Melacak Mitos Aji Saka Sebagai Pembangkit Kebudayaan Jawa

Melacak Mitos Aji Saka Sebagai Pembangkit Kebudayaan Jawa
info gambar utama

Aji Saka adalah legenda Jawa yang mengisahkan tentang kedatangan peradaban ke tanah Jawa. Ketika Pulau Jawa masih dihuni oleh bangsa denawa (raksasa) yang biadab, penindas dan gemar memangsa manusia.

Kerajaan yang pertama berdiri di pulau ini adalah Medang Kamulan, dipimpin oleh raksasa bernama Prabu Dewata Cengkar, raja raksasa lalim yang punya kebiasaan memakan manusia dan rakyatnya.

Aji Saka kemudian berniat melawan kelaliman Prabu Dewata Cengkar. Setelah tiba di Jawa, Aji Saka menuju ke pedalaman tempat ibu kota Kerajaan Medang Kamulan. Dia kemudian menantang Dewata Cengkar bertarung.

Setelah pertarungan yang sengit, Aji Saka berhasil mendorong Prabu Dewata Cengkar ke laut Selatan (Samudra Hindia). Akan tetapi Dewata Cengkar belum mati, namun berubah menjadi buaya putih. Sedangkan Aji Saka naik tahta menjadi raja Medang Kamulan.

Beberapa ahli berpendapat legenda Aji Saka berhubungan dengan Kalender Saka yang diyakini dipakai di Jawa. Selama di tanah Jawa, dia juga diyakini mengajarkan masyarakat untuk membaca dan menulis, salah satunya adalah membuat aksara Jawa.

Tetapi menguak misteri tentang asal usul Aji Saka yang dikaitkan sebagai nenek moyang orang Jawa, bukanlah perkara mudah. Apalagi legenda ini merupakan cerita rekaan tradisional bangsa Indonesia yang berabad-abad lamanya.

Pada mulanya, legenda Aji Saka merupakan cerita lisan yang tersebar secara turun-temurun melalui mulut ke mulut dalam waktu yang lama. Karena cara persebaran yang demikian, dalam perjalanan waktu tidak mustahil terjadi pergeseran.

Memburu Kuyang, Hantu Perempuan Pemburu Darah Bayi untuk Awet Muda

“Berbagai variasi dan versi cerita Aji Saka dimungkinkan karena adanya transformasi budaya yang disebabkan oleh datangnya kebudayaan asing (Hindu-Budha dan Islam).” ucap Edi Sedyawati dalam Transformasi Budaya Jawa dalam Kerangka Dinamika Antar pusat.

Setelah percetakan hadir di Hindia Belanda pada zaman Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1806-1811). Mulai terjadi transformasi budaya dari tulis tangan ke cetak. Sejak itu, banyak karya sastra lama dan baru serta saduran diterbitkan.

Di antara karya sastra lama yang diterbitkan adalah Serat Manikmaya karya Kartamusadah yang antara lain berisi cerita Aji Saka. Karya ini turut diterbitkan pada tahun 1852. Pada tahun-tahun berikutnya, hingga tahun 1994, cerita Aji Saka terus diterbitkan.

Terbitan Cerita Aji Saka dalam bingkaian yang lebih luas dan kompleks, misalnya terdapat dalam Serat Manikmaya suntingan Prijohoetomo (1937) dan Serat Manikmaya salinan Mas Ngabehi Rangga Panambangan (1981).

Melacak jejak Aji Saka

Bagi masyarakat Jawa, cerita Aji Saka sulit dipisahkan dalam alam pikiran mereka. Hal ini karena legenda itu selalu dihubungkan dengan pencipta aksara ha-na-ca-ra-ka. Dan sosok Aji Saka dimitoskan sebagai pencipta aksara tersebut.

Selain itu Aji Saka juga dikaitkan dengan kerajaan Medang Kamulan yang semula dikuasai oleh Prabu Dewata Cengkar. Banyak yang menduga tokoh Aji Saka dengan Kerajaan Medang Kamulan dapat dirunut dari segi historisnya.

Misalnya praduga yang dikemukakan oleh Linus A.G Suryadi dalam Dari Pujangga ke Penulis Jawa yang menyebut Kerajaan Medang Kamulan tersebut berlokasi di Blora, sezaman dengan Kerajaan Prabu Baka sekitar abad ke 9 Masehi.

Prediksi tentang lokasi Kerajaan Medang Kamulan dapat dirujuk pada teks lontar yang pernah dibacakan oleh L A Brandes. Berdasarkan teks lontar itu, Kerajaan Medang Kamulan terletak di sebelah timur Demak.

Demikianlah ada raja dari tanah Tulen, namanya Prabu Kachiawas. Itulah permulaan Raja Tulen ketika bertahta di lembah Medang Kamulan, sebelah timur Demak, sebelah selatan Warung.”

Dalam Serat Momana, dikisahkan bahwa pada tahun 862 Masehi, Aji Saka mengembara ke Ujung Kulon dengan menggunakan nama Batara Adimurti. Dalam perjalanannya mengelilingi wilayah Jawa, dirinya selalu mengarang dan mengajarkan sastra.

Setelah Dewata Cengkar turun tahta pada tahun 1002, Bathara Adimurti dinobatkan menjadi raja di Medang dengan gelar Prabu Grimurti. Pada tahun 1003, Prabu Grimurti menciptakan aksara yang disebut sastra rimbag yang merupakan aksara ha-na-ca-ra-ka.

Atlantis, Negeri Purba yang Tenggelam di Laut Jawa

Moch Choesni dalam Sebenarnya Ha-Na-Ca-Ra-Ka berpendapat bahwa pencipta aksara Jawa bukanlah Aji Saka. Dalam telaahnya terhadap Serat Sastra Gendhing, abjad ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Semar atau Lurah Bodronoyo.

Sementara itu, R S Hadisoetrisno pada bukunya Serat Sastra Hendra Prawata menyebut pencipta aksara Jawa adalah Prabu Nurcahya yang merupakan putra Sang Hyang Sita atau Nabi Sis.

“Selain aksara Jawa, Prabu Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, China, dan lainnya. Seluruh aksara ini disebut Sastra Hendra Prawita,” tulisnya.

Berdasarkan bentuknya, kata Hadisoetrisno, aksara Jawa dibangun dan disempurnakan oleh Aji Saka. Dengan demikian, Aji Saka bukan lah pencipta ha-na-ca-ra-ka, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut.

Hal ini sesuai dengan pendapat dari Daldjoeni dalam bukunya Geografi Kesejarahan Indonesia yang memperkirakan aksara Jawa sudah ada sejak abad ke 4 atau ke 5 Masehi. Bahkan sebelum itu, bisa saja sudah ada aksara Jawa karena kerajaan tertua di Pulau Jawa, yakni Salakanagara telah berlangsung pada tahun 136-396.

Tentunya sangat mustahil ada sebuah dinasti kerajaan yang bisa bertahan ratusan tahun lalu tetapi tidak mengenal tulisan. Walaupun hingga kini sulit ditemukan bukti-bukti historisnya karena lenyap akibat perang, pergantian dinasti, atau bencana alam.

Makna simbolik legenda Aji Saka

Selain berbagai praduga dan pendapat yang telah disebutkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa legenda Aji Saka merupakan simbol misi kebudayaan asing ke Pulau Jawa atau Nusantara.

Misalnya kisah Aji Saka ke Pulau Jawa merupakan simbol datangnya misi kebudayaan India (Hindu-Budha) di Nusantara. Sedangkan Aji Saka yang berhasil mengalahkan kemudian menggantikan Dewata Cengkar, merupakan simbol keberhasilan misi kebudayaan India membumi di Nusantara.

“Sehingga penduduknya--yang sebelumnya masih terbelakang–dapat melek huruf (membaca dan menulis) dengan diciptakannya aksara ha-na-ca-ra-ka,” tulis Slamet Riyadi dalam buku Makna Simbolik Legenda Aji Saka.

Sementara itu dugaan bahwa Aji Saka merupakan imigran, tidak terlepas dari datangnya orang-orang India ke Pulau Jawa secara berangsung-angsur. Mereka memperkenalkan aksara India yakni aksara Pallawa kepada masyarakat pribumi.

Serba-Serbi Pawang Hujan, Kisah 'Orang Sakti' yang Bermain dengan Alam

Secara berangsur-angsur mereka juga memperkenalkan sistem kalender India yang menggunakan tarikh Saka, ciptaan bangsa Saka yang pernah menduduki India bagian barat. Tarikh Saka itu dipakai di Jawa hingga tahun 1555.

Penggunaan aksara Pallawa (India) yang mengalami adaptasi di Nusantara, khususnya di Jawa kemudian berkembang menjadi aksara Jawa kuno dan yang terakhir menjadi aksara Jawa baru (ha-na-ca-ra-ka).

Sedangkan dikisahkan bahwa Prabu Dewata Cengkar akhirnya tercebur ke samudra akibat kibasan ikat kepala Saka. Ungkapan Samudra tersebut menyimbolkan bahwa masyarakat Jawa membuka selebar-lebarnya pengaruh budaya asing.

“...Tanpa mengabaikan jati diri (budaya) sehingga budaya asing (India dan Timur Tengah) itu dapat beradaptasi dan berasimilasi di dalam kehidupan masyarakat Jawa,” pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini