Perang Informasi, Perang Masa Kini

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Perang Informasi, Perang Masa Kini
info gambar utama

Pada saat saya menulis artikel ini, pertempuran antara Rusia dan Ukraina seudah berlangsung selama satu minggu dan dunia mengetahui bahwa kekuatan militer Rusia tentu unggul dari Ukraina, maklum sekarang ini kekuatan militer Rusia menduduki peringkat ke-2 dunia setelah Amerika Serikat.

Rusia terus menerus mengirim pasukan, tank, artileri, helikopter, dan pesawat tempur, ke Ukraina dan sudah mendekati ibu kota Kiev. Meski begitu, tindakan ini mendapatkan perlawanan sengit dari pasukan Ukraina--yang terus menerus mendapatkan suplai senjata canggih dari Amerika Serikat dan NATO sebagai sekutunya.

Kita di Indonesia, mendengar berita tentang perang kedua negara itu kebanyakan dari berita-berita berbagai stasiun TV barat yang mendominasi dunia, antara lain seperti CNN, FOX, CNBC, CBS, Bloomberg, BBC, DW, dan TV Monde, dan ABC.

Ditambah pula dari berbagai Kantor Berita Asing dari pihak barat seperti Reuter, AFP, UPI. Ada juga dari stasiun Al Jazeera dari Uni Emirat Arab dan TRT dari Turki.

Dari berbagai sumber berita itu, kita mendapatkan informasi bahwa pasukan Ukraina sudah membunuh lebih dari 6.000 pasukan elite Rusia, menghancurkan puluhan pesawat tempur, tank, dsb. Para sumber berita itu juga menginformasikan bahwa pihak Rusia yang salah dalam perang ini.

Ada sumber berita penyeimbang dari media barat, yaitu Russian Today (RT) dan Sputnik dari Rusia, TV Press dari Iran, dan CCTV dari Cina.

Kantor berita ini memberikan berita sanggahan, misalnya soal tentara Rusia mentargetkan masyarkat sipil atau berita-berita video tentang pesawat Rusia yang jatuh ditembak ternyata dari video game.

Memenangkan perang tidak hanya dengan cara keunggulan militer, tapi juga keunggulan dibidang diseminasi berita sesuai dengan kepentingan negara-negara yang bertikai. Untuk itu, negara-negara barat di Eropa, Australia, dan sekutu Amerika Serikat, melarang stasiun TV Rusia seperti RT dan Sputnik mengudara di negara-negara itu, sehingga penduduknya tidak bisa mendengar dan melihat berita dari pihak lawan.

Kebijakan melarang TV negara lain untuk mengudara itu sebenarnya diprotes dari banyak warga negaranya sendiri, karena kenapa negara yang disebut negara demokratis tapi menutup berita dari negara lain.

Di negara demokratis adalah hak setiap orang untuk mendapatkan informasi. Tapi hal itu tentu dibantah oleh masing-masing pemerintah negara yang melarang mengudaranya TV pihak musuh, tentunya demi kepentingan nasional mereka.

Ada seorang aktivis dari barat menulis pikirannya tentang perang Rusia vs Ukraina dari perspektif Rusia di akun instagramnya. Unggahan pikirannya itu kemudian diblokir oleh Meta (Facebook) sebagai pemilik instagram, dengan alasan unggahan itu berisi unggahan kebencian.

Tapi pada saat yang bersamaan, instagram memberitakan tentang peran batalion Azov Ukraina dalam perang itu, padahal sebelumnya pemberitaan tentang Azov itu dilarang dikarenakan tindakannya yang brutal, melakukan pembunuhan secara sistimetais, dan yang terpenting Azov adalah gerakan Neo Nazi yang tidak disukai negara-negara barat.

Pihak Rusia tentu paham permainan diseminasi informasi itu, karena itu baru-baru ini senjata rudal dengan persisi tinggi milik Rusia menghancurkan menara stasiun TV Ukraina.

Pengalaman saya waktu kecil (tahun 50-an dan 60-an), saya juga mengalami bagaimana negara kita juga melarang berita dari luar negeri ketika kita konfrontasi dengan Malaysia.

Pada waktu itu, Radio Republik Indonesia atau RRI adalah lembaga penyiaran resmi milik negara, dan RRI ini adalah satu-satunya saluran siaran radio, karena pada saat itu tidak ada saluran radio yang dimiliki swasta.

Warga sebenarnya selain mendengarkan siaran RRI, juga bisa memilih channel siaran luar negeri, seperti BBC dari Inggris dan ABC dari Australia.

Namun seingat saya pada tahun-tahun itu, ketika hubungan Indonesia dengan negara-negara barat--utamanya Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, lagi tegang dan mengingat Presiden Soekarno sangat anti pada negara-negara yang tergolong imperalisme, kolonialisme itu, ada peraturan larangan dari pemerintah bagi warga agar tidak mendengarkan siaran radio dari negara-negara tersebut.

Warga tentu takut untuk melanggar aturan tersebut, sebab takut dituduh antek asing, atau anti-revolusi dan bisa-bisa ditangkap aparat keamanan negara.

Kita di Indonesia harus jeli dan paham bahwa pada dasarnya suatu perang itu juga adalah perang informasi, dan Indonesia juga sering mendapatkan serangan informasi negatif dengan berbagai bentuk yang berisi hal-hal buruk tentang negeri ini.

Oleh karena itu perlu kita menghindari ketergantungan 'one reference' suatu berita dengan mengecek berita lain sebagai 'second opinion'.

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Penulis aktif menulis di Koran Jawa Pos, Surya, dan rutin menulis di GNFI. Beberapa tulisannya acapkali dimuat/dikutip Koran Malaysia dan Thailand. Penulis yang juga tersohor sebagai akademisi sekaligus profesional di kota kelahirannya, Surabaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

AH
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini