Peran Kearifan Lokal Bantu Suku Laut Menghadapi Krisis Iklim

Peran Kearifan Lokal Bantu Suku Laut Menghadapi Krisis Iklim
info gambar utama

Masyarakat di beberapa wilayah Indonesia beberapa hari ini merasakan panas yang begitu terik. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena suhu udara terik yang terjadi dipicu beberapa hal.

Di antaranya yakni posisi semu matahari yang sudah berada di wilayah utara ekuator, sehingga menyebabkan pertumbuhan awan hujan sangat berkurang, serta dominasi cuaca cerah dan tingkat perawanan yang rendah.

Karena penerimaan sinar matahari ke permukaan Bumi terjadi optimal yang membuat masyarakat merasakan suhu cukup terik pada siang hari. BMKG mencatat suhu maksimum periode 1-7 Mei 2022 berkisar antara 33-36.1 derajat celcius.

“Kewaspadaan kondisi suhu panas terik pada siang hari masih harus diwaspadai hingga pertengahan Mei,” kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto dalam keterangan pers yang dimuat di Liputan6, Rabu (11/5/2022).

Mengenal Suku Laut, Pelestari Kehidupan Bahari yang Mulai Terlupakan

Suku laut hadapi cuaca ekstrim

Perubahan suhu tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang hidup di perkotaan. Masyarakat adat yang hidup jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota pun mengalami dampak yang cukup besar.

Suku Laut menjadi salah satu kelompok masyarakat adat yang sering mengalami krisis iklim. Orang Suku Laut adalah masyarakat asli Melayu yang suka hidup berpindah-pindah mengarungi laut (sea nomads) sejak abad ke 16 Masehi.

Orang Suku Laut ini terdiri dari tiga kelompok yakni kelompok yang masih hidup berpindah-pindah (nomadic groups), kelompok semi menetap (semi-nomadic groups) dan kelompok menetap (sedentary groups) sejak awal tahun 1990 an.

Wengky Ariando dalam penelitiannya menemukan bahwa 80,18 persen Orang Suku Laut merasakan perubahan iklim yang berdampak pada kehidupan mereka. Hal ini membuat mereka harus mengubah cara hidup untuk beradaptasi.

“Perubahan itu termasuk berkurangnya ketersediaan sumber daya alam akibat peristiwa cuaca ekstrem, lalu peningkatan suhu yang berdampak pada pola musiman, semakin rentannya mereka terhadap penyakit, kelangkaan sumber air bersih, dan mata pencaharian mereka,” tulis Wengky dalam artikel berjudul Kearifan Lokal Bantu Masyarakat Adat Beradaptasi Terhadap Dampak Krisis Iklim yang dimuat di The Conversation.

Kearifan lokal untuk hadapi krisis iklim

Suku Laut sebagai masyarakat adat masih menggunakan kearifan ekologi dalam mengatasi krisis iklim. Kearifan ekologi lokal digunakan agar mereka bisa beradaptasi terhadap dampak dari krisis iklim.

Wengky berpendapat bahwa kearifan ekologi yang diterapkan oleh masyarakat adat dalam hal ini Suku Laut bisa menjadi cara yang efektif untuk bisa beradaptasi dengan krisis iklim. Bahkan beberapa bisa diadaptasi oleh masyarakat perkotaan.

Orang Suku Laut, jelasnya, memiliki cara berpikir yang holistik yakni mempertimbangkan kebudayaan leluhur dan keseimbangan alam sebagai sumber kehidupan. Hal ini dilakukan untuk bisa beradaptasi dalam kondisi apapun.

Misalnya, Orang Suku Laut memiliki praktik kebudayaan membuat prakiraan cuaca dengan melihat tanda-tanda alam, dari arah angin, pergerakan ikan atau burung. Mereka, ungkap Wengky juga melakukan observasi langsung ke langit, arus laut, dan suhu laut.

Wengky mengungkapkan Orang Suku Laut memiliki praktik kebudayaan berpindah mengikuti perubahan musim tahunan agar mengurangi ancaman hidrometeorologis (kemarau panjang dan badai laut).

“Praktik kebudayaan dari Orang Suku Laut merupakan pengetahuan tradisional yang saat ini masih dilakukan dan bisa direplikasi oleh kelompok bukan masyarakat adat,” tandas mahasiswa dari Chulalongkorn University ini.

Suku-Suku Asli Indonesia ini Mampu Bertahan Tanpa Mengikuti Modernitas!

Dirinya menjelaskan bahwa kalender musiman Orang Suku Laut sangat dipengaruhi oleh pola curah hujan monsoon. Mereka, ungkapnya, mengenal adanya Musim Utara yang memiliki bencana hidrometeorologi tertinggi.

Kemudian, lanjutnya, Musim Timur dengan produktivitas perikanan yang tinggi, Musim Selatan adalah musim kemarau, dan terakhir, ucap Wengky adalah Musim Barat yang disebut musim hujan.

Sementara dalam kepercayaan adat, Orang Suku Laut masih mempercayai pantang larang yakni sebuah tata aturan turun temurun yang digunakan untuk menumbuhkan kesadaran hukum adat yang dikaitkan dengan sisi spiritual.

“Misalnya pantang larang melaut, menebang pohon, menangkap jenis spesies tertentu,” jelasnya.

Bagi Orang Suku Laut, jelas Wengky, pantang larang ini berkaitan dengan penggunaan ilmu dan pengasih yaitu berupa kemampuan magis seperti ilmu mengurangi intensitas hujan dan menghindari badai ketika di tengah laut.

Baginya penerapan kepercayaan adat ini merupakan bentuk kearifan ekologi lokal yang dinamis dan reflektif. Kepercayaan ini, jelas Wengky, juga mudah dihubungkan dengan spiritualitas dan tabu yang bertujuan untuk melindungi alam.

Kemampuan beradaptasi

Wengky juga menemukan bentuk adaptasi Orang Suku Laut melalui bentuk arsitektur bangunan. Bangunan Orang Suku Laut memiliki gaya arsitektur vernakular, yaitu menggunakan bahan-bahan dan pengetahuan lokal.

Hal ini jelasnya bisa dilihat dari rumah panggung tancap (Saphaw) dan Sampan Kajang mereka yang terbuat dari kayu Mentango dan Bintangur, yakni pohon bertekstur keras yang tersebar di daerah tropis dan dataran rendah, seperti di Kepulauan Riau.

Pada atap dan dinding, tambah Wengky, juga terbuat dari daun Mengkuang, yakni sejenis pandan berduri yang memang tumbuh di pesisir pantai dan pulau-pulau kecil beriklim tropis. Kemampuan adaptasi ini, ucapnya, telah teruji mengurangi resiko bencana.

“Telah teruji dapat mengurangi risiko keterpaparan Orang Suku Laut terhadap badai laut, kenaikan suhu udara, dan kondisi cuaca ekstrem karena mengadopsi prinsip ekologi dan berkelanjutan,” ucapnya.

Selain dalam bentuk arsitektur, migrasi lokal dari satu pulau ke pulau lain ketika musim utara datang seperti terjadinya badai laut, jelas Wengky, menjadi salah satu kemampuan adaptasi dari Orang Suku Laut.

Daulat Pangan Kasepuhan Ciptagelar yang Bertahan dari Perubahan Iklim dan Covid-19

Dirinya menyebut migrasi ini dilakukan Orang Suku Laut untuk melindungi diri dari ancaman kekeringan, pasang naik, kejadian iklim ekstrim serta wabah penyakit dan konflik kelompok yang mengancam keberadaan mereka.

Dikutip dari Detik, meski Orang Suku Laut memiliki rumah permanen di daratan, mereka memang memilih hidup berpindah dari satu wilayah laut ke wilayah laut lainnya tergantung pada musim.

Orang Suku Laut hidup berpindah-pindah menggunakan sampan yang sekaligus merupakan tempat tinggal mereka ketika di laut. Sampan ini pun tidak sekadar alat, tetapi juga simbol kesatuan keluarga.

Sampan tersebut berupa perahu beratapkan kajang yang terbuat dari daun rumbia, sehingga perahu ini sering disebut Sampan Kajang. Biasanya dalam satu sampan berisi satu anggota keluarga.

Adapun perahu yang biasa digunakan untuk melaut juga terdiri atas beberapa bagian sesuai fungsi masing-masing. Pertama ada balok kayu yang berada di dasar sampan atau yang sering disebut luna.

Balok ini mengikat kayu berbentuk segitiga dan menghubungkan dengan rangka lainnya atau disebut kong. Pada bagian lainnya, ada konstruksi yang disebut gading, yang terpaut pada kong dan menahan papan sebagai tempat berpijak para pelaut.

Sampan ini dalam bentuk jadi memiliki tiga bagian (level) pada lambungnya, yakni memiliki fungsi mulai dari tempat resapan air sebagai penyeimbang sampan, tempat perbekalan selama melaut, dan tempat kemudi atau berpijak pelaut.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini