Menjalankan hidup slow living menjadi salah satu gerakan yang cocok saat dunia berjalan semakin cepat. Hampir setiap orang setuju bahwa kini kehidupan mengalami perubahan dengan berjalan begitu pesat dan cepat seiring dengan perkembangan waktu.
Masifnya perkembangan teknologi sejatinya telah membantu sebagian lini kehidupan manusia. Alhasil, teknologi mampu mempermudah dan mendukung pekerjaan manusia. Sayangnya, hal ini justru membuat buta manusia untuk menghargai waktu dan proses.
Kini, setiap orang berlomba-lomba mengejar kesuksesan, baik berupa material, karier, hingga status sosial. Sikap ini seakan-akan membuat setiap orang abai dalam merenungkan diri atas apa yang sebenarnya mereka perlukan dan inginkan.
Setiap orang terus berlari, tanpa sadar bahwa waktu dan proses yang harus mereka hargai juga berarti. Jika kamu merasakan hal ini, sudah saatnya kamu mencoba gaya hidup slow living.
Mengenal Slow Living

Seperti namanya, slow living adalah gaya hidup untuk menurunkan kecepatan sejenak untuk menghargai momen-momen yang berlangsung. Hal ini merupakan respon dari rutinitas hidup yang begitu cepat, teratur, dan kesibukan tanpa henti.
Baca juga:Belajar dari Awkarin, Begini Risiko Oversharing Hubungan di Media Sosial
Slow living berarti melakukan lebih sedikit, hingga membeli lebih sedikit, tetapi dalam tujuan yang baik. Hidup lambat bukan berarti relevan dengan orang gagal. Gaya hidup ini menuntut untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya kamu butuhkan.
Konsep ini menjadi sebuah gaya hidup yang menolak stereotype bahwa jika sibuk berarti kamu orang penting. Lalu, jika kaya berarti membeli banyak barang atau orang sukses adalah bersedia hidup dengan penuh tekanan di masa modern.
Filosofi hidup melambat bertujuan untuk merebut kembali waktu dan ketenangan guna membangun hubungan dengan orang-orang, diri sendiri, pekerjaan, hingga lingkungan. Prinsipnya, kita harus selalu meluangkan waktu untuk melakukan sesuatu yang benar-benar kamu perlukan.
Asal Muasal Slow Living

Konsep satu ini berasal dari slow food movement yang muncul pada 1980-an oleh Carlo Petrini. Kampanye slow food movement merupakan perlawanan gerakan fast food, terutama McDonald’s yang saat itu membuka outlet di Roma, Italia.
Idenya, kampanye ini mengedepankan perlindungan makanan tradisional dan kultur gastronomi yang lebih sehat. Sejak waktu itu, manfaat memperlambat juga mulai banyak orang praktekkan pada karier hingga gaya hidup.
Baca juga:Crab Mentality, Penyebab dan Cara Mengatasinya
Sebuah survey dari Harvard Business School menunjukan bahwa 94 persen pekerja professional bekerja selama 50 jam per minggu. Hal ini berarti para pekerja seakan-akan tidak memiliki waktu lain selain bekerja.
Konsep slow living mulai berkembang sebagai filosofi tentang melakukan segala sesuatu sesuai dengan kecepatan. Ada kalanya tenggelam dalam kesibukan, ada kalanya juga lebih manusiawi pada diri. Hal ini berguna untuk membuat hidup lebih sehat, dan bahagia.
Cara Melakukan Slow Living

Untuk melakukan konsep hidup slow living, kamu harus mengenal dan merenungkan apa yang kamu butuhkan. Tidak semua tentang materi, karier dan status sosial saja, akan tetapi kamu juga perlu menghargai diri sendiri.
Kamu bisa mengurangi penggunaan gadget setiap harinya dan beralih dengan menikmati waktu bersama alam. Selain itu, kamu bisa mulai mempraktikkan pola pikir mindfulness, menyisihkan waktu untuk keluarga, hingga eksplorasi hal-hal baru.
Baca juga:Profesinya Masih Sangat Langka, Kenali Jurusan Terapi Wicara
Manfaat yang bisa kamu rasakan adalah akan mulai mampu menjalankan hidup yang lebih santai, tenang, dan menjalankan sesuatu dengan sukacita. Hal ini juga bisa meningkatkan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan.
Hal yang paling penting, kamu akan bisa mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada diri sendiri yang sudah bekerja keras. Banyak orang menganggap bahwa hidup lambat selaras dengan orang gagal. Padahal, melakukan slow living juga tentang menghayati gagasan kesuksesan kamu dan mulai mempertimbangkan prioritas.
Referensi: Merdeka | Popbela | Suara
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News