FKUI: Pasien Komorbid Berisiko Lebih Tinggi Mengalami Kematian Akibat Covid-19

FKUI: Pasien Komorbid Berisiko Lebih Tinggi Mengalami Kematian Akibat Covid-19
info gambar utama

Indonesia merupakan negara dengan angka kematian Covid-19 tertinggi kedua di Asia. Per 6 Maret 2022, total kematian akibat Covid-19 sebesar 149,92 ribu orang. Sementara itu di urutan teratas adalah India dengan total kematian sebesar 515,06 ribu dan di urutan ketiga ada Iran dengan catatan kematian sebanyak 137,75 ribu orang.

Tingginya angka kematian yang disebabkan Covid-19 juga tak terlepas dari komorbid. Orang dengan komorbid disebut lebih berisiko mengalami gejala yang parah bila positif Covid-19. Komorbid sendiri adalah kondisi ketika seseorang memiliki dua penyakit atau lebih dalam waktu bersamaan. Baik itu penyakit fisik, mental, atau gabungan keduanya. Misalnya, A adalah komorbid karena menderita kanker dan depresi dalam waktu yang sama, kemudian ditambah lagi positif Covid-19.

Kondisi tersebut juga terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Penelitian berjudul “Cardiometabolic Morbidity and Other Prognostic Factors for Mortality in Adult Hospitalized Covid-19 Patients in North Jakarta, Indonesia” ini merupakan studi pertama di Indonesia yang membahas faktor prognostik kematian akibat Covid-19.

Penelitian ini menggunakan data yang dihimpun dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja, Jakarta Utara. Meski himpunan data hanya berasal dari satu rumah sakit, para peneliti menyebut penelitian ini unik karena RSUD Koja sendiri memiliki demografi pasien beragam yang menggambarkan populasi umum. Adapun tim peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi panduan bagi pemerintah untuk mencegah kolapsnya sistem kesehatan akibat pandemi.

Merek Vaksin Covid-19 Apa yang Paling Banyak Digunakan di Dunia?

Penelitian faktor prognostik kematian akibat Covid-19

Penelitian FKUI | Dok. FKUI
info gambar

Tim peneliti mengenai faktor prognostik kematian akibat Covid-19 ini terdiri dari dr. Siti Rosidah, dr. Novi Yudia, dr. Jeffri Simatupang, dr. Wulan Pingkan Sigit, dr. Rita Novariani, Sp.P., dan dr. Priscilia Myriarda, Sp.JP.

Penelitian ini diketuai oleh dr. Arvin Pramudita dan dibimbing oleh Prof. Dr. dr. Bambang Budi S, Sp.JP(K), FISHR, FAsCC, FAPSC dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI-Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dan melibatkan sejumlah peneliti dari tim pelayanan Covid-19 RSUD Koja. Hasil penelitiannya sendiri telah telah dipubilkasikan di jurnal internasional Global Heart.

Apa yang dimaksud dengan faktor prognostik? Jadi ini adalah faktor yang diyakini memiliki hubungan dengan kasus yang dapat berkembang menjadi terminal penyakit, baik itu sembuh, ada sisa gejala, bertambah berat, menimbulkan kecacatan, bahkan meninggal. Dalam konteks Covid-19, faktor pronostik harus dikenali untuk menangani pasien dengan cepat dan tepat sehingga bisa menekan angka kematian.

Dengan metode kohort retrospektif, studi ini dilakukan kepada 243 pasien dewasa di atas 18 tahun dan positif Covid-19 di RSUD Koja pada periode 20 Maret–31 Juli 2020.

Data diambil dari rekam medis pasien untuk mengeksplorasi faktor prognostik, dan meliputi demografi, pemeriksaan klinis, laboratorium, dan radiologi pasien. Untuk lebih detailnya, dalam penelitian disebutkan bahwa data demografi dan klinis termasuk usia, jenis kelamin, gejala, penyakit penyerta, tanda-tanda vital saat masuk (tekanan darah dan detak jantung), kebutuhan segera akan oksigen tambahan, dan perawatan di rumah sakit.

Sementara untuk data laboratorium terdiri dari hitung darah lengkap, biokimia darah, protein C-reaktif (CRP) dan D-dimer yang diambil pada hari pertama masuk. Pada hari pertama, rontgen dada diambil dan diinterpretasikan oleh ahli radiolog untuk mencari kardiomegali sebagai satu-satunya indikator yang dapat diukur secara objektif.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa , pasien berpenyakit bawaan, berkebutuhan oksigen dengan segera, berstatus RDW (red cell distribution width) abnormal, serta yang menjalani terapi klorokuin (obat antimalaria) memiliki risiko mengalami kematian akibat Covid-19 lebih tinggi.

Adapun kesimpulannya adalah pasien yang meninggal lebih mungkin memiliki penyakit bawaan, baik itu seperti hipertensi, diabetes mellitus, obesitas, juga pasien yang mengalami pengentalan darah. Pasien dengan kebutuhan oksigen yang segera juga menunjukkan tingkat keparahan penyakit. Hal ini dikarenakan kadar oksigen dalam darah yang sangat rendah menyebabkan terjadinya peradangan yang berlebihan dan kerusakan paru progresif.

Faktor prognostik lain pada pasien Covid-19 adalah variasi ukuran sel darah merah yang lebih tinggi, kadar limfosit yang rendah, serta pengobatan dengan klorokuin. Pengobatan dengan antimalaria juga dikhawatirkan dapat memberikan efek samping, terutam pada sistem jantung dan pembuluh.

Pembahasan mengenai komorbid dan kematian akibat Covid-19 juga sempat dibahas oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada , Senin (7/3/2022). Ia mengatakan bahwa 50 persen pasien Covid-19 yang meninggal dunia merupakan lansia yang memiliki komorbid.

"Hasil audit kematian di rumah sakit menunjukkan bahwa mayoritas kasus meninggal tersebut adalah lansia dengan komorbid berupa diabetes, hipertensi dan gagal ginjal," kata Dante.

Menurut penuturan Dante, saat ini 60 persen pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit rujuan tanpa gejala dan gejala ringan sehingga tidak lagi memerlukan perawatan secara klinis medis. Ia juga mengatakan bawa saat ini lebih dari 54 persen penduduk Indonesia sudah mendapatkan vaksinasi dosis kedua.

Jatuh Bangun Indonesia Melawan Covid-19 dan Tantangan Menghadapi Varian Omicron

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini