Meresapi Max Havelaar, Karya Sastra yang Membunuh Kolonialisme

Meresapi Max Havelaar, Karya Sastra yang Membunuh Kolonialisme
info gambar utama

Multatuli merupakan nama pena dari mantan asisten residen Lebak, Banten sekitar tahun 1856 atau abad 19, Eduard Douwes Dekker.

Dengan nama pena yang berarti “aku telah banyak menderita”, dirinya terusik melihat penerapan sistem tanam paksa oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang menindas bumiputra.

Pria kelahiran Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 itu mengisahkan kekejaman sistem tanam paksa yang menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin dan menderita. Rakyat ketika itu diperas oleh pejabat kolonial dan pribumi yang korup untuk memperkaya diri.

Ketajaman pena Multatuli membuah hasil sebuah novel tragis dan humanis, Max Havelaar, salah satu karya yang mendunia. Novel ini dianggap menelanjangi praktik kolonialisme yang dijalankan Kerajaan Belanda di negeri seberang.

Dipaparkan oleh Narasi Sejarah, buku Max Havelaar ditulis oleh Dekker di sebuah losmen murah di Belgia selama kurang lebih satu bulan pada tahun 1859. Ketika itu dirinya sudah empat bulan mengundurkan diri dari jabatan asisten residen.

Walau berbentuk roman, novel ini disebut mampu melukiskan bentuk penindasan yang dialami masyarakat Lebak Banten, akibat jeratan praktik kolonialisme yang terselubung dalam budaya feodalisme akut.

Manusia dan Bangsa: Bahasa dan Sastra Indonesia di Tahun 2045

Max Havelaar, merupakan tokoh utama dalam novel ini yang merupakan alter igo dari sosok penulisnya yaitu Dekker yang pernah menjabat asisten residen selama 84 hari. Dalam masa jabatan yang singkat, dirinya terkejut melihat kehidupan rakyat bumiputra yang sangat menderita.

“Havelaar melihat rakyat bukan hanya menderita karena menjadi sasaran eksploitasi pemerintah kolonial lewat praktik tanam paksa. Namun juga kerap menjadi korban penindasan sewenang-wenang penguasa feodal pribumi yang dimamfaatkan pemerintah Kolonial Belanda untuk mendukung kekuasaan mereka,” tulis Tri Sutrisno Rahayu dalam artikel berjudul Max Havelaar Buku yang Membunuh Kolonialisme.

Tri menggambarkan bagaimana Havelaar begitu murka dengan praktik penindasan, korupsi dan perampasan harta benda yang dilakukan Adipati Lebak bersama pembantunya terhadap rakyat. Dirinya juga prihatin rakyat yang melaporkan tindakan Adipati Lebak itu, kasusnya tidak pernah diproses.

Akibat muak dan marah dengan kemunafikan serta penindasan yang dilakukan bangsanya terhadap rakyat pribumi Hindia Belanda. Max Havelaar memilih berhenti dari jabatannya sebagai pejabat sipil Hindia Belanda. Dia kemudian kembali ke Belanda dan menuangkan rasa frustasinya dengan menulis.

Mah Havelaar dan upaya membunuh kolonialisme

Lebak memang bukan tempat pertama bagi Dekker bertugas di Indonesia. Sejak tahun 1839, dirinya telah berkeliling Hindia Belanda mulai dari Batavia, Natal, Padang, Purwakarta, Puwerejo, Manado, Bogor, bahkan Ambon.

Lebak malah menjadi tempat bertugas terakhirnya sejak 1856. Di tempat ini, dia hanya bertugas kurang lebih tiga bulan sebelum keluar dan kembali ke Belanda karena berselisih paham dengan atasannya.

Tetapi di Lebak pula, Dekker bisa melihat kondisi masyarakat yang menderita karena tak hanya ditindas oleh kolonialisme tetapi juga feodalisme. Kisah ini kemudian mengilhaminya menulis novel yang kelak selalu relevan dalam konteks kelaliman rezim.

Novel Max Havelaar yang dihadirkan sebagai kisah fiksi dalam bentuk roman memiliki penggambaran dan pesan yang begitu kuat mengenai arti penindasan. Buku ini kemudian membuat gempar ketika diterbitkan pertama kali pada tahun 1860.

Penerbitan novel ini layaknya sebuah bom yang menyadarkan kebobrokan kolonialisme Belanda. Kisah tentang wilayah Hindia Belanda yang makmur, aman, damai dipatahkan oleh Multatuli. Pasalnya dibeberkan banyak fakta bahwa terjadi penyelewengan kekuasaan dan rakyat diperas untuk kekayaan Belanda.

Bukan Hanya Bintang Film, 5 Penulis Indonesia Ini Juga Go Internasional Loh

Di negeri Belanda novel Max Havelaar dengan cepat mengegerkan kalangan konservatif yang mendukung kolonialisme. Tetapi bagi kaum liberal kehadiran buku ini malah disambut baik karena mengilhami mereka untuk mendesak pemerintah Belanda memperlakukan rakyat pribumi secara lebih baik.

“Desakan kaum liberal ini belakangan berhasil memaksa pemerintah kolonial menjalankan politik etis atau politik balas budi kepada rakyat Hindia Belanda,” catat Tri.

Politik etis ini mempunyai tiga konsep, yakni irigasi untuk memperbaiki taraf kehidupan masyarakat pribumi di bidang pangan. Emigrasi dalam hal tenaga kerja dan edukasi atau memberikan pendidikan bagi masyarakat pribumi.

Dari ide politik etis inilah menjadi awal kehancuran kolonialisme Belanda di Nusantara. Khususnya pada bidang edukasi yang diberikan pemerintah Belanda kepada pribumi. Sehingga melahirkan masyarakat terpelajar di wilayah Nusantara, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain.

Selain itu, Max Havelaar juga menginspirasi dan memesona bagi tokoh gerakan kebangsaan dari R A Kartini hingga Soekarno. Di luar Hindia Belanda, buku ini diterjemahkan dalam puluhan bahasa di luar bahasa Belanda, juga dikagumi sejumlah tokoh dunia.

Multatuli dalam dua sisi?

Novel Max Havelaar tercatat dalam sejarah sebagai buku pertama yang dengan tajam menelanjangi kekejaman dan kemunafikan praktik kolonialisme di Hindia Belanda.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam artikelnya pada 18 April 1989 di New York Times menyebut novel Max Havelaar pantas disebut buku yang membunuh kolonialisme.

Dalam khasanah sastra, Max Havelaar dianggap sebagai buku yang sangat berpengaruh sejajar dengan buku Uncle Toms Cabin karya Harriet Beecher Stowe yang dinilai banyak berperan mengilhami gerakan perlawanan terhadap perbudakan di Amerika Serikat.

Tetapi meski banyak yang mengagumi, Guru Besar Universitas Leiden P.J Veth menyebut Max Havelaar sebagai sebuah sastra hanya embel-embel dan lebih terlihat sebagai biografi karena tidak memaparkan fakta-fakta sejarah.

Sementara itu pengamat sastra Rob Nieuwenhyus menulis bahwa Multatuli lebih sebagai pejabat yang gagal memahami struktur masyarakat tradisional di Jawa. Sehingga protesnya terhadap pemerintah kolonial atas praktek korupsi Bupati Lebak dinilai salah kaprah.

Film "Hujan Bulan Juni" Segera Tayang di Bioskop

Dinukil dari Pikiran Rakyat, kritikus sastra Katrin Bandel juga menyebut novel Max Havelaar tidak mengangkat semangat antikolonialisme. Pasalnya dalam karyanya, Dekker hanya mempertanyakan cara pemerintah diselenggarakan bukan alasan mengapa Belanda punya hak atas negeri kepulauan yang mereka namakan Hindia Belanda.

“Jadi dalam novel ini, pribumi adalah sebagai penguasa korup dan rakyat tak berdaya. Penindas dan penolongnya yaitu Max Havelaar (tokoh dalam novel itu) sama-sama orang Belanda juga,” katanya.

Namun begitu, peneliti karya Multatuli, Ubaidillah Muchtar menyebut karya ini tetap masih relevan untuk dipelajari pada masa kini. Semangat anti kolonialisme, anti penyelewengan kekuasaan, anti korupsi, kemanusian yang ada pada buku ini masih patut dibaca.

Apalagi menurutnya budaya feodalisme dan kolonialisme di bumi Indonesia pada masa Multatuli yang kedua-duanya menindas rakyat dan korup masih terus terjadi pada masa kini. Lantas baginya mempelajari karya ini sangat penting bagi bangsa Indonesia.

“Seorang Pramodya Ananta Toer bahkan berkata kalau politikus yang tidak mengenal Multatuli praktis tidak mengenal humanisme, humanisme secara modern. Karena politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politisi kejam. Pertama, dia tidak mengenal sejarah Indonesia. Dua, tidak mengenal humanisme secara modern. Dan bisa menjadi kejam,” jelas Ubaidillah yang dikutip dari Republika.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini