KH Agus Salim dan Semangat Perjuangkan Kesejahteraan Kaum Buruh

KH Agus Salim dan Semangat Perjuangkan Kesejahteraan Kaum Buruh
info gambar utama

Haji Agus Salim dikenal sebagai seorang pahlawan nasional yang berpenampilan cukup nyentrik dengan jenggot khasnya. Dirinya juga memiliki sisi-sisi menarik dalam hidupnya yang jarang diketahui.

Salim dikenal sebagai diplomat ulung yang menguasai berbagai bahasa dan intelektual muslim yang membina aktivis Jong Islamieten Bond seperti Mohammad Natsir hingga Mohammad Roem.

Pria yang sejak lahir diberi nama Masyudul Haq ini juga sosok yang berperan dalam perjuangan buruh di Hindia Belanda. Kiprahnya terekam pada masa aktif di Sarekat Islam (SI) bersama HOS Tjokroaminoto.

Salim dan Tjokroaminoto, sebagai petinggi SI dikenal sebagai dwi tunggal yang dianggap figur utama anti faksi SI Semarang seperti Semaun, Darsono, Bergsma, dan Sneevliet yang memang berhaluan komunis.

Ruth T McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia menyebut kedua tokoh ini sibuk dengan reorganisasi SI yang membuat pihak komunis tidak senang sehingga dianggap sebagai musuh yang paling berbahaya.

“Keduanya mengunjungi SI dari berbagai cabang yang belum terpengaruh dengan komunisme dan membuat mereka semakin bersemangat untuk mendepak faksi Semarang,” tulis McVey.

Sisi Nyentrik Agus Salim, Beralih jadi Vegetarian hingga Sekolahkan Anaknya di Rumah

Persaingan antara pimpinan SI yang berhaluan Islam dengan yang berhaluan komunisme juga menjalar ke dalam gerakan buruh pada masa itu. Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 merekam hal itu.

Ditulisnya setelah Kongres Nasional CSI tahun 1919, Salim bersama dengan Hassan Djajadiningrat mencoba membangun koalisi anti PKI/SI Semarang dengan Tjokroaminoto sebagai tokoh utama dan membimbing SI dengan basis Islam.

Takashi menyebut dalam kongres CSI itu juga disepakati pembentukan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) sebagai federasi persatuan organisasi buruh di Hindia Belanda.

Pada awalnya kelompok komunis masih tergabung dalam PPKB, misalnya pada kongres pertama yang diadakan pada 1920, Semaun terpilih sebagai ketua. Namun kepengurusan ini tidaklah berjalan baik.

Konflik di tubuh PPKB terus berlanjut hingga tahun 1921, pada pertemuan Yogyakarta, Suryopranoto bersama Salim berhasil menyingkirkan Semaun dan kawan-kawan dan merebut kepemimpinan PPKB.

Pandangan tentang gerakan buruh

Meski dikenal sebagai sosok yang anti terhadap komunisme, tidak lantas membuat Salim membela dan mendukung kapitalisme. Bahkan dirinya adalah orang yang sangat anti terhadap kapitalisme.

Pandangan ini bisa dilihat dari berbagai tulisan dan pidatonya. Misalnya di dalam surat kabar Persatoean Hindia edisi Sabtu 24 Juni 1920, dalam laporan pertemuan tersebut disampaikan apa saja yang dibicarakan oleh Salim.

“Sekarang tuan Salim membicarakan keadaan dalam dunia kaum buruh. Diperkatakan tingkah laku kaum uang akan mencari untuk sebanyak banyaknya dengan ongkos yang sedikit dikitnya. Gaji kaum buruh kecil, waktunya bekerja lama. Tentang waktu bekerja itu tuan Salim menerangkan bahwa di luar kota masih ada kaum bekerja 11-12-13 jam sehari.”

Terlihat dari laporan itu, Salim menjabarkan bagaimana kapitalisme membuat para buruh tersiksa kehidupannya. Bahkan sampai-sampai para wanita dan anak-anak turut bekerja demi menghidupi keluarga.

Meski sudah bersusah payah dan bekerja. jelas laporan itu, bayaran yang mereka dapati sangat tidak layak. Hanya saja, tidak seperti pimpinan SI yang komunis, Salim memandang bahwa tidak semua kapitalisme itu jahat.

“Kapitalisme yang jahat itu ialah para pemilik modal dari kalangan bangsa Eropa serta menghisap dan mengeksploitasi para buruh,” tulis laporan tersebut.

Perbedaan mengenai perlawanan melawan kapitalisme ini ada dalam Kongres Nasional CSI VI di Surabaya tahun 1921. Budiawan dalam Anak Bangsawan Bertukar Jalan menyebut ada pertentangan antara kubu Semaun-Tan Malaka dengan pihak Salim-Abdul Muis.

Duet Salim-Muis menempatkannya sebagai anti kapitalisme asing, di mata mereka, kapitalisme asing inilah yang sebenarnya telah membuat rakyat sengsara. Sedangkan, duet Semaun-Tan Malaka menyebut anti terhadap kapitalis baik asing maupun pribumi.

Syadinia Sapta Wilandra berpendapat dalam hal ini terlihat pemimpin SI, seperti Salim dalam memimpin gerakan buruh tidaklah mengambil dari teori Karl Marx sebagaimana dilakukan para tokoh komunis.

Menurut Salim, masih ada kaum pemilik modal yang baik, khususnya para pemilik modal dari kalangan pribumi yang masih memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya dan tidak sewenang-wenang.

“Hal ini berbeda dengan pandangan Karl Marx yang diadopsi oleh kaum komunis bahwa selama masih ada kaum pemilik modal maka buruh tidak akan sejahtera, dan tugas kaum buruh adalah bersatu untuk merebut modal itu dan menjalankannya bersama-sama,” tulisnya dalam artikel berjudul Haji Agus Salim dalam Pusaran Gerakan Buruh.

Salim dalam pusaran gerakan buruh

Perhatian Salim terhadap buruh dan perlawanan terhadap kapitalisme dia lakukan secara konsisten. Kustiniyati Mochtar dalam Agus Salim Manusia Bebas menuliskan beberapa peranan besar yang dilakukan Salim dalam perjuangan membela kaum buruh.

Misalnya saat Salim sebagai pemimpin surat kabar Fadjar Asia membuatnya harus turun ke lapangan sendiri, masuk ke daerah-daerah perkebunan di pedalaman Pulau Jawa, Sumatra, maupun Kalimantan.

Dirinya kemudian melaporkan keadaan buruh-buruh di sana yang tenaganya diperas dan dieksploitasi dengan bayaran yang sangat minim. Laporan dan pemberitaan Salim ini tersiar luas bahkan hingga keluar Hindia Belanda.

Karena hal ini, Himpunan Serikat Buruh Belanda bahkan sampai mengangkat Salim sebagai penasehat mereka dalam Konferensi Buruh se-Dunia di Jenewa, Swiss. Di Jenewa inilah Salim memberikan pidatonya mengenai kondisi para buruh di tanah jajahan Hindia Belanda.

Pidato Salim saat itu membuka mata banyak negara lain, seperti Amerika Serikat (AS) yang kemudian meninjau kembali politik perdagangan mereka dengan Belanda. AS akhirnya tidak mau lagi membeli hasil perkebunan dari Hindia Belanda.

“Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda kemudian mengubah politik kolonialismenya dengan menghapus peraturan kerja paksa poenale sanctie (mempekerjakan kuli kontrak dengan bayaran kecil) dan erfpacht (merangsang perusahaan dari Eropa untuk membangun usahanya di tanah jajahan dengan memberikan sewa tanah selama 75 tahun,” tulis Mochtar.

Ditulis oleh Mochtar, bentuk penyiksaan lain yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda yakni dikenal dengan herendienst atau kerja paksa. Rakyat di Sumatra Selatan misalnya dilaporkan dipaksa bekerja keras untuk untuk membangun jalan raya.

Wanita Ini Jadi Orang Pertama yang Nyanyikan Lagu Indonesia Raya

Disebutkan para bumiputra diharuskan bekerja seharian penuh tanpa diberi makan ataupun minum, apalagi upah. Praktik ini telah berjalan bertahun-tahun lamanya. Bahkan hal ini dilakukan pada hari Jumat siang, saat umat Islam harus menunaikan ibadah.

“Hal ini disebut oleh Agus Salim sebagai sebuah penghinaan terhadap agama Islam,” tandasnya.

Karena itulah sepulang dari Jenewa, Salim mengadakan aksi menuntut dihapuskannya sistem kerja paksa ini. Pada 14 Mei 1930, rakyat dari berbagai pelosok desa maupun kota turun aksi.

Dicatat oleh Mochtar, ketika itu pimpinan PSII terjun langsung, Salim memimpin di Sumatra, Sangadji di Sulawesi, sedangkan Tjokroaminoto, Kartosoewirjo, dan Suryopranoto memimpin aksi di Jawa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini