Ronggeng Gunung, Tarian yang Lahir dari Kepedihan dan Dendam

Ronggeng Gunung, Tarian yang Lahir dari Kepedihan dan Dendam
info gambar utama

Ronggeng Gunung adalah tarian buhun (kuno) dari daerah Jawa Barat (Jabar) yang merupakan bagian Priangan Timur yang disajikan dengan konsep pertunjukan minimalis. Ronggeng berasal dari kata renggana dalam bahasa sansakerta yang memiliki arti perempuan pujaan hati.

Perempuan pujaan ini merupakan penari yang dipilih untuk menyambut tamu bangsawan kerajaan yang selalu diiringi alat musik. Sedangkan kata gunung berkaitan dengan daerah perkampungan (pegunungan) sebagai tempat tarian ini berasal dan berkembang.

Tarian ini pada dasarnya dijadikan sebagai sarana ritual orang kampung untuk menghormati Dewi Sri dan menjadi hiburan melepas lelah selesai melakukan satu periode menaman padi.

Tarian Ronggeng Gunung lahir dari perpaduan kesenian bajidor dan pencak silat. Sementara secara umum lagu dalam tarian ini bercerita tentang kerinduan kepada kekasih dan sindiran pada perompak yang telah membunuh Anggalarang.

Salah satu versi dari asal mula Ronggeng Gunung memang menceritakan kisah sedih tentang Raden Anggalarang yang merupakan putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh. Dirinya beristrikan Siti Samboja yang bersikeras ini mendirikan sebuah kerajaan di Penanjung.

Mengungkap Pesona Tari Batik Pace, Atraksi Gerakan yang Mampu Membius Penontonnya

Ketika itu, sang ayah sudah memperingatkan bahayanya lokasi tersebut karena dekat dengan markas perompak. Kekhawatiran Prabu Haur Kuning terbukti, Kerajaan Penanjung diserang oleh perompak pimpinan Kalasamudra.

Dalam pertempuran tidak seimbang itu, Raden Anggalarang tewas, sedangkan istrinya Siti Samboja berhasil melarikan diri. Dalam pelariannya, dirinya mengganti nama menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai ronggeng.

Rasa dendam yang menyertai, akhirnya membawanya ke tempat Kalasamudra. Dengan menyamar sebagai ronggeng, Dewi Rengganis akhirnya bisa membunuh bajak laut yang ketika itu tidak waspada.

Dari cerita itu, bisa dibayangkan bahwa Ronggeng Gunung lahir dari sebuah kepedihan dan dendam. Konon, para pembantu Dewi Rengganis yang ikut menari, menutup matanya agar para bajak laut itu larut dalam tarian mereka.

Ketika sang musuh tergoda dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk menikam. Berhasillah Dewi Rengganis membalas dendam atas kematian suaminya.

Ronggeng Gunung dan hiburan rakyat

Pada masa sebelum perang, semua perempuan yang menyanyi atau menari disebut ronggeng. Sekarang, penyanyi dengan iringan gamelan kliningan atau wayang golek disebut sinden atau pesinden.

"Akhirnya sebutan ronggeng hanya diberikan kepada perempuan yang bukan hanya menyanyi, tetapi juga melayani para penonton yang berminat untuk menari dengan imbalan uang," ujar Ajip Rosidi dalam Ensiklopedia Sunda, Alam, Manusia dan Budaya.

Selain sebagai hiburan, dahulu Ronggeng Gunung juga berfungsi sebagai pengantar upacara adat, seperti panen raya, khitanan, dan penerima tamu. Sebelum pertunjukan di mulai, biasanya diadakan ritual dan pemberian sesajen agar pertunjukan berjalan lancar.

Diperkirakan tari ronggeng telah ada sejak zaman Kerajaan Galuh pada abad ke-7. Tarian ini berperan sebagai penghibur bagi tamu kerajaan. Nantinya perempuan ini akan menari diiringi seperangkat alat musik tradisional.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles, pernah menyebut bahwa kesenian ronggeng telah populer. Menurut Raffles, ronggeng merupakan pertunjukan keliling yang dilakukan oleh perempuan yang berasal dari gunung.

Tarian Balia, Ritual Penyembuh Penyakit dari Suku Kaili

Dijelaskan oleh Claire Holt dalam Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, para penari ronggeng ini biasanya tampil pada acara resmi. Tetapi sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, acapkali mereka tampil di rumah para bangsawan atau pejabat Belanda.

Dalam setiap pertunjukan, penari ronggeng harus bertindak sebagai penyanyi dan penari sekaligus. Selain itu, penari juga berperan sebagai pemimpin dalam upacara yang melibatkan kesenian ronggeng gunung di dalamnya.

Kesenian Ronggeng Gunung memang menyimpan kekuatan pada nyanyiannya yang lahir dari karakter vokal. Nyanyian yang dilantunkan seorang ronggeng sesekali terdengar sendu, namun lebih banyak berupa suara lengkingan yang menyayat-nyayat.

Karena itu tidak semua bisa menjadi penyanyi ronggeng. Mereka harus betul-betul bisa menyanyi, menari, dan berparas jelita. Tidak heran pada masa itu, penari ronggeng termasuk orang terpandang dalam lingkungan dan keluarga.

Adanya persyaratan yang ketat, membuat pada masa kini perempuan muda lebih memilih menjadi penyanyi dangdut ataupun organ tunggal ketimbang ronggeng. Mereka tidak memiliki kesabaran yang lebih untuk menjadi ronggeng.

"Sementara untuk anak muda sekarang umumnya ingin belajar dengan cepat agar segera bisa menghasilkan uang," tulis Euis Thresnawaty S dalam skripsi berjudul Raspi Sang Maestro Ronggeng Gunung.

Penjaga terakhir Ronggeng Gunung

Tidak ada batasan umum untuk menjadi seorang ronggeng. Seperti pengalaman seorang ronggeng yang sekarang populer di Ciamis, Raspi. Dirinya mengaku menjadi ronggeng sejak umur 13 tahun.

Wanita yang akrab dipanggil Bi Raspi ini adalah seorang seniman Ronggeng Gunung yang cukup terkenal. Raspi lahir sekitar tahun 1956 di Dusun Karang Gowok, Kabupaten Ciamis, dari pasangan Sidot dan Kastem.

Dirinya hidup dalam keluarga yang sangat sederhana. Ketika orang tuanya bercerai, dia lebih memilih tinggal bersama ibunya di Dusun Karang Gowok.

Raspi mulai menggeluti dunia ronggeng sejak lulus SD sekitar tahun 1972, itu pun secara tidak sengaja. Saat itu dirinya yang masih berusia 13 tahun, lari dari rumahnya sebagai wujud pemberontakannya karena dipaksa oleh orang tuanya untuk menikah.

Padahal lelaki ini bukanlah pilihannya, sementara dia merasa belum siap untuk menikah muda. Pada saat pelarian itu dia bertemu dengan pelatih ronggeng, yaitu mbah Maja Kabun dan Indung Darwis di Kampung Jublek, Desa Panyutran, Kecamatan Padaherang.

Tari Topeng Tua Bali, Refleksi Pria Berusia Senja di Masa Pensiunnya

"Mbah Maja Kabunlah yang menjadi guru pertamanya mempelajari tari ronggeng gunung, namun secara spiritual disempurnakan oleh Indung Darwis," tulis Euis

Menurut Bi Raspi, Indung Darwis adalah gegedug atau ahlinya ronggeng di Padaherang. Teman seangkatan Bi Raspi saat itu adalah Bi Pejoh dan Bi Atih dari Pagergunung Pangandaran.

Pada tahun tersebut keberadaan Ronggeng Gunung sangat dipuja dan dihormati di kalangan masyarakat. Di saat Raspi muda, Ronggeng Gunung merupakan hiburan yang sangat dihargai keberadaannya.

Ketika pementasan, biasanya Bi Raspi hanya tampil seorang diri, karena nayaga dan penari pengiringnya berasal dari penonton yang spontan menabuh alat musik sederhana berupa kenong dan menari mengiringi Raspi.

Tetapi, karena kini Bi Raspi sering diundang untuk tampil di luar daerahnya, maka diperlukan adanya personil tetap yang dapat mengiringinya mementaskan Ronggeng Gunung.

Kemudian dibentuklah sebuah sanggar seni yang bernama Panggugah Rasa. Selain berpentas di daerah dan sekitarnya, Bi Raspi juga pernah dipanggil untuk berpentas hingga ke Taman Mini Indonesia Indah.

Saat ini, hanya Bi Raspi yang begitu serius menekuni dunia itu. Dia pun sudah tidak muda lagi, karena telah berumur di atas 50 tahun. Dalam dirinya terbersit keinginan untuk mewariskan keahliannya.

Tetapi dia kesulitan menemukan orang yang bersedia menghabiskan waktunya menjadi ronggeng. Melihat kenyataan tersebut, Bi Raspi merasa sedih dan khawatir.

Ironis memang, eksistensi seni tradisi warisan leluhur yang kaya akan nilai-nilai kehidupan itu berada dalam kondisi kritis karena hambatan regenerasi.

Jika Bi Raspi meninggal, barangkali Ronggeng Gunung tinggal kenangan saja, karena generasi penerusnya belum muncul.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini