Sejarah perjalanan Kota Semarang berbeda dengan kota-kota lain, jika kebanyakan kota atau wilayah lain mengalami perjalanan sejarahnya dengan “babad alas” oleh para pendirinya, namun Semarang justru berawal dari kota pantai.
Kota Semarang mulai terbentuk dari kampung-kampung yang tercipta karena para pendatang yang singgah untuk berdagang maupun bertempat tinggal. Bermulanya kampung ini di mulai dari daerah pinggir sungai.
Hal ini karena aktivitas masyarakat yang membutuhkan sumber air sebagai keperluan sehari-hari maupun untuk sarana transportasi air, memudahkan dalam melakukan aktivitas perdagangan.
Begitu pula dengan Kota Semarang, kali Semarang yang mengelilingi Pasar Johar menjadi embrio dari perkembangan kota ini, hingga bertransformasi menjadi wilayah yang sangat padat.
Bersebelahan dengan Pasar Johar, terdapat kota lama yang disebut Kampung Kauman. Tempat ini merupakan nama sebuah kampung yang selalu ada dalam tata ruang kota-kota di Jawa.
Sistem pengaturan kota-kota di Jawa pada umumnya mempunyai bentuk dasar yang hampir sama, selalu dibentuk dengan adanya alun-alun yang dikelilingi pemerintah dan masjid besar. Di sekeliling masjid besar ini ada rumah-rumah yang disebut Kauman.
Menabung Rindu Ramadan di Pasar Sore Kauman Yogyakarta
“Menurut sejarah pembentukan Kampung Kauman merupakan tipologi sentral yang digariskan oleh Kerajaan Demak hingga Mataram,” tulis Adaby Darban dalam Sejarah Kauman: Menguak identitas Kampung Muhammadiyah.
Masyarakat Kauman merupakan masyarakat yang warganya tidak hanya mempunyai pertalian darah, tetapi juga mempunyai unsur kebudayaan, nilai-nilai agama, dan adat istiadat yang sama pula.
Kauman di Semarang sendiri memiliki arti seperti halnya Kauman di Yogyakarta yang berasal dari kata nggone wong kaum yang artinya tempatnya kaum atau kerabat yang masih memiliki hubungan keluarga.
Di Semarang, ada juga versi lain yang menyebut Kauman berasal dari kata kaum sing aman, artinya kaum yang aman. Kaum sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu qo’ummudalin yang artinya pemuka agama Islam.
“Dengan demikian Kauman mempunyai arti tempat tinggal atau hunian para pemuka agama Islam,” tulis Wijanarka dalam Semarang Tempo Dulu.
Sejarah Kauman Semarang
Sebagai kampung tradisional, Kauman didiami oleh penduduk pribumi yang terbentuk pada masa pemerintah Ki Ageng Pandan Arang. Kampung ini memiliki sejarah yang unik, yakni dikaitkan dengan keberadaan Masjid Kauman.
Walaupun termasuk masjid tua, namun bukan yang pertama dibangun oleh Ki Ageng Pandan, di kota Semarang. Hal ini karena ulama tersohor tersebut awalnya bermukim di Bukit Bergota sebelum pindah ke Semarang, yaitu di Pedamaran.
Dari sinilah, dibangun sebuah masjid lengkap dengan permukiman para santrinya, dikenal dengan sebutan Kemasjidan. Ketika Ki Ageng Pandan diangkat sebagai Bupati Semarang, pusat pemerintahan dibangun di daerah Kanjengan.
Ketika terjadi pemberontakan etnis China pada 1740, permukiman China yang terletak di daerah Pekojan, masjid dan permukiman santri di Pedamaran, musnah terbakar. Hal ini menyebabkan munculnya permukiman China yang baru, sekarang dikenal Pecinan.
Pada 1741, Bupati Suromengolo membangun dan memindahkan Masjid Pedamaran ke lokasi baru, yakni sekitar Kanjengan. Inilah yang kini dikenal sebagai Masjid Kauman. Lokasi sekitaran masjid yang jadi pemukiman inilah dikenal sebagai wilayah Kauman.
Di Semarang, Kampung Kauman sendiri terdiri dari kampung-kampung kecil, seperti: Bangunharjo, Patehan, Kepatihan, Book, Jonegaran, Getekan, Mustaram, Glondong, Butulan, Pompo, Krendo, Masjid, Kemplongan, Pungkuran, Suromenggalan dan Kadipaten.
Kisah Tasripin, Konglomerat Bumiputra yang Derajatnya Setara Ratu Belanda
Nama-nama kampung ini menunjukan keadaan setempat, sifat dari kampung tersebut, dan jenis aktivitas masyarakatnya, misalnya Kampung Patehan dikenal sebagai kampung yang warganya memproduksi teh.
Dinamika Kampung Kauman dapat dilihat dari perubahan fungsi bangunan, lahan, serta aktivitas masyarakatnya. Pada awal pembentukannya, Kampung Kauman sebagian besar dihuni oleh penduduk pribumi.
Pada perkembangannya, penghuni Kampung Kauman terdiri dari berbagai etnis, dari Jawa, China, Arab, hingga Melayu, aktivitas penduduknya pun sekarang tidak hanya untuk keperluan agama, melainkan juga bisnis.
Adanya Kauman ini juga jadi salah satu jejak bahwa lokasi itu pernah jadi pusat pemerintahan Semarang. Konsep tata ruangnya mirip dengan pemerintahan kota-kota tradisional di Jawa.
Di dekat alun-alun, ada kantor pemerintahan, penjara, masjid agung dan Kauman di sekitarnya. Namun kini alun-alun Kauman sudah hilang. Di sana sudah menjadi pusat keramaian aktivitas perdagangan.
Mengembalikan fungsi Kauman
Pada masa kini, Kampung Kauman masih bertahan di mana pembangunan modern yang pesat di Kota Semarang. Bertahannya Kampung Kauman karena adanya landmark dari tempat ini yaitu Masjid Besar Kauman yang masih berdiri kokoh.
Di saat pembangunan yang pesat terjadi di pusat Kota Semarang keberadaan Masjid Besar Kauman tetap dipertahankan, tetapi kawasan sekitarnya mengalami perubahan yang besar seperti alun-alun Kauman telah hilang.
Alun-alun yang dahulu luas sekarang hanya tinggal kenangan, dan tertinggal sedikit untuk lahan parkir. Bangunan atau tempat tinggal yang ada di Kampung Kauman juga mengalami perubahan tetapi di antaranya masih ada yang bertahan dengan gaya arsitektur Jawa-Arab.
Perombakan bagunan atau tempat tinggal di Kampung Kauman terjadi karena banyaknya penduduk pendatang yang menetap di Kampung Kauman, sehingga mereka merombak dengan gaya yang modern atau trend saat ini.
Keadaan seperti ini menjadikan Kampung Kauman kehilangan identitasnya sebagai bagian sejarah Kota Semarang dan juga kampung tradisional. Karena itu diperlukan upaya untuk mengembalikan identitas dari Kampung Kauman.
Hal ini juga diupayakan oleh Walikota Semarang, Hendrar Prihadi yang berupaya membangun kembali alun-alun pertama kota Semarang di kawasan Kauman yang dahulunya menjadi pusat Kota Lumpia ini.
“Saya rasa hal yang paling penting, bagaimana bisa mengerti sejarah Kota Semarang. Seperti di Pasar Johar yang sangat luas dengan peninggalan bangunan cagar budayanya zaman itu. Di situ ada juga alun-alun pertama Kota Semarang tepatnya di depan Masjid Agung persis,” tutur Walikota Semarang pada 2018 silam.
Langkah pemerintah Semarang untuk mengembalikan alun-alun bersejarah itu pun dinilai tepat oleh sejumlah pihak. Dahulu, kawasan alun-alun tersebut berfungsi sebagai pusat aktivitas masyarakat, pusat pemerintahan, tempat dakwah, serta ruang terbuka untuk publik.
Sekretaris Takmir Masjid Agung Kauman, Muhaimin menyebut dengan dikembalikannya alun-alun Kota Semarang yang ada di depan Masjid Kauman ini akan mengembalikan kewibawaan masjid tua ini.
Selain itu, keberadaan alun-alun Kauman, lanjut Muhaimin nantinya akan menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Semarang. Di mana nantinya akan mengundang banyak wisatawan baik domestik maupun dari luar Semarang.
“Namun demikian, yang paling penting adalah dengan adanya alun-alun tersebut, kegiatan syiar masjid akan lebih dirasakan masyarakat dengan berbagai macam kegiatan dakwah nantinya,” imbuhnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News