Deretan Bioskop Pertama di Indonesia, Cikal Bakalnya Sejak Tahun 1900

Deretan Bioskop Pertama di Indonesia, Cikal Bakalnya Sejak Tahun 1900
info gambar utama

Tanggal 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional. Tanggal tersebut diambil dari momen pertama kali syuting film "Darah dan Doa" atau "Long March of Siliwangi" pada tahun 1950 karya Umar Ismail, salah seorang sutradara dan pelopor perfilman di Indonesia.

Peringatan Hari Film Nasional menjadi momen bersejarah yang diperingati seluruh masyarakat Indonesia. Pun dapat mendorong lahirnya film-film karya anak bangsa. Film sendiri merupakan salah satu jenis hiburan yang disukai berbagai kalangan dan usia. Apalagi saat ini pilihan film sudah tak terhingga dan menjangkau selera banyak orang.

Di era modern ini dengan segala kemudahan yang ditawarkan, ada begitu banyak pilihan platform digital untuk menonton film dari mana saja dengan bermodalkan ponsel, laptop, atau televisi pintar. Meski demikian, pengalaman menonton di bioskop tentu tak tergantikan karena sebuah film disajikan dengan audio dan visual yang mendukung.

Tak hanya film, saat ini pilihan bioskop pun semakin beragam dan menawarkan keistimewaan masing-masing, baik dari segi kenyamanan di studio, hingga pengalaman menonton yang berbeda dari segi audio, visual, dan fasilitas.

Membahas soal bioskop, sebenarnya ruang untuk menonton film ini bukan hal baru di Indonesia. Walaupun belum semodern dan secanggih sekarang, cikal bakal bioskop di Tanah Air rupanya sudah ada sejak tahun 1900-an. Jika dibandingkan dengan kondisi bioskop yang kita jumpai saat ini, tentunya bioskop pada 120-an tahun lalu tentu jauh berbeda.

Kira-kira seperti apa bentuk bioskop jadul di Indonesia dan film apa yang pernah ditayangkan di sana? Berikut deretan bioskop pertama yang pernah menghibur masyarakat Tanah Air pada masanya:

Kilas Balik Jejak Kejayaan Seniman Poster Film Bioskop Indonesia di Tahun 1980-an

Bioskop Talbot Tanah Abang

Festival Film Indonesia tahun 1960 | Wikimedia Commons
info gambar

Bioskop pertama di Indonesia ada di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada tahun 1900. Menurut keterangan pengamat film sekaligus wartawan senior, Yan Wijaya, saat itu bioskop masih menampilkan film bisu, belum ada dialog dan hanya ada musik.

“Dari situ mulai bermunculan bioskop-bioskop lain dan waktu itu masih punya pribadi belum jadi grup atau jaringan seperti sekarang,” jelas Yan kepada Liputan6.com.

Bioskop tersebut dikenal dengan nama Talbot, namanya diambil dari panggilan pemilik awalnya. Belum menjadi bangunan permanen, Talbot didirikan di sebuah rumah bedeng dengan dinding dari anyaman bambu dan beratapkan seng. Setelah pemutaran film, bioskop tersebut akan dicopot dan dibawa berkeliling kota.

Pada masa itu, tiket menonton film terbilang cukup mahal, yaitu dua setengah gulden yang setara dengan 10 kg beras. Masyarakat umum belum sanggup menikmati hiburan tersebut dan rata-rata hanya anak bangsawan yang bisa pergi ke bioskop. Adapun film yang ditampilkan di Talbot saat itu berjudul “Sri Baginda Maharatu Belanda bersama Pangeran Hertog Hendrick memasuki Ibu Kota Belanda, Den Haag".

Jadi cikal bakal bioskop di Indonesia, pada tahun 1903, seorang pengusaha bernama Schwarz mendirikan Talbot dengan bangunan semi permanen di Kebon Jahe, Tanah Abang. Sempat dilanda kebakaran hebat, Schwarz kembali membangun Talbot permanen di daerah Pasar Baru.

Pendirian Talbot ini juga yang menginspirasi hadirnya bioskop misbar alias gerimis bubar yang ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah dengan harga tiket yang lebih terjangkau.

Film Janur Kuning, Pencitraan Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949

Bioskop Megaria

Bioskop Megaria | Wikimedia Commons
info gambar

Pada tahun 1932, dibangun Bioskop Metropole di persimpangan Jalan Pangeran Diponegoro, Jalan Pegangsaan Timur, dan Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Bangunan yang awalnya bernama Bioscoop Metropool ini mulai beroperasi pada tahun 1951. Namun, karena adanya kebijakan mengganti nama gedung berbau asing, bioskop ini berganti nama menjadi Megaria.

Bioskop ini meraih masa kejayaan pada tahun 1951-1969 dan termasuk bioskop dengan bangunan luas serta memiliki kapasitas hingga seribu tempat duduk. Pada masa itu, bioskop ini secara khusus memutar film Amerika dari Metro Golden Mayer seperti “Annie Get Your Gun”, “War and Peace”, dan “Gone with The Wind”.

Saat peresmian bioskop ini dihadiri sejumlah tamu ternama seperti Rahmi Rachim, istri Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Haji Agus Salim. Kini, bangunan bioskop tersebut lebih dikenal dengan nama Metropole XXI, tetapi orang-orang tetap menyebutnya dengan nama Bioskop Megaria.

Malea Emma, Aktris Cilik Keturunan Indonesia dalam Film Science-Fiction “After Yang”

Bioskop de Majestic

Bioskop de Majestic | Wikimedia Commons
info gambar

De Majestic merupakan salah satu bangunan bioskop tertua di Bandung, Jawa Barat. Bangunan karya Prof. C.P. Wolff Schoemaker ini telah berdiri sejak tahun 1925 di kawasan elite Braga. Pada zamannya, bioskop jadi tempat hiburan di kalangan bangsawan Belanda terpopuler.

Bioskop ini pula yang menayangkan film pertama Indonesia pada tahun 1926 yang berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Salah satu keunikan dari bioskop ini adalah menyediakan orkes mini dan komentator untuk mengiringi film-film bisu. Promosi film pun dilakukan dengan berkeliling kota membagikan selebaran menggunakan kereta kuda.

Saat itu, aturan yang berlaku untuk penonton bioskop ialah harus berpakaian rapi dan pria-wanita duduk secara terpisah. Sayangnya, sejak tahun 1980-an, popularitas de Majestic kian meredup karena bermunculan bioskop yang lebih modern. Kemudian tahun 2002, bangunan bioskop jadul tersebut direvitalisasi menjadi gedung pertemuan yang kita kenal dengan nama Asia Afrika Cultural Centre (AACC).

Sejarah Hari Ini (31 Desember 1926) - Loetoeng Kasaroeng, Film Pertama Buatan Indonesia

Bioskop Permata

Dalam sejarah bioskop Tanah Air, Yogyakarta juga punya bioskop tertua yang hit pada zamannya. Bioskop bernama Permata ini berada di Jalan Sultan Agung Nomor 17, Kelurahan Gunungketur, Kecamatan Pakualaman.

Awalnya, bioskop tersebut bernama Luxor, akan tetapi pada tahun 1958 pengelolanya tidak melanjutkan usahanya dan diambil alih oleh N.V Perfebi sebagai Perusahaan Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop Indonesia.

Bioskop Permata merupakan tempat hiburan yang populer bagi masyarakat Yogyakarta. Apalagi, pada masanya bioskop ini termasuk yang termegah dan paling ramai pada era 60- hingga 70-an. Bahkan disebut-sebut mengalahkan popularitas bioskop lain seperti Bioskop Indra, Mataram, Ratih, dan Widya di Yogyakarta.

Di bioskop tersebut, pernah diputar film-film Indonesia populer seperti “Badai Pasti Berlalu” dan “Gita Cinta di SMA”. Namun, seiring berjalannya waktu, bioskop ini semakin sepi dan tutup permanen. Pada tahun 2018, Pemda DIY melalui Dinas Kebudayaan melakukan pemugaran bangunan dan eks bioskop ini akan dijadikan pusat perfilman.

11 Film Ini Ditayangkan di Festival Film Indonesia Pertama di Roma

Bioskop de Oranje

Bioskop Rex Medan | Wikimedia Commons
info gambar

Tahun 1889, Bioskop de Oranje hadir di Medan, Sumatra Utara dan menjadi bioskop pertama di sana. Saat itu, bioskop ini jadi alternatif hiburan masyarakat selain kolam renang atau berwisata alam ke daerah Parapat atau Berastagi.

Bioskop de Oranje juga masih menampilkan film bisu dan penontonnya dari kalangan orang-orang Eropa. Adapun film yang ditayangkan di bioskop tersebut salah satunya adalah “Setulus Hatimu” yang dirilis tahun 1974 karya sutradara Arizal. Kehadiran bioskop ini menjadi awal dari kemunculan bioskop lain seperti Rex Bioscoop, Deli Bioscoop, Astroria Bioscopp, dan Tjong Koeng Tat Bioscopp.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

DA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini