Berkaca dari Sitti Nurbaya, Sebuah Kritik Budaya Pernikahan Minangkabau

Berkaca dari Sitti Nurbaya, Sebuah Kritik Budaya Pernikahan Minangkabau
info gambar utama

Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai adalah sebuah novel Indonesia yang ditulis oleh Marah Rusli. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit nasional negeri Hindia Belanda, pada tahun 1922. Dan hingga kini menjadi salah satu cerita yang masih membekas.

Sitti Nurbaya menceritakan cinta remaja antara Samsubahri dan Sitti Nurbaya yang hendak menjalin cinta, tetapi terpisah ketika Samsu terpaksa pergi ke Batavia untuk melanjutkan sekolah dokter. Sementara itu, Bagindo Sulaiman (ayah Sitti Nurbaya) tidak bisa mengembalikan utang kepada Datuk Maringgih.

Kemudian, Sitti Nurbaya menawarkan diri untuk menikah dengan Datuk Maringgih, seorang pria yang kaya tetapi berwatak kasar, agar ayahnya hidup bebas dari utang. Mendengar hal itu Samsu sangat kecewa, dan berkeinginan untuk bunuh diri walau berhasil digagalkan.

Pada akhir cerita, Samsu yang menjadi anggota tentara kolonial Belanda, membunuh Maringgih dalam suatu revolusi, lalu meninggal akibat lukanya. Sedangkan Sitti Nurbaya telah lama meninggal dunia karena diracun oleh Datuk Maringgih.

Sitti Nurbaya merupakan novel yang digemari oleh masyarakat, sehingga nama Sitti Nurbaya sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini. Novel ini telah mengalami tiga kali perubahan ejaan, yaitu Ejaan Van Ophuijsen, Ejaan Republik, dan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

Inilah Beberapa Novel Terbaik Indonesia yang Harus Kamu Baca

A.Teeuw menyatakan Sitti Nurbaya merupakan novel pertama yang bisa dijadikan contoh untuk membicarakan pertentangan budaya. Sedangkan H.B Jassin mengungkapkan bahwa novel ini merupakan lukisan manusia yang hendak melepaskan diri dari adat istiadat daerahnya.

Lahirnya karya Marah Rusli ini pada dasarnya adalah sebuah kritik sosial terhadap budaya perkawinan masyarakat Minangkabau yang dianggapnya sebagai budaya yang “rancu dan pincang”. Di mana persoalan pernikahan menjadi urusan bersama.

Hal ini bisa terlihat dari proses yang dialami Sitti Nurbaya yang mengalami perjodohan, selain masih memegang teguh adat istiadat Minangkabau. Perkawinan paksa ini menjadi simbol bahwa perempuan merupakan "harta" yang bisa diserahkan untuk menyelesaikan masalah.

Sitti Nurbaya akhirnya menikah dengan Datuk Maringgih seorang saudagar kaya termasyur di Padang yang kikir dan memandang kebahagian seseorang dari kekayaan yang dimiliki. Dirinya rela menikah daripada melihat ayahnya dipenjara.

Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku, dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku dan berteriak, “jangan penjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgih.” (halaman 119).

Marah Rusli ingin menceritakan betapa beban yang harus ditanggung Sitti Nurbaya yang sangat besar. Rasa cintanya yang besar kepada kekasih hatinya, Samsubahri, harus dirinya relakan, persis saat melihat ayahnya hendak dibawa ke penjara.

Kritik Marah Rusli

Pada masa itu, perjodohan merupakan hal yang wajar. Marah Rusli, membalut budaya ini dengan konflik menarik. Tidak aneh bila kisah ini masih begitu membekas kepada pembaca. Bahkan sering dijadikan olok-olok bagi mereka yang menikah karena perjodohan.

“Novel Marah Rusli ini memang bertujuan membebaskan perempuan dari perkawinan yang tidak didasarkan oleh rasa cinta,” tulis Aegi dalam tulisan Berkaca pada Cinta Siti Nurbaya yang ditulis Kompas.

Menurut Aegi, persoalan yang dikemukakan oleh Marah Rusli bukan lagi karya-karya yang istana-sentris dan hal-hal yang bersifat fantasi belaka. Tetapi melainkan gambaran realita masyarakat pada masa itu.

Upaya Marah Rusli untuk mengkritisi budaya adat istiadat Minangkabau terlihat mulai bagian kedua novel ini yang diberi judul Sutan Mahmud dengan Saudaranya yang Perempuan. Selain itu juga upayanya mengkesampingkan peran ninik mamak.

Padahal peran ninik mamak fungsinya begitu penting dalam keluarga Minangkabau. Karena itu tidak terlalu ditonjolkannya fungsi ninik mamak dalam Sitti Nurbaya, dapat dipandang secara janggal mengingat penting perannya.

Pada novel ini juga mengangkat tradisi bahwa lelaki bangsawan di Minangkabau sangat wajar menikah dengan lebih dari satu gadis. Bahkan akan menjadi aneh bagi masyarakat saat itu bila melakukan hal yang sebaliknya.

Cerita Para Kombatan Jelang Jepang Menyerah

Kritik terhadap kondisi masyarakat Minangkabau ditunjukan melalui sikap tokoh Sultan Mahmud yang menentang adat dan hanya menikahi satu perempuan saja. Ditambah lagi istri yang dipilihnya bukan berasal dari keturunan bangsawan.

Walaupun tersebut dalam kitab (agama), laki-laki boleh beristri sampai empat orang, tetapi haruslah harta si laki-laki itu berlebih dahulu daripada untuk memelihara seorang istri dengan sempurna dan haruslah pula dia adil dengan seadil-adilnya, dalam segala hal,” (halaman: 198).

Perlakuan adat istiadat Minangkabau terhadap perempuan juga dipandang tidak adil oleh Marah Rusli. Hal ini dapat disimpulkan melalui berbagai pernyataan yang terdapat dalam novel Sitti Nurbaya.

Misalnya perempuan tidak terlalu penting untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Kemudian yang kedua, perempuan sebaiknya lebih cepat menikah. Keadaan perempuan dalam Sitti Nurbaya memang sangat memperihatinkan.

Kehidupan mereka, ketika sudah remaja hingga dewasa hanya kepada tiga empat saja, yakni kasur, dapur dan sumur. Kondisi yang demikian itu disampaikan dalam pernyataan dalam novel tersebut.

Apabila telah berumur tujuh-delapan tahun mulailah dikurung sebagai burung, tiada diberi melihat langit dan bumi, sehingga tiadalah tahu apa yang akan terjadi sekeliling kita. Sedangkan pakaian dan makanan, tiada di makan, apalagi kehendak dan kesukaan hati. Sementara itu, kita disuruh belajar memasak, menjahit, menjaga rumah tangga, sekalinya pekerjaan tiada menambah kekuaatan dan menajamkan pikiran.” (halaman 204).

Belajar dari Sitti Nurbaya

Tokoh Sitti Nurbaya digambarkan memiliki pasangan yang sangat ideal, yakni Samsubahri. Sosok Samsubahri bukan hanya pasangan dalam persahabatan dan percintaan. Tetapi juga pasangan dalam menanamkan ide kebebasan.

Namun kejahatan Datuk Maringgih mengkandaskan harapan mereka untuk berumah tangga, karena Sitti Nurbaya dijadikan jaminan pembayaran utang. Pernikahannya dengan Datuk Maringgih memberi pengalaman pahit karena tidak berjalan harmonis.

Rumah tangganya tidak harmonis karena tidak didasari oleh rasa cinta, tetapi didahului oleh permusuhan dan kebencian. Hal ini karena Datuk Maringgih menikahi Sitti Nurbaya karena ingin memperturutkan hawa nafsunya, sedangkan Sitti Nurbaya ingin melunasi utang ayahnya.

Melihat Gambaran Masyarakat Betawi dalam Kisah Si Doel

Segala milik atau pemberian Datuk Maringgih tidak dapat menyenangkan hati, tetapi justru mendapat amarah Sitti Nurbaya. Tidak ada yang dapat menghibur Sitti sehingga Sitti tidak tahan hidup dalam keadaan demikian.” (halaman 144-145).

Pengalaman pahit tersebut bisa mengembangkan pikiran emansipasi perempuan. Karena menyadari perkawinan yang tanpa didasari rasa cinta dapat mendatangkan bencana. Menurut Sitti Nurbaya ada empat kewajiban orang tua dalam hal perkawinan.

Pertama tidak mengawinkan anak pada usia yang masih sangat muda. Kedua, mengawinkan anak ketika memang sudah siap untuk kawin. Ketiga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih jodohnya sendiri. Dan yang terakhir, memilihkan jodoh yang usianya berpadan.

Memang tidak mudah mencari jodoh yang sejoli. Oleh karena itu, perkawinan sering dinyatakan sebagai suatu hal yang penting dan tidak boleh diremehkan. Kebahagiaan berumah tangga hanya dapat dicapai kalau si laki-laki dan si perempuan dapat bersesuaian dalam segala hal.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini