Arsitektur Rumah Tradisional Suku Bajo untuk Menghadapi Iklim Tropis

Arsitektur Rumah Tradisional Suku Bajo untuk Menghadapi Iklim Tropis
info gambar utama

Suku Bajau (Bajo) sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia. Mereka dikenal sebagai orang-orang laut yang andal. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut.

Nama Bajo diambil dari leluhur mereka yang pandai melaut dan bercocok tanam. Mereka hidup berdampingan dan tak terpisahkan dengan laut. Nama Bajo dikenal dengan air laut, perahu dan hidup di atas permukaan laut.

Masyarakat Bajo juga terbagi dua yakni Bajo daratan dengan rumah-rumah yang didirikan di atas karang yang telah mati dan disusun menjadi seperti daratan, dan Bajo laut yang mendirikan rumahnya di atas permukaan air laut.

Dalam pembuatan rumah, masyarakat Bajo masih memegang teguh pakem dan mengadakan upacara adat setiap kali mendirikan rumah. Karena dalam kepercayaannya ada hari baik dalam mendirikan sebuah rumah.

Masyarakat Suku Bajo juga mengikuti kondisi alam di mana mereka tinggal, sehingga membentuk pakem sendiri dalam arsitektur bangunan. Pandangan ontologis yaitu bagaimana memahami bumi dan alam secara menyeluruh.

Asal-usul, Tradisi, dan Perubahan Suku Bajo

Cara masyarakat Bajo membangun rumah banyak sekali dipengaruhi oleh pemahaman struktur kosmos di mana alam terbagi menjadi tiga bagian yakni alam atas, alam tengah, dan alam bawah.

Hal ini juga terlihat dari segi bangunan rumah adat suku Bajo, yakni baboroh atau rumah panggung. Masyarakat Bajo menyebutnya rumah atas artinya rumah yang berdiri di atasnya tanah atau tidak langsung bersentuhan dengan tanah tetapi ditumpu oleh tiang kayu.

Suku Bajo membagi bagian di dalam rumah menjadi tiga ruang, yakni ruang Lego-Lego sebagai teras, Watangpola yaitu badan rumah dengan Pocci Bola sebagai pusat rumah untuk berkumpul dan mengadakan upacara serta Dapureng sebagai dapur.

Mereka juga percaya arah barat sebagai kiblat dan suci tidak boleh digunakan sebagai tempat yang kotor seperti toilet. Anak tangga juga harus berjumlah ganjil, bila syarat ini tidak dipenuhi maka akan menyurutkan rezeki masuk ke dalam rumah.

Hunian masyarakat suku Bajo juga menyesuaikan lanskap pantai yang ditinggali. Hidup berdampingan dengan laut dan menggunakan bahan material dari alam memberikan kesan yang menyatu dengan alam.

“Penggunaan orientasi yang tepat serta penyusunan ruang yang baik membuat dampak positif kepada penghuni terutama pada bagian teras dengan view hamparan laut lepas yang biru,” tulis Dwi Nurhasanah dalam artikel berjudul Istimewa! Rumah Tradisional Suku Bajo.

Bahan pembuatan rumah

Rumah adat suku Bajo disebut dengan nama baboroh yang memiliki arti bangunan sederhana dengan tiang terbuat dari batang pohon. Untuk penutup dindingnya, dapat terbuat dari anyaman daun kelapa.

Sedangkan dinding papan dan lantainya terbuat dari papan dan balok kayu. Atap rumah suku Bajo menggunakan daun nipa atau yang biasa mereka sebut dengan tuho. Ciri lain adalah tapak tiang rumah yang terbuat dari karang.

Pemilihan karang diyakini karena bahan yang paling tepat untuk rumah masyarakat yang mengapung di atas laut. Sementara tiang-tiang yang menjulang tinggi membuat orang suku Bajo membangun lorong menuju ke halaman rumah sebagai tempat menyandarkan kapal.

Tiang yang merupakan struktur utama bangunan ditancapkan langsung ke dalam pasir sedalam 50 centimeter. Pola tiang rumah ini berbentuk grid kubus dengan jarak bentang 5 x 6 meter.

Bangunan ini memiliki dua macam tiang yakni tiang yang menjadi penyangga kuda-kuda atap (biasa berukuran panjang 4 meter) dan tiang yang menjadi penyangga tiang lantai (biasa berukuran panjang 1,5 meter).

Semua tiang yang digunakan berbahan kayu yakni kayu posi-posi sejenis kayu bakau yang tahan terhadap air laut. Kayu posi-posi merupakan kayu lokal yang banyak ditemukan di daerah tersebut.

Pulau Padar, Permata Labuan Bajo yang Diabadikan dalam Uang Rp50 Ribu

Diameter kayu yang digunakan untuk tiang adalah sekitar 15-20 centimeter. Kayu batangan tersebut langsung digunakan utuh karena jenis kayu tersebut tumbuh lurus tegak sehingga sangat ideal digunakan sebagai tiang bangunan.

Lantai berdasarkan status penghuninya terdiri dari dari 2 bagian. Untuk golongan bangsawan yang disebut aung, di sini lantai rumahnya tidak rata karena terdapat tamping yang berfungsi sebagai ruang sirkulasi.

“Sedangkan untuk rakyat biasa atau tosama umumnya tanpa tamping dan umumnya terbuat dari bambu,” tulis Fadly dalam artikel Struktur Rumah Suku Bajo.

Untuk bahan dinding, masyarakat Bajo menggunakan batang pohon nibung sebagai bentuk sambung ikat. Penggunaan batang pohon nibung karena pohon ini memiliki karakteristik batang yang khas yaitu lurus dengan tekstur kuat, kokoh dan tahan lama.

Walau kini, jelas Fadly bahan dinding tersebut telah mengalami perubahan, sebagai pengganti adalah bahan dari kayu (papan) dengan bentuk sambungan yang nantinya menggunakan paku.

Bentuk atap yang digunakan masih berbentuk asli yakni atap pelana dengan sistem struktur menggunakan sambung ikat. Penutup atap menggunakan bahan rumbia yang dikenal juga sebagai atap nipah.

Cocok untuk iklim tropis

Kondisi iklim akan mempengaruhi rasa nyaman bagi penghuni dalam bertempat tinggal. Dalam kaitannya dengan iklim biasanya dikaitkan dengan kenyamanan thermal, yakni kenyamanan yang tercapai apabila pada kondisi udara tertentu.

Faktor kenyamanan thermal didukung oleh temperatur udara, radiasi, pergerakan udara, dan kelembapan relatif. Keempat faktor ini dalam kombinasi tertentu akan menghasilkan suatu kenyamanan thermal tertentu.

Arsitektur tropis akan mengacu pada kualitas fisik ruang dalam yakni suhu ruang yang rendah, kelembapan relatif tidak terlalu tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara memadai, terhindari dari hujan dan terik matahari.

Sementara itu rumah tradisional di Desa Bajo membentuk orientasi rumah menghadap ke jalan (darat) sehingga orientasinya ada yang menghadap ke utara, selatan, timur, barat yang sedikit menyerong 15 derajat.

Pada pola masa bangunan, arah selatan merupakan arah yang sangat menguntungkan dalam menanggulangi radiasi sinar matahari. Arah datangnya matahari tidak secara langsung pada bagian depan/fasad rumah.

Puncak Waringin dan Gua Batu Cermin, Dua Destinasi Andalan Labuan Bajo

Susunan ruang dengan bukaan yang cukup mampu memenuhi kebutuhan akan cahaya alami secara maksimal. Bentuk atap dengan sudut rendah sehingga intensitas radiasi tinggi dipengaruhi oleh rambatan panas sinar matahari.

“Namun tidak menjadi masalah terkait dengan lokasi yang berada di laut dengan bukaan yang cukup memadai,” jelas I Made Krisna Adhi Dharma, Ainussalbhi Al Ikhsan, dan La Ode Amrul Hasan dalam Respon Rumah Tradisional Suku Bajo Terhadap Iklim Tropis.

Karena terdapat rongga/ruang pada dinding dan lantai serta bukaan pada jendela memberikan ruang gerak terhadap angin untuk masuk ke dalam rumah, sehingga penghawaan alami terjadi secara maksimal.

Kemiringan atap juga cukup landai yang membuat aliran air cukup lancar. Air hujan yang jatuh langsung mengalir ke laut dan tanah tanpa menggunakan talang tritisan. Tritisan ini berfungsi untuk melindungi dari panas pada tepi dan hujan.

Namun menurut Krisna, respon rumah tradisional suku Bajo terhadap iklim tropis belum terlalu maksimal karena adanya perubahan material, terutama pada bagian atap bangunan yang dahulunya menggunakan ijuk kemudian diganti menjadi seng.

“Sehingga untuk menciptakan thermal yang maksimal diberikan solusi untuk menggunakan plafon pada bagian atap di dalam rumah yang dapat merespon iklim panas dengan baik, yaitu plafon yang bisa menahan suhu pada malam dan siang hari dengan demikian akan mencapai suhu thermal yang maksimal,” pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini