Surya Satellite-1, Satelit Nano Buatan Mahasiswa Indonesia Siap Mengorbit

Surya Satellite-1, Satelit Nano Buatan Mahasiswa Indonesia Siap Mengorbit
info gambar utama

Indonesia punya satelit berukuran kecil yang berfungsi untuk melacak posisi kendaraan, pejalan kaki, kapal nelayan, dan titik panas saat kebaran hutan. Satelit tersebut bernama Surya Satellite-1 (SS-1).

Diluncurkan pada Oktober 2021, Menkominfo Johnny G Plate mengatakan bahwa pemerintah memberikan dukungan penuh pada inovasi satelit di Indonesia. Kemenkominfo sebagai pengguna satelit juga mendukung pengembangan satelit nano yang tak kalah penting dari satelit besar lain.

“Teknologi satelit nano memiliki peranan yang tak kalah penting dengan satelit besar lainnya, namun sepengetahuan saya akan lebih efisien karena komponen satelit yang dibuat lebih kecil dan lebih ringan,” ujar Johnny.

Proyek yang dimulai sejak tahun 2016 tersebut diawali dengan Workshop Ground Station bersama Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI) dan mockup model satelit rampung dua tahun kemudian dengan misi komunikasi amatir.

Usai melewati tahap rancang bangun dan pengujian, pada Maret 2022, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah merampungkan 100 persen pekerjaan pembangunan satelit nano SS-1. Rencananya, satelit tersebut akan segera mengorbit pada ketinggian 400 kilometer di atas permukaan bumi.

Satelit Indonesia dan Pemetaan Mitigasi Bencana

Satelit mini karya anak bangsa

SS-1 yang dikenal sebagai satelit kubus akan diluncurkan oleh Badan Eksplorasi Dirgantara Jepang (Japan Aerospace Exploration Agency/JAXA) menggunakan salah satu dari tiga opsi kargo antariksa, yaitu SpaceX Dragon, Cygnus, atau H-II Transfer Vehicle (HTV).

Peluncurannya akan dilakukan pada kuartal ketiga atau keempat 2022 pada orbit di Stasiun Antariksa Internasional (International Space Station/ISS). Untuk pelepasan satelit ke orbit akan dilakukan kurang lebih satu bulan setelah tiba di ISS.

Satelit tersebut diketahui memiliki berat 10 kilogram dan ukurannya 10x10x10 cm. Menurut Setra Yoman Prahyang selaku ketua tim SS-1 mengatakan bahwa pembuatan satelit mini ini membutuhkan biaya sebesar Rp3 miliar.

Adapun misi SS-1 adalah Automatic Packet Reporting System (APRS) yang akan berfungsi sebagai media komunikasi via satelit dalam bentuk teks singkat. Teknologi ini juga dapat dikembangkan untuk mitigasi bencana, transfer data, pemantauan jarak jauh, dan komunikasi darurat. Untuk penelitian, satelit juga dapat dimanfaatkan untuk sarana komunikasi semua laboratorium penelitian di universitas dan amatir radio di Indonesia.

Satelit mini ini merupakan karya dari mahasiswa di Surya University yaitu M. Zulfa Dhiyaulfaq, Hery Steven Mindarno, Suhandinata, Setra Yoman Prahyang, Afiq Herdika Sulistya, dan Roberto Gunawan. Tim ini juga dibimbing oleh Sunartoto Gunadi (Guru Besar Fisika Energi), Riza Muhida PhD (pakar robotik), dan para peneliti antariksa di Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN.

Pengembangan riset SS-1 ini juga merupakan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk Center for Robotics and Intelligent Machine (CRIM) Universitas Carolina Utara, Amerika Serikat.

“Pengembangan satelit ini juga menghasilkan beberapa publikasi internasional, hak kekayaan intelektual (HKI), pemagangan mahasiswa, termasuk penggunaan HKI hasil dari Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN,” jelas Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN Wahyudi Hasbi.

Menteri Johnny mengatakan bahwa sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau, Indonesia masih memiliki tantangan dalam penyediaan konektivitas digital. Keberadaan satelit yang andal akan jadi salah satu prasyarat untuk memperbesar internet-link ratio dan konektivitas ke seluruh wilayah, termasuk wilayah Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal (3T).

Dengan kondisi geografis yang unik, Indonesia butuh kapasitas satelit sekitar 1 TBps (Terabyte per second) hingga tahun 2030 dan pengembangan inovasi satelit bisa menjadi solusi.

Menurut keterangan Hery, saat ini pihaknya tengah melengkapi safety document report yang akan diserahkan kepada JAXA selaku peluncur satelit. Usai dokumen disetujui, akan dilakukan serah terima dengan JAXA, kemudian akan diinspeksi dan diintegrasikan dengan sistem peluncur.

Tim SS-1 juga telah melakukan Satellite Fit Check Test bersama JAXA dan United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) di Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN. Sementara untuk pengujian dilakukan untuk memastikan ukuran satelit sesuai dengan ukuran Japanese Experiment Module Small Satellite Orbital Deployer (JSSOD) yang ada di ISS.

Ada pula Satellite Fit Check Test untuk memastikan bahwa tak ada interferensi mekanik. Pengujian sendiri berlangsung selama 15 menit dan SS-1 dinyatakan lolos uji. Selanjutnya ada Sharp-Edge Test untuk memastikan tidak ada sisi luar satelit yang tajam dan berpotensi melukai astronot. SS-1 juga sudah lolos berbagai pengujian seperti Functional Test, Vacuum Test, Thermal Test, Vibration Test, Battery Test, serta Payload and Communication Test.

Indonesia Menjadi Negara dengan Satelit Terbanyak di Asia Tenggara, Berapa Koleksinya?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini