Dinamika Jurnalis dan Surat Kabar Tionghoa Berbahasa Melayu di Makassar

Dinamika Jurnalis dan Surat Kabar Tionghoa Berbahasa Melayu di Makassar
info gambar utama

Sebelum Perang Dunia II, dunia kewartawanan Tionghoa Makassar berkembang pesat karena peran anak muda dari kelas menengah. Hal yang menarik mereka memiliki keterampilan berbahasa selain Makassar, yakni Melayu dan Belanda.

Beberapa yang mengalami pendidikan Tionghoa, biasanya bekerja di koran Tionghoa tetapi juga memiliki keterampilan bahasa Melayu. Selain itu mereka juga terlibat dalam kehidupan sosial, sehingga sangat memahami kehidupan sehari-hari.

"Bagi para editor dan percetakan, mereka menjadi bagian dari dunia usaha kecil yang memiliki modal sedikit, namun terkesan dengan kemajuan zaman," tulis Yerry Wirawan dalam buku Sejarah Masyarakat Tionghoa di Makassar.

Dicatat oleh Yerry, pada tahun 1920 an para perkumpulan peranakan mengembangkan kegiatan sosial mereka. Salah satunya adalah Shiong Tih Hui yang menerbitkan empat koran dan satu terbitan berkala berbahasa Melayu yang ketika itu tidak terjadi di wilayah Indonesia lain.

Pada tanggal 15 Juli, Shiong mendirikan Chau Sing atau Suara Ombak. Ketika itu koran ini terbit bulanan. Tetapi karena mulai banyak pembaca, koran ini mulai terbit mingguan, lalu menjadi dua kali seminggu.

Pernah ada rencana koran ini akan diterbitkan setiap hari sekali, walau tidak ada dokumentasi tentang ini. Tampaknya koran ini memiliki jaringan distribusi dan menerima iklan dari berbagai daerah di Nusantara.

Oei Tiong Ham, Taipan International Asal Semarang yang Berpengaruh pada Masanya

"Mereka memiliki koresponden di berbagai kota, di Sulawesi, Jawa, Madura, dan juga Ternate dan Singapura," bebernya.

Selain itu juga ada perkumpulan Shiong Tih Hui Makassar yang menerbitkan koran bernama Soeara Siauw Lian atau Suara Kaum Muda. Selanjutnya koran ini dilanjutkan oleh Njaring yang hanya bertahan selama satu tahun.

Pernah juga ada koran bernama Pewarta Makassar yang edisi pertamanya terbit pada 31 Oktober 1931. Pada masa awalnya koran ini didukung oleh masyarakat Tionghoa Makassar, tetapi kemudian mulai jarang terbit setelah tahun 1932.

Pada bulan November 1933, Jo Siong Tie mendirikan harian bernama Sin Hwa Po atau koran Tiongkok Baru. Tetapi koran ini tidak berumur panjang karena pada tanggal 5 Juni 1934 adalah seri terakhir koran Sin Hwa Po.

"Kedua koran yang disebut terakhir ini menandai akhir upaya masyarakat Tionghoa Makassar memiliki korannya sendiri," Imbuhnya.

Wartawan Tionghoa di Makassar

Seperti di Jawa, tetapi dalam waktu berbeda, para pembaca yang sering menulis di koran menjadi jurnalis yang pertama. Contohnya ada sosok Kong S Tjoan yang terkadang menulis untuk Tionghoa Poo.

Selain itu ada Oei Liong Tjiang yang sejak tahun 1916 mengirimkan tulisannya kurang lebih secara teratur ke Pemberita Makassar dan pada tahun 1922 menerbitkan korannya sendiri Indo China tetapi ternyata usahanya ini tidak begitu berhasil, sehingga menunjukkan bahwa membangun usaha jurnalistik pada saat itu tidak begitu mudah.

Terdapat wartawan lain seperti Lie Hway Tjo dan Jo Siong Tie yang tidak bertahan lama dalam pekerjaan ini oleh karena alasan ekonomi atau Kesehatan, hanya diketahui Jo membuat perusahaan yang mencetak Sin Hwa Po.

Selanjutnya adalah para redaktur yang bekerja sepenuhnya dalam dunia media seperti Huang Sung Chie, Lie Mo Cheng, Teng Tjong Hae, Oei Hong Bie dan Yang Wen Chiao.

Beberapa sosok wartawan juga memberikan dedikasinya kepada media Tionghoa berbahasa Melayu di Makassar seperti Huang Sung Chie yang pada usia 22 tahun menjadi korseponden dua koran di Batavia yaitu Perniagaan dan Sin Po. Pada tahun yang sama dia bekerja di koran Chau Sing di bawah pimpinan Jo Siong Tie.

Masih di tahun 1925, Huang bersama beberapa temannya memutuskan menerbitkan Soeara Siauw Lian atau Suara Kaum Muda. Pada tahun 1927, Huang dan Teng Tjong Hae adalah redaktur dari Njaring yang menggantikan Soeara Shauw Lian, tetapi kerja sama ini hanya sebentar.

Huang suka menulis berita yang menyangkut persoalan masyarakat setempat dan tanpa ragu mengambil posisi tegas. Salah satu contohnya, dia menentang CCH yang berpihak pada orang kaya.

Artikel lain yang ditulis oleh Huang pada tahun 1935 berjudul Tjina Tinggal Tjina menjelaskan bahwa orang Tionghoa tidak cukup hanya menjadi orang Indonesia, tetapi juga harus betul-betul diterima orang bumiputra.

“Oleh karena itu orang Tionghoa seharusnya tetap menjadi orang Tionghoa, namun bekerja bersama orang bumiputra membangun negerinya,” bebernya.

Ada juga sosok Ang Ban Tjiong seorang wartawan yang dikenal sebagai wartawan maupun penyair. Ang menerima Pendidikan Tionghoa-Belanda di HCS setempat sehingga dapat berbahasa Belanda dengan lancar. Setelah lulus, dirinya kemudian bekerja untuk majalah Favoriet lalu Pemberita Makassar.

Dalam koran ini dia banyak menulis tentang spritualitas dan agama serta persoalan-persoalan sosial. Ang sangat peka dengan kehidupan masyarakat kecil yang saat itu terkena pemecatan seperti terlihat artikelnya Nasibnja Kaoem Penganggoer. Dia juga mendukung kaum miskin dan mendidikasikan syair-syair untuk mereka.

Belajar dari Yap Thiam Hien, Singa Pengadilan yang Mengaum Membela Kemanusiaan

Selain itu juga terdapat wartawan perempuan yang juga ikut dalam bagian perkembangan dunia jurnalistik di Makassar. Walaupun sulit menemukan, karena lebih banyak mereka menggunakan nama pena. Tampaknya kehadiran mereka seiring dengan pendirian perkumpulan perempuan pertama pada tahun 1928.

Salah satu karangan artikel berjudul Trio Jang Moelia yang menggunakan nama bunga Lian Hua atau Bunga Lotus menyampaikan penyesalan bahwa perempuan di Makassar tidak semaju rekan-rekan mereka di Jawa. Namun mereka senang dengan pendirian perkumpulan perempuan pertama di kota tersebut.

Masyarakat Tionghoa dan media


Menurut Yerry, cukup sulit menyajikan proses media berbahasa Melayu di masyarakat Tionghoa Makassar, karena keberadaan koran-koran ini tidak lengkap saat ini. Beberapa yang masih tercatat misalnya, koran Pemberita Makassar yang pada tanggal 26 Maret 1914 menyampaikan laporan tentang permainan judi yang dilakukan di penguburan-penguburan.

Beberapa pemuda Peranakan menyesalkan kebiasaan ini dan pada tahun 1912 mereka mendesak kepala masyarakat Tionghoa dan perkumpulan-perkumpulan untuk meminta kepada Gubernur Sulawesi agar menghentikan kegiatan itu. Koran ini selanjutnya menyebutkan bahwa kapitan Tionghoa telah mengeluarkan sirkuler untuk melarang permainan judi ini.

Masyarakat juga menggunakan koran untuk menyampaikan pendapat mereka kepada pemerintah kolonial. Salah satu contoh, pada bulan Oktober 1931, perkumpulan Hwa Siang Tjong meminta tarif air minum untuk diturunkan. Pada bulan yang sama, terbit satu artikel tentang bau busuk di kampung Tionghoa karena perawatan yang buruk dari selokan.

Koran-koran Makassar juga memberitakan kejadian di Tiongkok dan menyampaikan permohonan bantuan uang untuk pertolongan bagi daerah-daerah yang mengalami bencana alam atau untuk membantu Tiongkok berperang melawan Jepang. Misalnya pada tanggal 3 November 1914 ada sebuah berita yang ditulis oleh Ketawa melaporkan tentang perang antara Tiongkok dan Jepang.

Bukti Cinta di Balik Kemegahan Mausoleum OG Khouw Petamburan

Pada akhir tahun yang sama, Pemberita Makassar juga memberitakan bahwa orang-orang Tionghoa Makassar berhasil mengumpulkan 1000 gulden bagi provinsi Shandong yang diberikan kepada Palang Merah Tiongkok. Pemerintah Tiongkok kemudian mengucapkan terima kasih untuk bantuan ini dengan mengirimkan medali Tjoei Liok Puan Tjiong.

Pada tahun 1930, juga ada pengumpulan sumbangan uang untuk bencana alam. Tahun 1931 berita-berita di koran menyampaikan jumlah uang yang terkumpul dengan total 22.000 gulden untuk korban banjir. Koran-koran juga melaporkan kisah penjual bapao yang memberikan sumbangan hingga 1.000 dolar untuk Palang Merah Tiongkok.

“Peistiwa ini menjadi berita penting koran-koran dalam bulan Agustus dan mendorong masyarakat untuk juga memberikan sumbangan,” pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini