Rempah-Rempah, Menghirup Aroma Surga Persembahan untuk Para Dewa

Rempah-Rempah, Menghirup Aroma Surga Persembahan untuk Para Dewa
info gambar utama

Rempah-rempah diyakini mewakili sesuatu yang eksotis dan magis. Jauh sebelum adanya bukti-bukti tentang rempah-rempah yang bisa dikonsumsi. Komoditas ini lazim digunakan dalam laku religius maupun magis.

Rempah-rempah umumnya dibakar dalam dupa atau dilemparkan begitu saja ke dalam api di perapian arang kuil selama proses ritual keagamaan. Selain itu dapat juga dijadikan wewangian dan salep yang dioleskan kepada patung pemujaan.

Eksotisme, kelangkaan, dan kemisteriusan mengantar rempah-rempah menjadi karakteristik yang sesuai dengan ritual pemujaan kuno. Daya tarik lainnya, tentu aroma yang bila dicampur dengan dupa, akan mengeluarkan aroma harum.

Jack Turner dalam Sejarah Rempah: Dari Erotisme Sampai Imperialisme menyebut bahwa paganisme pada dasarnya identik dengan bau-bauan. Selain di festival-festival besar, aroma rempah-rempah, dupa, dan wewangian juga meresap ke dalam ritual agama kuno.

Selain dewa-dewa Pagan, tampaknya dewa-dewa Romawi menyukai rempah. Dalam puisi Senece, di mana Hercules berterima kasih kepada dewa-dewa atas kejayaannya, dia memerintahkan disiapkan persembahan terbaik bersama rempah-rempah India.

Kaya Akan Rempah Sejak Dulu, Indonesia Jadi Produsen Kayu Manis Terbesar di Dunia

“Dalam hal ini tentu yang dimaksud adalah rempah-rempah Nusantara yang dibawa melalui India,” tulis Sri Untari dan Bimasyah Sihite dalam artikel bertajuk Rempah-Rempah Maluku: Dari Eksotisme Aroma Surga Para Dewa Hingga Sensasi Rasa dalam Seteguk Cola-Cola.

R.A Donkin dalam tulisannya Between East and West the Moluccas and the Traffic in Spices up to the Arrival of Europeans menjelaskan sebelum dipopulerkan oleh orang-orang Eropa, rempah telah diperdagangkan oleh pedagang-pedagang Asia Klasik.

Penemuan biji lada hitam pada lubang hidung Ramses II sang Firaun dari Mesir dan berbagai jenis rempah dalam perutnya, tak lama setelah kematiannya pada 12 Juli 1224 Sebelum Masehi.

Donkin berpendapat bahwa rempah-rempah tidak hanya berkaitan dengan persoalan mumifikasi mayat. Tetapi juga berkaitan dengan sistem kepercayaan orang-orang Mesir pada masa silam.

Dalam sistem kepercayaan orang-orang Mesir, kematian bukan akhir dari kehidupan, oleh karena itu tubuh si mayat harus diawetkan, agar tidak terjangkiti apa yang disebut “keringat set”. Karena bila terjangkiti kematiannya akan menjadi abadi.

“Dalam hal ini wewangian rempah memberi simbol berjayanya kehidupan atas kematian, serta adanya keabadian, seperti dewa-dewa yang tak dapat meninggal bersifat ilahi dan berbau rempah,” tulis Donkin.

Persiapan upacara suci

Donkin secara rinci menjelaskan tentang pemanfaatan rempah-rempah di India, Tiongkok, dan Arab. Menyangkut dengan pemanfaatan cengkeh dan pala di India. Dirinya menemukan pemanfaatan rempah bagi kesehatan.

Dirinya mengutip kitab Caraka Samhita, sebuah karya mengenai medis tertua yang disusun pada abad pertama sebelum masehi. Buku ini menjelaskan bahwa pala dan cengkeh, serta sirih yang dicampur dengan kapur barus, hendaknya dikunyah untuk mengharumkan nafas.

Karya kedua yang memberikan cengkeh adalah Susutra Samhita. Pada risalah ini dijelaskan bahwa cengkeh, pala, dan kapur barus (tanpa sirih) merupakan campuran bahan obat untuk menghilangkan bau mulut.

Pada zaman Kalidasa sesungguhnya telah diketahui bahwa cengkeh tumbuh di Kepulauan Timur (Dvipantara). Rata-rata bahan ini digunakan sebagai parfum, kosmetik, dan obat-obatan dalam bentuk tepung, larutan sirup, pasta, serbuk, minyak dan pastiles.

Jalur Rempah Indonesia di Daftar Warisan Budaya UNESCO

Varahamihara dalam bukunya Bhratsamhita (sekitar 550 M) menyediakan sebuah ulasan panjang tentang penyiapan parfum. Pala bersama dengan kapur barus digunakan untuk kembali bau harum.

“Hal ini menjelaskan eksotisme aroma rempah-rempah menandai harum khas bangsawan India dan wewangian suci dalam ritual kepercayaannya,” tulis Sri Untari.

Sedangkan, jelas Untari, orang-orang Tiongkok rata-rata mengambil rempah dari Indonesia dalam berbagai jenis. Jenis yang cukup dominan dibeli Tiongkok dari Indonesia adalah pala dan cengkeh.

Orang Tiongkok memanfaatkan cengkeh sebagai bahan obat-obatan pada abad ke III di masa pemerintahan dinasti Han. Chau ju-kua (1178-1225) melaporkan bahwa cengkeh pertama kali dibawa ke Tiongkok oleh Yueh.

Cengkeh ketika itu menjadi bahan farmasi di Tiongkok. Seperti halnya di India yang memanfaatkan cengkeh untuk obat-obatan, orang Tiongkok juga memasok cengkeh untuk kebutuhan farmasi.

Sementara itu di Arab, penyebutan cengkeh adalah caranful. Dunia Arab dan Persia mengenal cengkeh Maluku setelah bersentuhan dengan pusat rempah di Maluku. Proses ini berlangsung pada masa penyebaran Islam di Nusantara.

Seorang dokter Persia, Ibn Masawayh (777-857) menempatkan cengkeh, pala, dan kayu cendana di antara aromatik sekunder (afawih). Rempah Maluku juga muncul dalam kitab Zat Kimia karya Al Kindi pada tahun 879 M.

Hilangnya aroma surga

Kaum Romawi, baik umat Kristen maupun pagan pada dasarnya mewarisi tradisi rempah ini dari Mesir. Di kawasan yang dahulu dikenal sebagai provinsi Galia, pada tahun 470 sampai 750 rupayanya biasa menggunakan rempah untuk pembalseman.

Gregory dari Tours yang hidup pada tahun 538 hingga 594 menulis tentang Ratu Radegunda suci yang dibalsem dengan rempah-rempah. Di mana tradisi tersebut bertahan dan menjadi ciri khas pemakaman anggota keluarga kerajaan.

Dalam memperlakukan jasad setelah kematian, fokus sesungguhnya bukanlah pada pengawetan jasad agar terlihat tetap hidup. Tetapi lebih didasarkan pada alasan agar aroma kesucian muncul yang dipercaya sebagai bukti pertolongan Tuhan.

Terbaring di antara rempah-rempah sama artinya dengan terbaring di antara aroma kesucian para malaikat. Tampaknya rempah-rempah tidak saja digunakan dalam kematian, namun dijadikan simbol kesucian bagi mereka yang telah meninggal.

Rempah-rempah tidak bermanfaat bagi kepentingan ritual kuburan dan orang mati, namun digunakan untuk melindungi raga/jasad manusia yang masih hidup. Pada abad pertengahan, rempah pun digunakan untuk obat-obat kesehatan.

4 Bumbu Dapur Khas Indonesia Ini Bisa Obati Kanker. Apa Saja?

Komoditas ini kemudian menjadi cita rasa yang populer saat itu, lalu karakteristik, dan aromanya mendapat berbagai tanggapannya. Semua orang sepakat bahwa baunya sangat sensual, rempah-rempah berbau khas surgawi.

Namun dalam perkembangan lebih lanjut, rempah-rempah mulai kehilangan daya tariknya. Bahkan ketika Perusahaan Hindia Timur Inggris (EIC) dan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) membawa rempah-rempah ke Eropa dalam jumlah besar.

Masyarakat Eropa lantas menganggap rempah-rempah merupakan selera masa lalu, selera abad pertengahan. Kejatuhan komoditas ini juga bersamaan dengan persaingan pasar internasional yang semakin padat.

Perkembangan secara luas agama Islam, juga berhasil menggeser posisi rempah di dunia ritual dan magis. Rempah-rempah yang dikenal dengan asap suci dalam ritual pembakaran dupa dan pembalseman mayat mulai ditinggalkan.

Pada abad 19, telah ditemukan formaldehida sebagai teknik pembalseman baru. Praktik pembalseman dengan rempah pun dinyatakan telah usang. Meskipun pembakaran dupa masih dilakukan di sebagian kecil belahan dunia, seperti India dan Tiongkok.

Di sekolah medis Eropa dan Amerika, pelajaran tentang farmasi juga berkembang ke arah yang jauh lebih empiris dan sintesis. Dalam hal ini dunia semakin tidak mengandalkan obat-obatan herbal, termasuk rempah-rempah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini