Kemilau Montrado, Dinamika Kota Tambang Emas dari Kalimantan

Kemilau Montrado, Dinamika Kota Tambang Emas dari Kalimantan
info gambar utama

Emas pernah begitu menyilaukan di Borneo (Kalimantan) Barat pada abad ke 19, kejayaan kekuasaan bahkan konflik yang begitu besar pernah melanda kawasan ini disebabkan komoditas tersebut.

Emas memegang peranan penting bagi perubahan yang terjadi di wilayah ini tidak saja secara ekonomi namun juga secara sosial dan politik.

Montrado, sebuah tempat di pedalaman Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) merupakan saksi berkilaunya emas pada masa lalu.

Dalam catatan para pejabat kolonial, tempat ini merupakan sebuah wilayah yang paling sering disebut-sebut sebagai bekas kota tambang besar di Borneo Barat, selain kota Mandor dengan kongsi pertambangan emas lanfang-nya yang kuat.

Munculnya aktivitas tambang emas di Montrado tidak bisa lepas dari kedatangan orang China di Borneo bagian barat.

Dicatat oleh Mary Somers Heidhues dalam Penambang Emas, Petani dan Pedagang di Distrik Tionghoa Kalimantan Barat menyebut bahwa sebelum abad ke 13, hubungan dagang antara penduduk asli dengan orang Tionghoa bergantung pada pertukaran barang lokal seperti hasil hutan, emas dan intan.

Misteri Intan Danau Raja dari Negeri Berlian di Barat Kalimantan

“Keberadaan orang Tionghoa di Borneo bagian barat diperkuat dengan laporan pemerintah Inggris yang ada di Serawak yang menyatakan bahwa orang Tionghoa telah menetap di wilayah yang mereka sebut Dutch Borneo sebelum abad ke 18,” tulisnya.

Sementara itu berkaitan dengan potensi kandungan emas di tanah Borneo barat, Panembahan Mewpawah –kerajaan Islam di Borneo Barat-- merupakan perintis yang melakukan kerja sama dalam mendatangkan sejumlah orang Tionghoa untuk secara khusus mengelola deposit emas yang ada di dalam wilayah kekuasaannya.

Menurut Any Rahmayani dalam penelitian berjudul Montrado 1818-1858: Dinamika Kota Tambang Emas menyebut kedatangan orang Tionghoa ini terjadi pada tahun 1740-1745. Karena melihat keberhasilan penguasa tetangga, maka Sultan Umar Akkamuddin dari Kesultanan Sambas pun mengikuti jejaknya.

Setelah usahanya mendatangkan orang Tionghoa tersebut mulai muncul pemukiman yaitu di Seminis dan Larah. Pemukiman ketiga ditemukan di Montrado yang ternyata tanahnya banyak mengandung emas.

Izin pembukaan tambang emas mutlak ada di tangan Sultan Sambas, hal ini terkait dengan penguasaan lahan, upeti dan ketentuan lain. Hak-hak lain yang diberikan kepada kongsi oleh Sultan Sambas kala itu, meliputi kekuasaan pemerintahan, pengadilan dan keamanan.

“Bahkan, orang-orang Tionghoa diberi bekal peralatan ataupun keperluan konsumsi dengan persyaratan bahwa orang Tionghoa harus membayarnya dalam bentuk emas,” tulis Hari Poerwanto dalam bukunya berjudul Orang Cina Khek dari Singkawang.

Kota emas Montrado

Kota Montrado pada pertengahan abad ke 19 masih terlihat sebagai sebuah kampung Tionghoa dilengkapi dengan tiga buah rumah kongsi.

P.J Veth dalam Encyclopedia van Nederlandsch Indie 1918 menggambarkan kota ini sebagai sebuah kota kecil. Kota ini memiliki rumah utama yang besar dan tiga rumah kongsi yaitu thang, sjongbok dan habok.

Montrado merupakan sebuah kota yang terdiri dari sebuah jalan tunggal dengan 3 perempatan. Keadaan pusat pertambangan Montrado digambarkan sebagai sebuah tempat tinggal yang sangat nyaman dengan tanah yang subur dan dikelilingi bukit-bukit.

Di sini juga ada sebuah danau yang airnya digunakan untuk mencuci tanah yang mengandung emas pada proses penambangan. Sebuah balai utama, thang yang juga merupakan lambang supremasi kongsi pertambangan emas.

Thang berfungsi sebagai balai utama untuk bertransaksi, ruang penyambutan tamu serta sebagai rumah ibadah utama bagi para anggota kongsi. Tempat ini merupakan bangunan balai pertama yang didirikan di Montrado.

Bangunan ini memiliki konstruksi yang kokoh dengan kayu ulin beratap sirap dan di bentengi dengan benteng tanah. Di dalam benteng tersebut terdapat halaman, aula tengah dan altar, kamar-kamar besar untuk ketua kongsi, keluarga dan juru tulisnya serta tempat penyimpanan peralatan sembahyang dan arsip.

Sementara Sjonbok dan Habok merupakan bangunan selanjutnya yang dibangun di Montrado. Sjongbok disebut sebagai rumah tinggi sedangkan Habok disebut sebagai rumah rendah. Memang untuk sampai ke aula Sjongbok harus menaiki beberapa anak tangga. Adapun Habok terlihat lebih sederhana dari dua bangunan sebelumnya.

Singkawang, Kota Toleransi dari Kalimantan dengan Panorama Seribu Kelenteng

Di tengah dari tiga bangunan ini adalah sebuah pabrik penyulingan arak Tjoelong. Pabrik arak ini dibangun dengan kayu besi dan beratap sirap dan dilindungi oleh tanaman buah disekelilingnya.

Pabrik arak ini juga harus membayar pungutan/pajak kepada kongsi besar. Pasar sebagai pusat kota tergambar sebagai dua sisi jalan utama yang ditempati oleh pedagang/tukang-tukang.

Aktivitas peternakan dan pertanian sebagai aktivitas non tambang terlihat dari banyaknya kandang babi berada di sekitar pasar. Penduduk Montrado dan daerah sekitarnya bekerja sebagai pekebun. Mereka menanam bahan pangan kebutuhan sehari-hari seperti sayur dan buah-buahan.

Penduduk Montrado dikepalai oleh pimpinan dari kelompok asal mereka di China. Masyarakat yang terbangun di Kota Montrado cenderung lebih bebas untuk menyusun bentuk pemerintahan mereka.

Wilayah mereka terbagi dalam beberapa distrik yang diatur oleh beberapa wakil yang disebut kung se yang dipilih oleh seluruh penduduk.

Formasi kepemimpinan ini kemudian berubah setelah Belanda menguasai wilayah Montrado di pertengahan abad ke 19 bersamaan dengan melemahnya kekuasaan Thaikong. Seorang dengan pangkat Kapthai diangkat sebagai regent yang bertanggung jawab langsung kepada Asisten Residen Sambas.

Penduduk yang mendiami Montrado diperkirakan sekitar 5000-7000 jiwa. Jumlah ini diperkirakan lebih banyak dari penduduk yang bermukim di Singkawang ketika itu. Sementara itu pemeliharaan sanitasi sangat penting bagi penduduk Montrado.

Pada masa kejayaannya, setiap tambang emas mampu mengeluarkan dana untuk kepentingan publik seperti membuat dan memelihara trotoar yang luas, membuat jembatan serta pemeliharaan dan pembersihan sungai.

Biaya untuk pemeliharaan jembatan dan tempat ibadah diambil dari macam pajak yang berlaku seperti pajak dari rumah pemotongan hewan, tambang emas, rumah judi, pabrik arak dan rumah pegadaian.

Montrado sebagai pusat kegiatan kongsi juga dipertimbangkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Di sini misalnya berdiri rumah controleur dan rumah asisten residen yang berupa bangunan kokoh dan luas dari kayu ulin dan memiliki perabot yang sangat praktis.

Penguasa di Montrado juga sangat memperhatikan pendidikan warga. Lembaga pendidikan berupa sekolah jumlahnya banyak. Hal ini terlihat dari adanya sekolah yang diperuntukan bagi anak laki-laki Tionghoa.

Sedangkan sarana kesehatan juga telah berkembang dengan adanya tiga puluh tabib, lima belas ahli obat dan rumah perawatan kusta yang mempunyai 150 pasien.

Perang kongsi dan hilangnya peradaban emas di Montrado

Namun begitu perubahan yang cukup drastis terlihat di Montrado memasuki tahun kedua abad ke 19, akibat perang Kongsi 1822-1954. Penduduk yang telah kehilangan pekerjaan akibat dihapuskannya sistem kongsi diberatkan dengan biaya pemeliharaan jalan.

Keruntuhan kongsi merupakan eskalasi dari banyaknya konflik yang terjadi. Akar permasalahannya adalah deposit emas yang makin berkurang pada masing-masing kongsi sehingga terjadi perebutan lahan yang menyebabkan perpecahan antar kongsi.

Bentuk konflik selanjutnya adalah konflik kongsi dan kelompok Dayak yang terjadi pada tahun 1842. Kondisi ini terjadi ketika para penambang China merebut tambang emas Dayak di Lara.

Bentuk konflik menjadi berkembang antara pasukan gabungan kongsi Thaikong dan gabungan Dayak di Selakau yang dikerahkan oleh pejabat kerajaan Sambas.

Periode perang selanjutnya adalah tahun 1850-1854 yang diakhiri dengan dihapuskannya organisasi kongsi emas yang ada di wilayah ini.

Akibatnya, terjadi migrasi pekerja tambang dalam skala besar ke daerah pesisir pantai dan lembah-lembah besar. Penghapusan kongsi secara nyata ditandai dengan sebuah upacara yang dilangsungkan di balai utama di Montrado.

Kemayau, Buah Unik Bercita Rasa Mentega Khas Kalimantan

Kondisi ini membuat mereka yang sebelumnya hanya memiliki keahlian di bidang pertambangan emas mulai berlatih bekerja di bidang pertanian.

Awalnya mereka mengusahakan pertanian dengan bersawah dan kebun holikultura namun secara bertahap mereka mulai mengusahakan budidaya kelapa yang pada awalnya diusahakan oleh orang-orang Bugis.

Gelombang kedua dari kongsi mulai berpindah ke daerah pesisir. Singkawang yang telah ada pada masa awal kedatangan Tionghoa di pertengahan abad ke 18 makin bertambah pada pertengahan abad ke 19.

Akibat pertikaian kongsi membuat daerah ini meningkat pada akhir abad 19. Kondisi ini membuat Montrado kehilangan sebagian besar penghuninya.

Kini bila kita datang ke Montrado, monumen kejayaan tidak akan pernah kita temui. Hanya bekas-bekas tambang emas baik yang dikelola oleh perusahaan ataupun pertambangan emas tanpa izin yang ada di sana berserta permasalahan lingkungan yang ditinggalkan.

Walau setelah merdeka telah dikelola oleh pihak-pihak lain, namun tidak bisa membawa kenangan pada kejayaan emas pada masa lalu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini