulina, dan wortel, ternyata buah dan kulit buah matoa lebih banyak mengandung vitamin C. Diketahui bahwa ekstrak batang dan kulit matoa memperoleh nilai IC50 lebih dari 70 ppm, yang berarti nilai tersebut tergolong aktivitas antioksidan kuat.

Untuk kesehatan, matoa memiliki beragam manfaat seperti mengobati luka bakar, mengatasi penyakit tulang, otot, dan sendi, mengurangi sakit kepala dan flu, dan baik dikonsumsi untuk penderita diabetes, diare, sembelit, demam, hingga cacar ayam.

Sementara itu untuk pemanfaatan non-kesehatan, batang kayu pohon matoa biasa digunakan sebagai bahan konstruksi ringan, bijinya bisa diolah menjadi bahan makanan, sedangkan kulit batang pohonnya bisa dimanfaatkan menjadi pewarna kain.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini