Menjelajahi Wisata Sejarah di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Menjelajahi Wisata Sejarah di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta
info gambar utama

Kawasan Malioboro telah menjadi ikon destinasi wisata di Yogyakarta. Banyak wisatawan mengunjungi Jalan Malioboro untuk berjalan-jalan, berbelanja, atau wisata kuliner karena memang banyak penjual makanan di sepanjang jalan.

Di sana juga terdapat bangunan-bangunan ikonik khas Yogyakarta seperti Tugu Yogyakarta, Titik Nol Kilometer, dan Pasar Beringharjo. Tak heran bila jalanan ini selalu ramai dikunjungi wisatawan.

Bila Anda berjalan sampai ujung ke kawasan Titik Nol Kilometer, maka akan terlihat sebuah bangunan kuno yang begitu menarik perhatian. Bangunan itu adalah Museum Benteng Vredeburg yang lokasinya berada di Jalan Jenderal A. Yani (Margo Mulyo).

Museum Benteng Vredeburg merupakan saksi bisu dari berbagai peristiwa bersejarah yang terjadi di Yogyakarta sejak zaman kolonial. Di sekitar benteng pun dikelilingi oleh bangunan kuno peninggalan Belanda lain seperti Gedung Agung, Gereja Ngejaman, Kantor BNI 1946, Kantor Pos, Bank Indonesia, dan Societeit Militaire.

Bagi yang sering melancong ke Yogyakarta mungkin sudah tidak asing dengan bangunan Museum Benteng Vredeburg, tapi kira-kira ada apa ya di dalam museum tersebut?

Menjadi Kota Paling Sepi di Indonesia, Ada Objek Wisata Apa di Subulussalam?

Menjelajah bagian dalam Museum Benteng Vredeburg

Museum Benteng Vredeburg | @Ryan Zulqudsie Shutterstock
info gambar

Ketika memasuki kawasan Museum Benteng Vredeburg, pengunjung akan melihat bangunan bergaya arsitektur Indische yang dibangun dengan bata dan kayu. Pada masing-masing sudut terdapat bastion sebagai sudut pemantauan.

Di dalam struktur benteng terdapat beberapa ruangan untuk penjara, gudang mesiu, dan gudang penyimpanan. Pada halaman tengah juga ada 14 bangunan benteng yang didirikan dari beberapa masa berbeda.

Di dalam kawasan benteng ini tentunya terdiri dari berbagai koleksi yang menarik. Salah satunya adalah koleksi realia atau benda mati yang benar-benar nyata dan bukan tiruan.

Koleksi ini memiliki peran langsung dalam terjadinya peristiwa sejarah dan benda-bendanya berupa senjata, naskah, pakaian, dan berbagai peralatan rumah tangga.

Kemudian, ada koleksi foto, miniatur, replika, lukisan, dan benda-benda visual lainnya. Selain itu ada pula koleksi diorama sebagai koleksi adegan peristiwa bersejarah. Di dalam museum, terdapat empat ruang diorama yang menampilkan perisitiwa berbeda.

Pada Ruang Diorama I, ada 11 diorama yang menggambarkan peristiwa sejarah periode Perang Diponegoro sampai masa pendudukan Jepang di Yogyakarta (1825-1942).

Sedangkan di Ruang Diorama II terdapat 19 diorama yang menampilkan peristiwa sejarah sejak awal kemerdekaan sampai dengan Agresi Militer Belanda I (1945-1947).

Beralih ke Ruang Diorama III, pengunjung bisa melihat 18 diorama yang menggambarkan sejarah mulai dari Perjanjian Renville sampai dengan pengakuan kedaulatan RIS (1948-1949).

Pada ruangan diorama terakhir yaitu IV ada 7 diorama yang memperlihatkan bagaimana terjadinya peristiwa sejarah pada periode Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai Masa Orde Baru (1950-1974).

Sejak tahun 2021, di Diorama I dan II sudah dilengkapi dengan sarana media interaktif berupa layar sentuh untuk mendapatkan pengalaman baru dalam mempelajari sejarah.

Dari koleksi museum dan diorama, di Museum Benteng Vredeburg juga ada ruangan lain yang bisa dikunjungi. Salah satunya adalah Ruang Pengenalan yang berfungsi sebagai studio mini.

Dengan kapasitas mencapai 50 orang, di ruangan ini pengunjung bisa menonton film-film dokumenter tentang perjuangan berdurasi 10-15 menit.

Menyaksikan Keunikan Uma Lengge dan Tari Adu Kepala di Desa Maria

Peristiwa bersejarah di Museum Benteng Vredeburg

Keberadaan Benteng Vredeburg tak terlepas dari lahirnya Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1755, Keraton Kesultanan Yogyakarta dibangun dan setelah ditempati, mulai dibangun beberapa bangunan pendukung termasuk Pasar Gedhe, masjid, dan alun-alun.

Kemudian pada tahun 1760, pihak Belanda mendirikan Benteng Rustenburgh di dekat keraton atas izin Sultan Yogyakarta.

Pembangunan benteng tersebut bertujuan untuk mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam keraton, juga sebagai benteng strategi, intimidasi, dan blokade, bila sewaktu-waktu Sultan berbalik menyerang dan memusuhi Belanda.

Benteng selesai dibangun pada tahun 1787 tetapi sempat mengalami kerusakan karena gempa bumi. Setelah dipugar, Daendels mengganti namanya menjadi Vredeburg yang artinya perdamaian.

Masih berdiri kokoh hingga saat ini, Benteng Vredeburg telah merekam berbagai peristiwa penting yang terjadi di Yogyakarta.

Misalnya, pada masa penguasaan Inggris tahun 1811-1816, Benteng Vredeburg dikuasai oleh pemerintah Inggris di bawah penguasaan John Crawfurd atas perintah Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles.

Saat itu, terjadi penyerangan serdadu Inggris dan kekuatan-kekuatan pribumi ke Keraton Yogayakarta pada 18-20 Juni 1812 yang dikenal dengan peristiwa Geger Sepoy.

Kemudian pada 5 Maret 1942, Jepang menguasai Yogyakarta dan mengambil alih benteng ini. Beberapa bangunan di benteng menjadi tempat tawanan orang Belanda dan Indonesia yang melawan Jepang, serta menjadi markas dan gudang senjata tentara Jepang.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, benteng diambil alih oleh instansi militer Republik Indonesia. Namun, benteng ini sempat kembali dikuasai pasukan Belanda pada tahun 1948 sampai 1949 pada peristiwa Agresi Militer Belanda II.

Baru kemudian pada Juni 1949 ketika pasukan Belanda mundur dari Yogyakarta, benteng dikelola oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).

Pada periode 1977-1992, pengelolaan benteng diserahkan pada pemerintahan Yogyakarta dan tanggal 5 November 1984, Mendikbud saat itu yaitu Prof. Dr. Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa bekas benteng ini akan difungsikan menjadi museum.

Kemudian tahun 1987, Museum Benteng Vredeburg seluas 46.574 meter persegi pun sudah dibuka untuk umum.

Bukan Labuan Bajo, Intip Pesona Kota Soe yang Menakjubkan di NTT

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

DA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini