Pemerintah Belanda Minta Maaf ke Indonesia atas Kekerasan Ekstrem 1945-1949

Pemerintah Belanda Minta Maaf ke Indonesia atas Kekerasan Ekstrem 1945-1949
info gambar utama

Pemerintah Belanda meminta maaf kepada Indonesia. Hal ini terkait hasil penelitian yang menunjukkan kekerasan yang dilakukan tentara Belanda kepada rakyat Indonesia dalam perang 1945-1949.

Dalam kesimpulannya, penelitian ini menemukan bahwa militer Belanda terlibat dalam “penggunaan kekerasan ekstrem yang sistemik dan meluas” selama 1945-1949. Di sisi lain, pemerintah Belanda pada saat itu melakukan pembiaran.

“Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya menyampaikan permintaan maaf terdalam saya kepada rakyat Indonesia atas kekerasan sistematis dan ekstrem dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu,” kata Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dalam konferensi pers yang dikutip dari CNN Indonesia.

Rutte juga menyesal pemerintah Belanda sebelumnya menutup mata terhadap masalah ini. Hal ini menurutnya juga memberikan “mimpi buruk” kepada tentara veteran Belanda yang mengikuti perang kolonial di Indonesia.

Permintaan maaf ini sebenarnya bukan pertama kali dilakukan pihak Belanda kepada Indonesia. Pada 2020 lalu, Raja Belanda Willem Alexander telah secara resmi meminta maaf saat berkunjung ke Indonesia.

Sejarah Hari Ini (9 Januari 1949) - Gerilyawan Indonesia Serbu Hotel Merdeka

Namun permintaan maaf yang disampaikan oleh PM Rutte ini melebihi permintaan maaf dari Raja Willem-Alexander. Pasalnya ketika itu raja hanya meminta maaf atas “kekerasan berlebihan” yang terjadi pada masa revolusi (1946-1949).

Diirinya tetap mempertahankan sikap resmi pemerintahan Belanda pada tahun 1969, yang menyatakan mengakui terjadinya pelanggaran, akan tetapi militer Belanda telah berlaku sesuai aturan semasa di Indonesia.

Sementara itu pernyataan PM Rutte kali ini merupakan pengakuan pertama bahwa Belanda melakukan kekerasan brutal yang disengaja secara efektif selama perang. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan selama empat tahun oleh peneliti Belanda dan Indonesia.

Diketahui tentara Belanda membakar desa-desa, melakukan penahanan massal, penyiksaan, dan mengekseskusi masyarakat pada 1945-1949. Kekerasan ekstrem ini dilakukan dengan dukungan diam-diam dari pemerintah.

“Ada kemauan kolektif untuk membenarkan dan menyembunyikan, dan membiarkannya tanpa hukuman. Semua ini terjadi dengan tujuan yang lebih tinggi memenangkan perang,” kata peneliti.

Sejak kapan Belanda digugat?

Permintaan maaf PM Rutte ini memang atas hasil penelitian dari tiga lembaga penelitian Belanda yang berjudul Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950 yang dilakukan selama empat tahun.

Penelitian ini dilakukan oleh Institut Belanda untuk Studi Perang, Holokos, dan Genosida (NIOD), Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) dan Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), dan Institut Belanda untuk Studi Perang yang telah diluncurkan pada hari Kamis, (17/2/2022).

Penelitian ini juga dibantu oleh sejarawan Indonesia dari Universitas Gadjah Mada yang menjadi mitra khusus untuk studi regional. Namun tim sejarawan Indonesia yang terdiri dari 12 orang melakukan penelitian secara independen.

“Ketika kami diajak, kami mengajukan syarat kepada mereka bahwa kami bersedia melakukan penelitian ini dengan syarat kami memperoleh independensi, mulai dari penentuan topik, merekrut peneliti, kemudian penggunaan metodologi, perspektif, dan seterusnya. Kami juga tidak akan mengintervensi peneliti Belanda,” kata koordiantor dan fasilitator penelitian tim sejawaran, Dr Abdul Wahid yang disadur dari BBC News Indonesia.

Wahid menyebut riset ini mencangkup delapan sub proyek yang melihat secara menyeluruh sifat, penyebab, dan dampak kekerasan yang dilakukan Belanda selama rentang waktu tersebut.

Kapal Karya Anak Bangsa yang Turut Perkuat TNI AL

Baginya penelitian ini menjadi peluang positif untuk duduk bersama dengan para peneliti Belanda. Termasuk apa saja yang sudah diteliti dan yang tidak kalah penting adalah perspektif yang dikembangkan oleh masing-masing negara.

“Dan inilah kesempatan yang besar - kami melihatnya begitu - di saat juga terjadi perubahan besar di masyarakat Belanda yang mencoba melihat lebih terbuka lagi tentang periode ini. Dan pada saat yang sama, kami melihat ada kebutuhan juga di kita untuk melihat periode ini,” jelasnya.

Debat terbuka tentang dugaan kekerasan yang dilakukan serdadu Belanda dalam upaya menguasai kembali Indonesia, pertama kali muncul pada tahun 1969. Ketika itu veteran perang Johan Engelbert (Joop) Heuting mengungkap aksi kekerasan pada program televisi.

Dirinya membeberkan pengalamannya ketika bertugas sebagai wajib militer di Indonesia pada tahun 1947. Wilayah tugasnya antara lain Jawa Timur. Ketika terlibat dalam penyerangan ke Yogyakarta, dirinya menyaksikan eksekusi dan berbagai kekerasan terhadap orang-orang Indonesia yang ditangkap.

Wawancara ini mengundang rekasi keras, pemerintah Belanda menerbitkan catatan resmi bertajuk Excessennota atau catatan berlebih atau keterlaluan. Dengan narasi, memang betul ada yang berlebihan tetapi Angkatan Bersenjata secara keseluruhan berlaku benar.

Tetapi selagi pemerintah Belanda berusaha mempertahankan narasi resminya, beberapa langkah terus dilakukan untuk menggugat melalui jalur hukum. Upaya ini dimotori ketua yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffey M Pondaag dan pengacara Liesbeth Zegveld mulai tahun 2008.

Hasilnya pada September 2011, sembilan keluarga korban pembantaian Rawagede memenangkan gugatan ganti rugi terhadap negara Belanda. Pengadilan menyatakan pemerintah Belanda bertanggung jawab atas pembantaian terhadap setidaknya 431 warga di Rawagede atau kini bernama Balongsari, Jawa Barat.

Ketika masa bersiap menimbulkan polemik`

Pada penelitian ini juga akan menjawab pertanyaan tentang upaya pemerintah Indonesia dan Belanda terkait kekerasan dari dua belah pihak. Hal ini terkait kekerasan yang dilakukan oleh laskar pejuang di pihak Indonesia.

Isu ini sempat menyedot polemik tajam, karena dalam histografi Belanda terkenal istilah “bersiap” yang kerap ditafsirkan sebagai masa kekerasan yang dilakukan pihak Indonesia terhadap orang-orang Belanda, Indo, Tionghoa, dan Maluku.

Menurut catatan Federatie Indische Nederlands (FIN) dalam periode 1945-1949, ribuan orang Belanda disiksa, diperkosa, dan dibunuh. Mereka memperkirakan jumlahnya sekitar 30.000 orang meninggal dan 15 lainnya hilang, ini termasuk kelompok orang Tionghoa, Maluku dan kelompok lain yang dianggap pro Belanda.

Abdul Wahid tidak memungkiri adanya fakta kekerasan yang dilakukan pejuang Indonesia. Tetapi baginya itu merupakan bagian dari realitas revolusi. Kejadian itu merupakan bagian perlawanan dan upaya mengusir penjajah kembali ke Belanda.

“Jadi itu (kekerasan) yang tidak terhindarkan,” ujar pria yang juga sejarawan UGM ini.

Serangan Umum 1 Maret: Titik Balik Perjuangan Kedaulatan Indonesia

Pandangan Belanda yang telah mengakar adalah para pemimpin Indonesia ketika itu, baik di tingkat nasional maupun lokal tidak mampu mengendalikan kekerasan. Sehingga kekerasan terjadi di berbagai daerah

Namun sejarawan senior Dr Rushdy Hosein menilai versi Belanda absen tentang penjajahannya kepada negeri yang telah berdaulat. Juga tidak ada pengakuan bahwa perlawanan yang dilakukan merupakan upaya pejuang untuk mengusir kolonial.

Sementara itu Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmaf Farid mengatakan kesimpulan ini merupakan langkah maju. Baginya ini penting dalam hubungan antara Indonesia-Belanda pada masa depan.

Dirinya juga menekankan bahwa terjadinya kekerasan ekstrem ini karena upaya pemerintah Belanda untuk menegakkan kembali kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah Indonesia tidak menutup mata atas aksi kekerasan yang dilakukan pejuang.

“Kita berbesar hati, mengakui bahwa memang ada kekerasan yang dilakukan pihak Indonesia,”ujarnya yang dimuat BBC News Indonesia.

Tetapi semenjak awal, Indonesia sudah mengakui dan berupaya untuk menyelesaikan. Misalnya ketika otoritas Indonesia mengadili terduga pelaku kekerasan dalam “peristiwa tiga daerah” di Jawa Tengah.

Hilmar juga menggarisbawahi. kekerasan yang dilakukan orang-orang Indonesia ketika itu, seharusnya tidak menjadi alasan bagi Belanda untuk mengirimkan tentaranya untuk melakukan pembalasan.

“Dan dalam penelitian ini disimpulkan bahwa pengiriman tentara Belanda tidak ada hubungan dengan kekerasan yang dilakukan orang Indonesia, tetapi untuk merestorasi kekuasaan kolonialnya,” pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini