Sama Rata Sama Rasa Selamatkan Bumi

Fauzan Luthsa

Berlatar belakang jurnalis ekonomi dan politik, saat ini aktif sebagai pengamat kebijakan publik, terkait ekonomi dan sosial.

Sama Rata Sama Rasa Selamatkan Bumi
info gambar utama

Ada yang janggal dalam cara kita menyelamatkan bumi, khususnya pengurangan emisi karbon. Ini terkait matematika karbon. Tapi tenang, saya tidak akan meniru pakar atau akademisi yang menjelaskan masalah dengan cara rumit agar kita terkagum kagum dengan penjelasan tersebut.

Dalam artikel sebelumnya, saya menganggap emisi karbon perlu dibagi dua sumbernya: yang berasal dari aktivitas industri atau manufaktur dan dari kegiatan kehidupan masyarakat. Dengan pemisahan sumber ini, setiap negara akan punya cara untuk menentukan langkah pengurangan secara nyata.

Produksi gas karbon dioksida (CO2) saat ini dihitung secara total per negara dan berikut pelepasan metrik ton emisi CO2 di tahun tersebut. Dengan matematika karbon seperti ini, bahan bakar fosil menjadi target utama pengurangan emisi.

Seperti batu bara. Hampir diseluruh negara, PLTU batu bara masih menjadi primadona. Jadi karena dianggap menghasilkan emisi CO2 yang tinggi, secara bertahap eksistensi PLTU batu bara dikurangi. Dan alternatifnya adalah bahan bakar gas.

Saya bukan pendukung batu bara, praktik produksinya mesti diperbaiki agar meminimalisir dampak kerusakan lingkungan. Saya ingin menggaris bawahi, di antara bahan bakar lainnya, penghasil emisi karbon tertinggi adalah kayu bakar.

Batu bara diurutan kedua. Disusul oleh gas alam. Biaya bahan bakar yang cukup murah adalah batu bara. Sedangkan biaya gas alam lebih tinggi, apalagi shale gas.

Akibat mengurangi penggunaan batu bara sebagai PLTU, biaya energi di negara-negara berkembang mengalami kenaikan. Tak hanya itu, akibat proses transisi yang tidak matang banyak negara akhirnya mengalami krisis energi karena mematikan PLTU batu baranya.

Seperti China yang turut mengalami krisis energi tahun lalu. Bagian ini akan kita bahas di tulisan berikutnya.

Balancing matematika emisi karbon

Sudah saatnya matematika produksi CO2 yang saat ini dihitung secara total per negara setiap tahunnya, ditinjau ulang. Untuk asas keadilan sebaiknya perhitungan menggunakan skema emisi karbon per kapita disetiap negara.

Dengan hitungan per kapita, kesetaraan emisi karbon akan terjadi, sehingga lebih mudah membayangkan mengapa skema emisi karbon per kapita adalah berdasarkan asas keadilan, contohnya Amerika yang saat ini menjadi net importir.

Manufaktur di negara tesebut sudah lama mengalami kemunduran. Namun mengapa Amerika masih memegang rekor negara besar dengan emisi karbon perkapita tertinggi? Ini karena aktivitas kehidupan di sana boros energi, sehingga produksi dan pelepasan CO2 sangat besar.

Data dari Visual Capitalist menyebutkan, emisi CO2 per kapita di negara Timur Tengah mencapai 19,5 ton per tahun. Posisi kedua diisi Kanada yang menghasilkan emisi karbon per kapita sebesar 15,2 ton per tahun.

Arab Saudi dan Amerika Serikat menempati posisi ketiga dan keempat dengan emisi karbon per kapita masing-masing 14,5 ton per tahun, dan 14,4 ton per tahun. Kemudian, Australia dan Selandia Baru menghasilkan emisi karbon per kapita tiap tahunnya sebesar 13,6 ton.

Emisi karbon per kapita per tahun di Rusia tercatat sebesar 11,4 ton. Setelahnya ada Korea Selatan dengan 11,3 ton, Kazakstan dan Turkmenistan 11,2 ton, Taiwan 10,8 ton, dan Jepang 8,4 ton.

Negara-negara tersebut menghasilkan emisi karbon diatas rata-rata global. Tercatat, pada 2019, rata-rata emisi karbon per kapita di dunia sebesar 4,4 ton.

Konsumsi karbon dan bahan bakar fosil penduduk di Indonesia ternyata cukup rendah

Itulah mengapa aktivitas kehidupan atau cara hidup dinegara negara tersebut harus adaptasi dengan green energy, daripada meminta negara negara seperti Indonesia untuk mematikan industri batu baranya.

Konsumsi bahan bakar fosil (kombinasi batu bara, minyak dan gas) per kapita atau per penduduk, pada 2019 Amerika menempati urutan pertama dengan mengkonsumsi 66,525 MWh, peringkat kedua diisi oleh Australia dengan konsumsi 64,592 MWh, urutan ketiga diikuti Jerman sebesar 33,836 MWh, urutan ke empat ada Inggris sebanyak 25,528 MWh.

Menariknya, China ada diurutan ke enam dengan konsumsi per penduduk 23,373 MWh. Dan Indonesia posisinya berada dinomor sembilan 8,590 MWh.

Jangan sampai Indonesia yang konsumsi emisi karbon dan bahan bakar fosil per penduduknya rendah, diminta berkorban alih daya ke energi mahal sedangkan negara negara besar tidak mau mengurangi emisi karbon per kapitanya.

Ada analogi, keluarga Gaharu dengan perekonomian kelas menengah ada 10 orang dan mengonsumsi 20 liter bahan bakar setiap bulannya. Sehingga per orang menghabiskan 2 liter/bulan.

Satunya lagi ada keluarga Cendana yang masuk golongan kelas kaya dan anggota keluarganya berjumlah 2 orang dan konsumsi bahan bakarnya 10 liter/bulan, dirata rata per orang menghabiskan 5 liter/bulan.

Tiba-tiba terjadi krisis energi. Karena tidak mau melepaskan gaya hidupnya, lalu keluarga Cendana menekan keluarga Gaharu agar mereka mengurangi konsumsi bahan bakar demi mengatasi krisis bahan bakar.

Sebagai presidensi G20, ada baiknya Indonesia meminta negara-negara anggota untuk lebih berupaya menurunkan emisi karbon per kapita dan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil per penduduk.

Dengan langkah ini penurunan emisi karbon dunia akan berdasarkan asas keadilan. Dan Indonesia pun dapat mempersiapkan transisi energi lebih matang dan efektif.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Fauzan Luthsa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Fauzan Luthsa.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

Terima kasih telah membaca sampai di sini