Pesan Pelestarian Lingkungan dalam Tradisi Ketupat Lebaran

Pesan Pelestarian Lingkungan dalam Tradisi Ketupat Lebaran
info gambar utama

Masyarakat Jawa pada umumnya mengenal dua kali pelaksanaan lebaran, yakni Idul Fitri dan lebaran ketupat. Idul Fitri dilaksanakan pada 1 Syawal, sementara lebaran ketupat dilaksanakan pada satu minggu kemudian.

Dalam buku Indonesia Punya Cerita: Kebudayaan dan Kebiasaan Unik di Indonesia (2012) karya Yusuf dan Toet yang dimuat Kompas, menyebut lebaran ketupat dilaksanakan enam hari setelah perayaan Idul Fitri yang berarti masuk pada 7 Syawal.

Selain wayang, lebaran ketupat memang identik dengan masyarakat Jawa. Belakangan tradisi ini sudah menyebar di seluruh pelosok Indonesia, bahkan telah menyebrang ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Dilansir dari situs nu.or.id, lebaran ketupat awalnya diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu Wali Songo, para penyebar agama Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah bakda kepada masyarakat Jawa.

Bakda pertama adalah bakda lebaran dan yang kedua adalah bakda kupat. Bakda lebaran dipahami sebagai proses pelaksanaan shalat ied pada 1 Syawal. Sementara bakda kupat dimulai satu minggu setelah lebaran.

Ketupat dengan Nama Unik Ini Kerap Diperebutkan Anak-anak Jelang Lebaran

Ketika lebaran ketupat, biasanya masyarakat akan membuat ketupat. Ketupat merupakan jenis makanan dari beras yang dimasukan ke dalam anyaman daun kelapa (janur) yang dibuat berbentuk kantong.

Setelah beras dimasukan kemudian dimasak, lantas di antar ke kerabat terdekat dan kepada mereka yang lebih tua. Hal ini sebagai simbol permintaan maaf dan kebersamaan sebagai saudara seiman.

Ketupat memang bisa diartikan berbagai, salah satunya adalah “ngaku lepat” atau mengakui kesalahan dan meminta maaf. Hal ini berarti adalah “laku papat” yang dapat diterjemahkan menjadi empat perilaku yaitu syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat.

Dalam kacamata Jawa, laku papat ini juga terbagi dalam empat yakni lebaran, leburan, luberan, dan laburan. Ketupat disebut memiliki nilai yang mendalam, tidak hanya sekadar hanya makanan.

“Memang ketupat atau kupat identik dengan lebaran, leburan, luberan, dan laburan,” kata Iman Suhardi Koordinator Pusat Penelitian Budaya Daerah dan Pariwisata (Pusbudpar) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto yang dikutip dari Mongabay Indonesia, Senin (9/5/2022).

Iman menjelaskan masing-masing memiliki arti, misalnya untuk lebaran maknanya selesai, kemudian leburan berarti meleburkan kesalahan, luberan yang bermakna melimpah artinya memberikan zakat dan laburan berarti pemutihan diri.

Pesan kearifan lingkungan

Di balik bentuknya yang unik dan rasanya yang khas, ketupat ternyata memiliki banyak makna filosofi di dalamnya. Dimulai dari bahan yang digunakan untuk membungkus ketupat yakni, janur atau daun kelapa.

Menurut filosofi dari masyarakat Jawa, janur merupakan singkatan dari frasa “sejatine nur” yang melambangkan seluruh umat manusia berada dalam kondisi yang bersih dan suci setelah melaksanakan ibadah puasa.

Selain itu, menurut mereka janur memiliki kekuatan magis sebagai suatu benda yang dapat menolak bala. Sehingga banyak orang yang menggantungkan ketupat di depan pintu rumah mereka, agar dijauhkan dari malapetaka.

Anyaman ketupat yang cukup rumit memiliki arti bahwa hidup manusia dipenuhi dengan rintangan dan lika-liku. Misalnya bentuk segi empat yang ada pada ketupat, menggambarkan empat jenis nafsu dunia.

Empat nafsu tersebut adalah emosi, memuaskan rasa lapar, memiliki sesuatu yang indah, dan memaksakan diri. Seseorang yang memakan ketupat, digambarkan sebagai orang yang telah mengendalikan nafsu tersebut setelah melaksanakan ibadah puasa.

Memang ketupat tersebut tidak dapat dilepaskan dari kulit atau selongsong ketupat. Dalam kondisi hari-hari biasa, ketupat tidak hanya dibungkus dengan janur kuning yang dianyam, tetapi memakai plastik.

Demi kepraktisan, tanpa harus mengambil janur kemudian dianyam terlebih dahulu. Namun demikian, hingga kini, kebanyakan masyarakat masih tetap membuat ketupat dengan bungkus janur.

Lebaran Ketupat, Tradisi Syawalan dan Mitos Hidangan untuk Anak yang Meninggal

Menurut Iman, bila melihat makna ketupat lebih dalam, sebetulnya akan ada pesan kearifan lingkungan yang mendalam. Jelasnya ketika menggunakan janur, sesungguhnya ada rasa memuliakan tanaman.

“Sebetulnya, pohon kelapa utamanya diambil buah dan kayunya. Namun, kenyataan, bila diambil daunnya. Ini sama saja memuliakan tanamannya juga,” ungkap Iman.

Baginya penggunaan daun pohon kelapa bukan berarti melakukan eksploitasi. Justru kalau yang diambil adalah daunnya, maka pohon kelapa harus dijaga keberadaannya. Jika tidak ada pohon kelapa, tentu saja tidak bisa mengambil janur atau daunnya.

“Inilah pesan kearifan lingkungan yang ada dalam ketupat lebaran. Bahkan, anyaman kulit ketupat juga dapat menggambarkan kondisi seseorang. Bagi mereka yang mungkin ada masalah, tentu saja anyamannya akan tidak rapi. Jadi ada semacam komunikasi non verbal antara manusia dengan janur yang dianyam menjadi kulit ketupat,” jelasnya.

Iman mengatakan dengan mempertahankan kulit ketupat lebaran dengan janur, telah menjadi bukti tradisi yang ramah lingkungan. Menurutnya plastik memang praktis, tetapi janur atau daun kelapa harus tetap dipertahankan.

Kesejahteraan dari ketupat

Nursito dan Darsinah, dua perajin ketupat menyebut ketika masa lebaran, permintaan kulit ketupat mengalami peningkatan cukup signifikan. Dua warga asal Desa Datar, Kecamatan Sumbang, Banyumas, Jawa Tengah ini menyatakan kebutuhannya sangat tinggi.

Nursito tidak hanya menjadi perajin kulit ketupat pada masa-masa lebaran saja, tetapi melainkan juga hari-hari biasa. Dirinya mengungkapkan warga dalam satu RT di sini, umumnya memang perajin kulit ketupat.

“Kulit ketupat yang dibuat warga dengan memanfaatkan janur kuning atau daun hijau dari pohon kelapa. Setiap harinya, kami mampu membuat kulit ketupat hingga 1.000 buah,” katanya.

Sementara Darsinah menambahkan pada hari biasa, dia mendapatkan upah Rp40 per buah kulit ketupat, namun pada masa lebaran bisa mencapai Rp70 per buah. Bila bisa membuat sebanyak 1.000 buah dengan harga Rp70, mereka bisa mendapatkan Rp70 ribu.

Darsinah mengatakan bahwa mereka masih tetap dapat bekerja menganyam kulit ketupat, karena kebanyakan orang tetap memilih ketupat dengan bungkus janur atau daun pohon kelapa, daripada plastik.

“Memang, di pasaran ada yang sudah menggunakan plastik, praktis, tidak perlu menganyam kulit ketupat. Namun, kalau dengan plastik, maka rasanya sangat beda dan tidak tahan lama,” jelasnya.

Sukati, seorang pembuat ketupat juga mengatakan bahwa dirinya masih tetap mempertahankan menggunakan janur sebagai pembungkus ketupat. Baginya kulit ketupat yang berasal dari janur atau daun pohon kelapa lebih bagus, dibanding dengan plastik.

Lebaran Ketupat : Tradisi Sepekan Setelah Lebaran

Selain itu, ketupat dengan bungkus dari janur, katanya mampu bertahan lama. Sedangkan bila memakai plastik, maka ketupat hanya bertahan maksimal sehari saja. Setelah itu ketupat akan berair dan bau.

Permintaan ketupat pada masa lebaran memang sangat tinggi. Pada hari biasa, permintaan ketupat sekitar 2.500 ketupat dengan kebutuhan beras mencapai 1 kuintal. Sedangkan pada tiga hari lebaran, katanya ada 25 ribu ketupat dengan kebutuhan mencapai 1 ton.

Harganya juga jauh berbeda, kalau kondisi normal hanya Rp7 ribu per 10 buah ketupat. Namun jika masa lebaran, harganya bisa mencapai Rp12 ribu hingga Rp15 ribu per 10 buah ketupat.

Suami Sukati, Purwanto menambahkan tidak ada niat untuk mengubah kulit ketupat dari janur atau daun pohon kelapa dengan plastik. Alasannya, mereka ingin mempertahankan tradisi, dari segi rasa lebih enak, dan bisa bertahan lama.

“Plastik juga menimbulkan masalah pencemaran. Nah, kalau dengan janur, maka sampahnya kan organik, dapat terurai. Beda dengan plastik,” tandasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini