Sudah 207 tahun lebih berlalu sejak Gunung Tambora meletus. Letusan dahsyatnya yang mengubah arah sejarah dan peradaban dunia, masih menyisakan kenangan, dan undangan untuk mengeksplorasinya dari sisi ilmu pengetahuan.
Belum lama ini, ada petisi global untuk menetapkan tanggal 10 April (hari meletusnya Tambora pada 1815) sebagai Hari Gunung Api Internasional. Sepertinya, hingga saat ini, usulan tersebut masih bergulir.
Sebelum 1815, Gunung Tambora adalah gunung tertinggi di pulau Sumbawa yang puncaknya menjulang hingga ketinggian sekitar 4.300 meter dpl, lebih tinggi dari gunung berapi tertinggi di Indonesia saat ini, yakni Gunung Kerinci di Jambi (3.805 mdpl).
Begitu tingginya sehingga ia pun terlihat jelas dari pantai timur pulau Bali meski tempat itu berjarak 300 km lebih. Dalam catatan Global Volcanism Program Smithsonian Institution, letusan Gunung Tambora yang terakhir (sebelum 1815) dan tergolong besar terjadi sekitar tahun 740 M merujuk pada pertanggalan karbon radioaktif.
Selepas itu selama lebih dari 1.000 tahun kemudian Tambora terlihat kalem dan bersahabat.
Semua berubah secara dramatis pada April 1815
Kita tentu sering membaca tentang letusan dahsyat Tambora. Tapi tak ada dari kita yang bisa membayangkan kengerian dari letusan terbesar dari sejarah modern dunia tersebut.
Waktu itu, gunung api itu meletus dengan hebat, setara dengan lebih dari 52.000 bom atom Hiroshima. Volume yang dihembuskannya sebanyak 150 km3, mengubur tiga kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar, tanpa sisa.
Tinggi kolom letusannya 43 km, menyebabkan cahaya matahari terhalang, suhu di Bumi turun, yang menyebabkan kerusakan hingga lain benua.
Gelegar alam dari letusan Tambora pada 10-11 April 1815 itu memangkas sepertiga tinggi gunung tersebut dan membuat sebuah kaldera berdiameter 6 km dan sedalam 1.1 km menjadi penanda sejarahnya sejarahnya. Inilah gunung api dengan kaldera terdalam di muka bumi.
Apa yang ada di dasar kaldera terdalam tersebut?
Dasar kalderanya berupa hamparan pasir dan rerumputan. Di sisi timur dasar kaldera terdapat danau Motilahalo yang berukuran 800 x 200 m2, kedalamannya mencapai 15 m.
Dipagari dinding-dinding kaldera yang menjulang tinggi dan keras, danau ini tak memiliki saluran pengeluaran seperti halnya sungai atau sejenisnya. Sehingga airnya hanya bisa meninggalkan danau dengan cara menguap maupun meresap ke dalam tubuh gunung.
Antara 1847-1913, dari dasar kaldera sisi barat daya terbentuk kawah baru, Doro Api Toi, yang garis tengahnya 100 m dan tingginya sekitar 100 m diukur dari dasar kaldera.
Kini, Gunung Tambora telah kembali ke tabiat tenangnya. Tak ada dari kita yang menjadi saksi apa yang pernah diperlihatkan gunung ini di masa lalu.
Yang bisa kita lakukan adalah terus mempelajari salah satu kekayaan alam ini, dan terus menjadinya sumber kesadaran dan kewaspadaan, bahwa suatu saat nanti, entah kapan, Tambora akan menggeram kembali.
Sumber: Geologi ESDM | LIPI | GEOFISIKA ITS | KOMPAS
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News