Buya Hamka, Jalan Dakwah dan Perjuangan Melalui Masjid Agung Al Azhar

Buya Hamka, Jalan Dakwah dan Perjuangan Melalui Masjid Agung Al Azhar
info gambar utama

Abdul Malik Karim Amrullah atau populer dengan nama penannya Hamka merupakan ulama yang sangat disegani pada zamannya. Buya Hamka, panggilan akrabnya, memang hidup dalam keluarga yang cinta agama dan berupaya mendakwahkannya.

Karena itulah, Buya Hamka sejak kecil telah keluar dari pagar daerah kelahirannya untuk menimba ilmu dari tokoh ulama yang dijumpainya. Ilmu yang dirinya dapat kemudian diserapnya dan diteruskan melalui dakwah baik lisan maupun tulisan.

Melalui dua hal ini, Hamka kemudian terkenal tidak hanya sebagai ulama, namun juga sastrawan, budayawan, hingga sejarawan. Pria kelahiran 17 Februari ini memang menggunakan berbagai cara untuk mendakwahkan Islam.

Khotbah-khotbahnya dapat didengar oleh kaum Muslimin yang sering mendengarkan kuliah subuh melalui radio. Selain melalui radio, Hamka juga sering hadir dalam seminar-seminar ilmiah terutama yang berkaitan erat dengan agama dan sejarah.

Pada awal tahun 1950 an, Buya Hamka telah menjadi salah satu tokoh Muhammadiyah Nasional karena pada kongres ke 32 di Purwokerto terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Mengenal 3 Sosok Ulama Indonesia dengan Kecerdasannya yang Diakui Dunia

Aktivitas non-politis inilah yang kemudian mendorong Buya Hamka untuk menetap di Kebayoran Baru, apalagi pada tahun 1950-1952, Dr Syamsudin yang ketika itu menjabat menteri sosial mendirikan Yayasan Nurul Islam.

Buya Hamka kemudian dihubungi untuk mengelola yayasan ini. Proyek inilah yang kemudian melahirkan Masjid Al-Azhar yang kelak memberikan pengaruh sangat besar bagi kegiatan dakwah di Jakarta.

Pada awalnya penduduk asli Betawi sebenarnya kurang senang dengan berdirinya masjid modern dan imamnya merupakan orang Padang. Di sisi lain, orang dari kalangan atas masih merasa segan untuk datang ke masjid tersebut.

“Tetapi semakin hari, jamaah Masjid Al-Azhar ini bertambah banyak. Orang-orang Betawi yang tadinya curiga melihat orang-orang gedongan, mulai bisa bergaul di masjid dan mendengar pengajian-pengajian yang Buya Hamka berikan. Suasana kekeluargaan antara para jamaah pun terjalin sangat erat,” tulis Sardiman dan kawan-kawan dalam laporan penelitian berjudul Buya Hamka dan Perkembangan Muhammadiyah (1925-1981).

Secara berangsur-angsur, Buya Hamka mengumpulkan jamaah masjid yang sebagian besar merupakan tukang becak dan kuli-kuli bangunan yang bekerja di masjid tersebut. Semakin lama, jumlah jamaah yang datang pun semakin banyak.

Selain tukang becak dan kuli bangunan, kegiatan yang dilakukan Buya Hamka juga mendapat perhatian dari orang-orang terkemuka antara lain Jenderal Sudirman yang merupakan Komandan Seskoad Bandung.

Berjuang melalui masjid

Di bawah kepemimpinan Buya Hamka, Masjid Agung Al-Azhar yang dibangun di Kebayoran ini kemudian menjadi wajah baru Jakarta. Dalam waktu singkat telah menjadi pusat dakwah dan kebangkitan Muslim pertama ibu kota pada era modern.

Hamka lebih memilih untuk tetap menjaga dan melakukan dakwah kepada masyarakat Muslim dari akar rumput, bersama para jenderal Angkatan Darat dan tokoh bangsa yang kurang sependapat dengan haluan baru negara, mereka bermukim di Masjid Al Azhar.

“Selama ini kita lalai memperhatikan masjid, karena sibuk di parlemen, maka saat ini, kita mulai perjuangan dari masjid,” sebut Hamka kepada anaknya Rusydi Hamka yang ditulis dalam bukunya Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr Hamka.

Masjid Al Azhar ketika itu merupakan masjid yang memiliki jamaah paling banyak di Jakarta. Masjid ini mulai ramai dikunjungi dengan kegiatannya yang banyak. Dari tempat inilah, Hamka sering memberikan dorongan toleransi terhadap perbedaan dalam menjalankan syariat.

Bagi Hamka, menjadi imam merupakan amanah baru untuk membawa visi Islam di ibu kota, apalagi di tengah kondisi negara yang sudah mulai tidak kondusif dan konflik antar ideologi, seperti Komunis dengan Islam.

Seri Tokoh Uang Emisi 2016 - Idham Chalid, Sang Ulama Visioner dari Tanah Banjar

Bambang Galih Setiawan menyebut Hamka sudah selayaknya “dokter” yang mengobati masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang datang untuk meminta nasehat agama dan mengadu permasalahan hidup kepada Hamka.

“Ada seorang ibu yang mengadu anak perempuannya dihamili oleh seorang pejabat, ada istri yang melapor suaminya suka berjudi dan main perempuan, seorang suami yang ingin berpoligami, orang asing yang ingin belajar Islam dan minta disyahadatkan, hingga masyarakat yang meminta bantuan kepada Hamka untuk membantu kemalangan dan kemiskinan hidup yang menimpa dirinya,” tulisnya dalam artikel Langkah Dakwah Hamka dari Masjid Al-Azhar yang dimuat Jejak Islam.

Atas petuah Hamka, Masjid Agung Al Azhar pun membuka sayap lembaga hingga layanan sosial bagi masyarakat. Kelompok masyarakat, pemuda Islam dan pemimpinnya sering memenuhi masjid yang menjadikannya basis pergerakan Muslim di ibu kota.

Hamka juga menerbitkan majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat pada Juli 1959 yang menitikberatkan soal-soal kebudayaan, ilmu pengetahuan dan gagasan reformasi Islam. Namun, dirinya juga membuka pintu majalahnya bagi Mohammad Hatta yang baru saja mundur dari posisi wakil presiden.

Di majalah itu, Hatta memuat karangan berjudul Demokrasi Kita, di mana dirinya mengkritik tajam konsepsi Demokrasi Terpimpin dan pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Soekarno. Karena itulah majalah ini kemudian dibredel oleh Soekarno pada 17 Agustus 1960.

Hamka dan perjuangan Islam

Setelah Panji Masyarakat dibredel, Hamka kemudian mendirikan majalah baru bernama Gema Islam. Masjid Agung Al Azhar sebagai pusat kegiatan dakwah dan penerbitan majalah Gema Islam kemudian kembali diteropong oleh intel-intel rezim Orde Lama.

Melalui koran yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI) disiarkan berita bahwa di masjid itu sedang tumbuh “neo Mayumi” pimpinan Hamka. PKI melalui organisasinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menyerang budayawan Islam, terutama Hamka.

Bambang menyebut ketika itu situasi semakin memanas, apalagi aksi-aksi mahasiswa yang berafiliasi ke PKI menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Hamka lantas memanggil para pemimpin HMI untuk mengadakan rapat di aula masjid Al-Azhar.

Tetapi PKI semakin agresif, sementara Presiden Soekarno juga selalu memihak mereka. Pada posisi ini, para petinggi Angkatan Darat, seperti Jenderal Nasution dan Muchlas Rowi kemudian tersingkir. Posisi Gema Islam semakin lemah.

Hingga pada satu kesempatan, Hamka mendapat serangan, karyanya mendapat cacian selama berbulan-bulan. Lekra dan harian Bintang Timur ketika itu memuat tuduhan bahwa Hamka melakukan plagiat atas karya sastranya Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.

Cobaan besar Hamka bertambah, ketika pada tahun 1964 yang bertepatan dengan bulan Ramadan, dirinya ditangkap. Hamka terkena undang-undang anti subversif, yaitu tuduhan mengadakan kerjasama hendak membunuh Presiden Soekarno.

Sesuai Penpres No 11 dan No 13, seharusnya Hamka paling lama ditahan di penjara selama satu tahun. Namun Hamka malah mendapatkan penahanan jauh lebih lama hingga dua tahun empat bulan.

“Sehingga tampaklah bahwa penangkapan ini hanyalah bagian dari cara untuk menyingkirkan seseorang yang dipandang sebagai musuh politik oleh rezim yang sedang berkuasa,” tulisnya.

Zaman bergilir, terjadi perubahan politik yang menyebabkan rezim Orla jatuh akibat pembunuhan para Jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya. Ketika rezim berganti, Hamka kemudian dibebaskan beserta semua tahanan politik.

Para tokoh bangsa kemudian mengadakan syukuran di Masjid Agung Al Azhar pada 14 Agustus 1966. Tokoh-tokoh seperti Kasman Singodimedjo, Assaat, Burhanuddin Harahap, Muhammad Natsir, Yunan Nasution dan lain-lain hadir dalam syukuran tersebut.

Acara tersebut mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat, kemudian diberitakan secara besar di media-media. Salah satunya dalam Surat Kabar Harian Angkatan Bersenjata milik negara pada Selasa, 16 Agustus 1966:

“...Sehingga Masjid Agung Al-Azhar dengan halamannya yang begitu luas tidak mampu menampung antusias dari masyarakat yang betul-betul telah merindukan para tahanan politik korban fitnah Gestapu/PKI dan durno-durnonya.”

Hamka dan para tokoh bangsa, jelas Bambang, tidak hanya menjadikan Masjid Agung Al Azhar sebagai tempat ibadah yang nyaman bagi banyak masyarakat Muslim di ibu kota. Tetapi juga telah menjadi ruang bermukim bagi perubahan sosial dan saksi bisu perguliran sejarah kekuasaan negara yang rapuh.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini