Indonesia 1958, Ketika AS Mengambil Peran dalam Gerakan PRRI/Permesta

Indonesia 1958, Ketika AS Mengambil Peran dalam Gerakan PRRI/Permesta
info gambar utama

Pertandingan babak 16 besar Liga Europa antara Red Star Belgrade melawan Glasgow Rangers diawali dengan pemandangan menarik dari tribun penonton. Fans tim tuan rumah membentangkan spanduk besar yang salah satunya bertuliskan “Indonesia 1958”.

Dilansir dari Goal Indonesia, tujuan fans Red Star membentangkan spanduk ini adalah bentuk protes atas sikap ‘muka dua’ kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS), serta mengkritik FIFA atas sanksi-sanksi buntut dari invasi Rusia ke Ukraina.

Lalu mengapa dalam spanduk itu menyinggung Indonesia pada tahun 1958? Ternyata hal ini berkaitan dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).

Pada kedua peristiwa pergolakan itu, diduga AS memberikan bantuan seperti senjata hingga pesawat pengebom secara diam-diam kepada PRRI dan Permesta melalui Central Intelligence Agency (CIA).

Pada 16 Mei 1958, salah atau pesawat bantuan dari AS yang dikemudikan oleh agen CIA, Allen Lawrence Pope, ditembak jatuh oleh TNI di Ambon dan dirinya berhasil ditangkap hidup-hidup.

Kisah Allen Pope ini hanya menjadi salah satu bagian dari serangkaian aksi Negeri Paman Sam di Tanah Air. Cerita ini juga menjadi salah satu babak dari peristiwa pergolakan yang memberikan luka begitu panjang.

Kisah Dua Presiden Indonesia yang Terlupakan Sejarah, Bahkan Dicap Pemberontak

Ketimpangan yang melahirkan pemberontakan

Membahas pergolakan daerah yang muncul pada masa demokrasi liberal dari tahun 1960-an yang melibatkan PRRI-Permesta dianggap berangkat dari dua hal yaitu polarisasi pasca pemilu 1955 dan ketimpangan ekonomi.

Polarisasi tersebut berasal dari hasil Pemilu 1955, di mana PNI mendapat dukungan terkuat di Pulau Jawa, demikian juga NU dari pihak agama. Sedangkan Partai Masyumi, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) lebih banyak mewakili luar Jawa.

Persoalan polarisasi politis ini turut memunculkan pergolakan di luar Jawa. Karena turut memperkeruh suasana pembangunan nasional dan ditambah kegagalan pemerintah dalam mengurus perekonomian.

“Sentralisasi perekonomian nasional menyebabkan daerah yang kaya sumber daya alam, tetapi berpenduduk sedikit, tidak dapat menikmati hasil alamnya, sebagaimana daerah luar Jawa terutama Sumatra dan Sulawesi,” tulis Faishal Hilmy Maulida dalam Hitam Putih PRRI-Permesta: Konvergensi Dua Kepentingan Berbeda 1956-1961.

Ditambah kedekatan antara PKI dengan Presiden Soekarno memunculkan ancaman bagi sebagian militer, terutama angkatan darat. Posisi Bung Karno yang juga mulai dekat dengan China juga menjadi ancaman serius bagi AS.

Amerika Serikat dalam peristiwa pergolakan

AS telah merespon lahirnya gerakan-gerakan di daerah ini. Para pejabat CIA melihat aksi-aksi tersebut sebagai suatu kesempatan untuk menjalankan kebijakan “memegang kaki Soekarno di atas api”.

Beragam pertemuan pun dilakukan oleh pihak PRRI/Permesta dengan AS. Misalnya pada tanggal 14 Februari 1958, Letkol Ventje Sumual datang ke Manila, Filipina untuk meminta bantuan.

Ventje Sumual dan Sumitro Djojohadikusumo mengadakan kontak pertama dengan orang CIA pada Januari 1958 di Singapura. Selanjutnya disepakati CIA di Singapura menangani bantuan untuk PRRI di Sumatra, sedangkan CIA di Manila memberikan dukungan kepada Permesta di Sulawesi.

Pada 15 Februari 1958 diproklamasikan suatu pemerintah revolusioner terhadap pusat yaitu PRRI. Pusat Pemerintahan PRRI berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden.

Sedangkan Gerakan Permesta di Sulawesi dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual juga memproklamirkan gerakannya. Pada 17 Februari 1958, Permesta memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung gerakan PRRI.

Memang sejak Januari 1958, keterlibatan Amerika Serikat dalam gerakan PRRI/Permesta tampak sudah jelas. Operasi yang dilakukan oleh CIA ini disebut dengan istilah HAIK. Biaya untuk operasi di Indonesia disebut senilai paling tidak sepuluh juta dolar.

PRRI mendapatkan bantuan persenjataan dari Amerika Serikat. Persenjataan yang dikirimkan oleh pihak Amerika diangkut menggunakan kapal terbang. Beberapa persenjataan ini pun diturunkan di atas hutan-hutan Sumatra.

Menurut Yohanes Guruh Utoro Aji dalam Peran Amerika Serikat dalam Gerakan PRRI/PERMESTA Pada Demokrasi Liberal persenjataan ini antara lain, LMG 12,7 MM, penangkis serangan udara, bazooka, granat semi otomatis, dan persenjataan infantri.

Jalan Pedang Daud Beureueh, Ulama Karismatik yang Masuk Hutan untuk Tagih Janji

“Pada kemudian hari persenjataan dan perlengkapannya inilah yang digunakan untuk melawan serangan oleh pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang dikirim dari Jakarta untuk mengendalikan situasi Sumatra,” tulisnya.

Berbeda dengan di Sumatra, Amerika Serikat memberikan bantuan penuh kepada pasukan Permesta di Sulawesi. Tidak hanya komitmen bantuan pesawat dan personil angkatan udara. Kekuatan angkatan laut Amerika Serikat pun juga dikerahkan.

Keputusan untuk mengirim Pesawat Tempur Mustang dan pesawat pembom jenis B-26 juga dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Jhon Foster Dulles. Keterlibatan Amerika Serikat dalam memberikan senjata juga diakui oleh salah satu tokoh Permesta Lengkong Worang.

Permesta ketika itu memiliki ribuan pucuk senjata api dan senjata mesin lengkap dengan amunisi, juga memiliki sejumlah mortir 81 mm, truk pengangkut, mobil jip, dan pesawat tempur. Di Lapangan Udara Mapanget Manado juga sering terparkir sejumlah pesawat B-26 yang dipiloti oleh orang Amerika.

“Ketika sedang berkeliling dia juga melihat ada kegiatan penurunan senjata dari pesawat yang dilakukan oleh pasukan Permesta, sedangkan orang-orang Amerika yang membawa pesawat tersebut sedang beristirahat,” tulisnya.

Keterlibatan yang membuat murka

Bukti fisik adanya bantuan peralatan militer dan personil dari AS adalah peristiwa ditembak jatuhnya pesawat militer AS di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958 oleh APRI. Pilot yang menerbangkan pesawat ini adalah Allen Lawrence Pope.

Allen Pope merupakan penerbang Amerika yang disewa oleh kaum pemberontak Permesta yang secara legal diberi izin oleh AS untuk menerbangkan angkatan udara sipil. Pope berhak menggunakan lapangan terbang di pangkalan militer AS di dekat Manila.

Dirinya punya kemampuan melakukan serangan yang mampu membunuh 700 rakyat di Ambon dalam sekali serangan. Pope juga berhasil menenggelamkan sebuah kapal Indonesia dan semua awak ini mengalami nasib yang malang.

“Presiden Soekarno meyakini Pope adalah salah satu agen CIA. Pada kenyataannya. Pope merupakan salah satu agen CIA yang dimanfaatkan oleh pemberontak Permesta,” jelas Jhon Prados dalam Lost Crusader: The Secret Wars of CIA Director William Colby.

Peralatan dan dukungan AS kepada para pemberontak ditarik dan dihentikan pada akhir bulan Mei 1958. Tindakan ini menimbulkan kekecewaan yang sangat besar pada pihak PRRI/Permesta. Mereka pun berjuang tanpa bantuan asing.

Jejak Partai Masyumi, Kisah Manis Bersatunya Kelompok Islam dalam Politik

Presiden Dwight D Eisenhower dalam kurun waktu Februari hingga Mei 1958 terus membantah keterlibatan AS dalam pemberontakan di Indonesia. Bung Karno membalasnya pada Mei 1958 yang meminta AS tidak bermain api di Indonesia.

Peran AS dalam PRRI/Permesta kemudian mengubah arah politik Indonesia. Di sisi seberang Uni Soviet dan China meminta AS tidak terlibat terlalu jauh dalam masalah politik internal di Indonesia.

Indonesia sendiri memang tidak mengambil langkah tegas terkait bukti-bukti keterlibatan AS dalam aksi pemberontakan di dua daerah tersebut. Sikap Soekarno dianggap sebagai jalan agar Indonesia tidak merusak potensi hubungan dengan AS.

Sedangkan di sisi lain, Soekarno terus menjalin hubungan yang intens dengan pihak komunis. Salah satunya adalah munculnya poros Jakarta-Pyongyang-Peking. Juga adanya bantuan senjata yang diberikan oleh pemerintah Uni Soviet.

Pada akhirnya, permasalahan PRRI/Permesta yang melibatkan kekuatan asing yaitu AS ternyata membawa dampak kepada Indonesia. Di mana Indonesia malah semakin condong dan dekat dengan pihak Komunis.

Pada suatu wawancara 1963, Wakil Presiden Richard Nixon menyatakan Amerika Serikat telah melakukan kesalahan dengan mendukung perlawanan yang dianggapnya adalah gerakan kemerdekaan melawan Soekarno di Sumatra dan Sulawesi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini