Memahami Makna Sesajen, Bagian dari Kearifan Lokal Masyarakat Jawa

Memahami Makna Sesajen, Bagian dari Kearifan Lokal Masyarakat Jawa
info gambar utama

Belakangan ini jagad maya tengah diramaikan oleh sebuah video mengenai seorang pria yang menendang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru. Perilaku tersebut sontak menimbulkan perbincangan di masyarakat karena dianggap tidak menghormati tradisi. Kini, pria yang dikabarkan asal Lombok tersebut telah diamkankan di Markas Kepolisian Resort Lumajang.

Sesajen memang bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat Jawa dan sudah menjadi tradisi yang melekat sejak lama. Sesajen merupakan persembahan berisi berbagai makanan yang dipersembahkan untuk leluhur. Menurut kepercayaan masyarakat, sesajen dapat mendatangkan keberuntungan, menangkal bala, juga sebagai lambang rasa syukur serta bentuk penghormatan pada leluhur.

Masyarakat Jawa diajarkan untuk selalu menghargai, menghormati, serta memperlakukan seluruh makhluk hidup dan benda-benda tidak hidup dengan adil, bijaksana, dan welas asih. Sesajen sendiri dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur dan sikap welas asih kepada penghuni jagad raya.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sesajen, berikut rangkuman pendapat para ahli mengenai video viral tersebut serta memahami makna dari sesajen.

Mengenal Ritual Sesajen Nyekar Pundhen Nyai Rantamsari di Desa Wonotirto

Apa itu sesajen dan mengapa harus dihormati?

Toetik Koesbardiati, seorang antropolog dari Universitas Airlangga Surabaya menyayangkan aksi penendangan sesajen oleh pria tersebut. Menurut Toetik, sesajen merupakan bagian dari kepercayaan masyarakat yang sudah ada sejak lama, misalnya seperti animisme. Dalam animisme, masyarakat percaya bahwa tempat-tempat di bumi, seperti gunung dan gua, memiliki jiwa dan harus dihormati agar tidak mengganggu manusia.

Dijelaskan Toetik bahwa religi itu awalnya berkaitan dengan lingkungan, maka dari itu ada kepercayaan animisme. Di Indonesia, ada beberapa tempat yang menjadi bukti dari kepercayaan kuno tersebut, misalnya punden berundak yang diyakini merupakan tempat sakral.

Sesajen yang disiapkan sebenarnya sangat beragam. Namun, ada beberapa jenis makanan yang umumnya ada dalam sesajen, seperti ayam cemani, kopi hitam, apel, pisang, kelapa, bunga-bungaan, dan jajanan pasar.

Sementara itu, Dosen Prodi Sosiologi Unair Prof. Bagong Suyanto mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa multikulturalisme, sehingga setiap orang perlu menghargai perbedaan. Menurut Bagong, si pelaku yang merupakan orang luar daerah dan datang ke komunitas lokal yaitu masyarakat Lumajang, maka ia harus berempati dan belajar memahami perbedaan.

Bagong juga menambahkan bahwa si pelaku tidak bisa bila hanya membenarkan tindakannya sendiri dan menganggap yang lain adalah salah. Masyarakat juga boleh percaya dan mengimani suatu keyakinan, tetapi tidak perlu menyalahkan dan merendakah keyakinan yang lain. Hal ini dilakukan sebagai penghormatan dan kesediaan untuk menerima bahwa perbedaan itu ada, termasuk dalam hal ini sesajen.

"Jadi masyarakat harus betul-betul memahami, kita hidup di lingkungan yang beraneka ragam. Sehingga ketika hendak menilai suatu kelompok lain yang berbeda, janganlah memakai ukuran kita sendiri. Kita harus berempati dan bertoleransi dan kuncinya adalah memahami dan menerima segala bentuk perbedaan," kata Bagong.

Nasi Megono, Kuliner Pekalongan yang Dulunya hanya Menu Sesajen

Makna dari pemberian sesajen

Menurut penjelasan antropolog Argo Twikromo, pemberian sesajen berasal dari masyatakat zaman dahulu yang cenderung percaya pada ‘penghuni’ yang mendiami suatu tempat. Mereka merasa perlu menjalin komunikasi yang harmonis maka dari itu dilakukan pemberian sesajen.

"Jadi sesaji itu memberi sesuatu yang tepat, ataupun mungkin ketika masyarakat mengenal daerah itu, apa ya kira-kira yang tepat di situ, mungkin bentuk sesajinya akan berbeda-beda," jelas Argo kepada Kompas.com.

Menurut Argo, sesajen juga tidak selalu berarti menyembah, tetapi sesajen menjadi esensi mengenai bagaimana manusia membangun relasi yang selaras dengan alam. Masyarakat juga percaya bila memberi sesuatu yang baik, akan mendapatkan timbal balik yang baik pula.

Adapun pendapat dari dosen filsafat Universitas Gadjah Mada, Dr. Sartini, tradisi sesajen di masyarakat sering diartikan sebagai bentuk persembahan, baik itu untuk Tuhan, dewa, roh leluhur, nenek moyang, atau maklhuk tak kasat mata. Sesajen juga merupakan tradisi yang sudah ada sejak lama, bahkan sebelum masuknya agama Islam, Hindu, dan Buddha.

“Sesaji biasanya dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu. Oleh karenanya, benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesaji dapat berbeda-beda. Masing-masing unsur dalam sesaji mempunyai filosofinya sendiri,”kata Sartini, seperti dikutip dari laman resmi UGM.

Sartini juga menjelaskan bahwa di Jawa, sesajen sering disebut uborampe atau kelengkapan. Sementara itu di Lumajang, bila sesajen memang merupakan tradisi masyarakat setempat, ada kemungkinan orang yang melakukan sesajian menganggap Gunung Semeru sebagai makhluk yang punya kekuatan. Sesajen tersebut dibuat dengan harapan agar Semeru tidak murka lagi.

“Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini