Mengapa Flexing Begitu Menyakitkan Bagi Sebagian Orang yang Melihatnya?

Mengapa Flexing Begitu Menyakitkan Bagi Sebagian Orang yang Melihatnya?
info gambar utama

Kalau ada daftar kata yang mendadak ramai dibincangkan belakangan ini, pastilah salah satunya adalah flexing.

Tapi siapa tahu ada yang belum familiar, flexing yang satu ini adalah kata lain dari pamer kekayaan. Kalau ingin tahu lebih lanjut, salah satu yang saya rekomendasikan adalah video ulasan menarik dari Prof Rhenald Kasali di tautan berikut.

Atau bagaimana flexing akhirnya makan korban baik bagi pelakunya maupun orang-orang yang terkecoh ingin menjadi kaya mudah dan cepat, Anda juga bisa melihatnya di sini.

Saat beberapa orang yang selama ini kerap mengunggah kemewahan di media sosial tersandung kasus, pengikut yang ratusan ribu bahkan jutaan seperti kompak nyukurin. Tak ada komentar mengelu-ngelukan. Seakan jutaan pasang mata sudah menunggu kejatuhannya. Sangat memprihatinkan.

Mengapa bisa begitu? Fakta-fakta berikut bisa jadi adalah penyebabnya.

Ada berapa sih, jumlah orang kaya di Indonesia?

Credit Suisse pada 2021 lalu merilis laporan jumlah 'orang kaya' di Indonesia hanya 0,1 persen dari total penduduk, atau sekitar 171 ribu orang. Jumlah ini tidak ada 1/10 penduduk Kota Bekasi.

Orang disebut kaya dalam laporan ini merujuk orang dengan kekayaan bersih 1 juta dolar AS (Rp14,3 miliar) atau lebih.

Selain orang kaya, ada juga golongan yang sangat kaya. Jumlahnya jauh lebih sedikit, 417 orang saja. Mereka ini adalah yang memiki kekayaan lebih dari 100 juta dolar AS (Rp1,4 triliun).

Kalau orang-orang sangat kaya ini naik kereta api secara bersama-sama, hanya butuh 8,5 gerbong kelas eksekutif atau 15 gerbong kelas prioritas. Cukup ditarik satu lokomotif saja.

Lalu berapa banyak penduduk yang masih miskin di Indonesia? Jawabannya ada dalam catatan BPS yang menyebut ada 26,5 juta orang, atau 9,71 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah yang setara dengan seluruh populasi penduduk Australia.

Sumber: BPS

Dalam rumusan BPS, seorang individu dikatakan miskin apabila pengeluaran untuk makan perbulannya di bawah Rp486.168, atau sekitar Rp16 ribu sehari.

Karena itulah, seandainya kita pesan segelas Tiramisu Latte di gerai Kopi Kenangan lalu memostingnya di media sosial, itu bisa menjadi kegetiran bagi 26,5 juta penduduk Indonesia. Karena harga segelas kopi itu adalah angka yang harus diperjuangkan untuk kebutuhan makan dua hari.

Itu baru di Kopi Kenangan, kalau nongkrongnya di gerai kopi yang lebih mahal, bisa dihitung sendiri.

Pertanyaan selanjutnya, berapa pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia? Di jawab oleh BPS bahwa reratanya adalah Rp62,2 juta per tahun, atau Rp5,18 juta per bulan. Inilah kelas menengah, yang berada di atas garis kemiskinan, tapi belum bisa disebut kelompok kaya.

Jumlah itu sangat kontras dengan total pengguna media sosial di Indonesia yang saat ini menyentuh 191 juta orang. Kalau melihat dari angkanya, mustahil media sosial hanya digunakan oleh mereka yang kaya.

Apalagi menurut Kemenkominfo, 89 persen penduduk telah menggunakan ponsel. Sebagian besar pastilah kalangan menengah yang biasa-biasa saja, atau bahkan yang termasuk kaum miskin.

Dengan situasi tersebut, bagaimana perasaan sebagian besar masyarakat ketika melihat unggahan pamer kebahagiaan, harta benda, dan kesejahteraan dari akun para 'sultan'?

Atau jangan menuding terlalu tinggi dulu ke orang-orang berlabel 'sultan' atau 'crazy rich'. Jangan-jangan postingan kita yang bukan terhitung kaya pun tergolong pamer.

Sindrom situasionalkah atau sekadar dokumentasi?

Pamer di media sosial bukan hanya harta benda. Kadang orang flexing tipis-tipis, disadari atau tidak disadari. Seperti mengunggah tempat-tempat liburan yang tidak murah, kencan di restoran kelas atas, dekorasi rumah atau hunian, ruang kerja, hobi mahal, hingga kendaraan.

Bisa jadi, niatnya tadi hanya dokumentasi, tapi itu tanpa disadari juga bikin 'baper' banyak orang.

Lalu, apakah kita tidak boleh mengunggah hal-hal seperti itu? Di negara kita sama sekali tidak ada larangan posting apapun di media sosial, termasuk pamer, asal tidak melanggar UU ITE.

Kita hanya memerlukan lebih banyak empati. Bahkan saat ingin menginspirasi melalui unggahan di media sosial pun, sebaiknya meraba dulu jangan-jangan bukan inspirasi yang orang lain dapat. Tapi perasaan terintimidasi.

Sudah banyak penelitian menyebutkan, media sosial memicu depresi bagi banyak penduduk. Terutama kalangan remaja. Salah satu penyebab utamanya karena melalui media sosial orang menjadi sering membandingkan diri dengan orang lain yang dilihatnya.

Orang lain bisa liburan, kok saya tidak? Orang lain punya rumah bagus, kok saya tidak? Orang lain kariernya bagus, kok saya tidak? Orang lain hidupnya bahagia, kok saya tidak?

Padahal, kita bisa saja tak ambil pusing dan bilang, ''Salah mereka sendiri. Kalau tidak suka, jangan follow, jangan lihat. Repot amat.''

Iya sih, salah sendiri. Tapi sebegitu sulitkah menahan untuk tidak terlalu mengumbar diri di media sosial? Sementara orang-orang paling kaya di RI justru tidak terlalu senang disorot, bahkan sebagian besar mereka tidak punya akun media sosial.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Wahyu Aji lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Wahyu Aji.

WA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini