Affandi, Pelukis Revolusi yang Karyanya Abadi Dirawat oleh Zaman

Affandi, Pelukis Revolusi yang Karyanya Abadi Dirawat oleh Zaman
info gambar utama

Bulan Mei adalah bulannya Affandi, salah satu pelukis Indonesia yang namanya cukup terkenal. Affandi telah melejit hingga ke kancah internasional. Affandi merupakan seorang maestro lukisan dari Indonesia yang punya aliran gaya romantisme dan ekspresionis yang khas.

Kiprah internasionalnya terlihat tahun 1950 an, di mana Affandi banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Semasa hidup, dirinya telah melahirkan karya lebih dari 2.000 lukisan.

Latar belakang pelukis Affandi

Affandi lahir di Cirebon, 18 Mei 1907 dengan nama lengkap Affandi Koesoema. Dia merupakan putra dari R.Koesoema, seorang mantri ukur di Pabrik Gula di Ciledug, Cirebon. Semasa kecil, dia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi.

Affandi mengenyam pendidikan di HIS, MULO, dan AMS. Awalnya, dirinya menggambar untuk kesenangan saja. Namun, meski tak pernah secara serius mendalami seni rupa, teknik yang dimilikinya bagus.

Motivasinya menjadi pelukis profesional tumbuh sejak dia bersekolah di AMS Jakarta dan menumpang hidup di rumah keluarga pelukis Yudhokusumo. Di Jakarta inilah, dia mulai berlatih melukis dengan lebih serius secara otodidak.

Baca juga : Mengenal 4 Tokoh Seni Rupa Modern Indonesia, Salah Satunya Ada Kartono Yudhokusumo

Jalannya menjadi pelukis profesional tidak mulus, Affandi tak mendapat restu dari kakaknya untuk menempuh pendidikan seni rupa di Belanda. Karena itu di tahun terakhir AMS, dia memutuskan untuk hidup sendiri dan lebih serius melukis.

Dirinya sempat bekerja sebagai seorang guru. Selain itu, dia juga pernah bekerja serabutan demi mencukupi kebutuhan hidup sebagai tukang sobek karcis dan pembuat reklame di bioskop di Bandung.

Namun, pekerjaan yang dilakukan olehnya tidak bertahan lama, hal ini karena Affandi lebih tertarik di bidang seni. Menjual lukisan sebenarnya bukan hal sulit di Bandung, banyak pelukis pemandangan atau Mooi Indie yang sedang trend saat itu.

Mooi Indie (Hindia molek) menggambarkan negeri Hindia yang penuh keindahan alam, sesuai dengan selera eksotisme dunia Timur ala orang Eropa. Tetapi Affandi tak menyukai aliran Mooi Indie.

“Lukisan-lukisan tersebut kalau dijual laku lebih kurang sepuluh gulden sebuah. Tetapi Affandi tidak ingin menjadi pelukis pemandangan untuk dijual. Dia ingin melukis yang benar-benar melukis. Ingin melukis menurut kata hatinya,” tulis Suhatno dalam Dr. H. Affandi: Karya dan Pengabdiannya yang dimuat di Tirto.

Kelompok Lima Bandung

Sekitar tahun 1930-an, Affandi kemudian bergabung dalam kelompok Lima Bandung. Kelompok ini terdiri dari lima pelukis yang ada di Bandung, seperti Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, Wahdi Sumanta, dan Affandi.

Sejak bergabung dalam kelompok ini, kiprah Affandi dalam seni lukis berkembang. Dia mulai banyak menghasilkan lukisan keluarga, potret diri, dan aktivitas kehidupan sosial. Suasana kehidupan sosial yang penuh derita dan kesengsaraan mengilhami karya-karya Affandi.

Poster Bung, Ayo Bung

Pada pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, banyak pelukis yang ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok banyak bertuliskan kata-kata “Merdeka atau mati” yang diambil dari penutup pidato Bung Karno.

Pada masa sibuk itu, tidak hanya pejuang tetapi seniman juga mengambil peran, tak terkecuali Affandi. Dari tangannya terciptalah sebuah poster propaganda revolusi paling ikonik hingga kini.

Ketika itu, Presiden Soekarno meminta kepada pelukis S Sudjojono untuk membuat poster bertema patriotisme pejuang Indonesia. Poster itu rencananya akan dicetak sebanyak mungkin dan disebarkan ke seluruh penjuru Indonesia.

Sudjojono yang ketika itu menjadi organisator seniman di Jakarta menyanggupi permintaan Bung Karno. Dirinya kemudian mendelegasikan titah Bung Karno tersebut kepada sahabatnya, Affandi.

Dalam konsepnya, poster itu akan diisi dengan gambar lelaki gagah yang berteriak dengan kedua tangan terkepal dan dililit rantai yang terputus, sedangkan latar belakangnya adalah bendera merah-putih.

Dalam buku bunga rampai Riwayat yang Terlewatkan, Affandi kemudian memilih pelukis muda Dullah sebagai modelnya. Tak perlu waktu lama bagi Affandi untuk melukisnya. Hanya saja, poster ini terasa kurang karena tidak ada teks yang kuat.

Dullah, Pelukis Fenomenal Pada Zamannya

Lalu datanglah penyair Chairil Anwar yang kemudian diminta Sudjojono untuk membuat kata-kata singkat, tetapi menggugah. Kontan saja, Chairil berujar “Bung Ayo Bung”. Itulah kalimat yang didengarnya dari pekerja seks di sekitar Planet Senen.

Affandi merasa kata-kata itu cocok sebagai penyemangat, maka dituliskanlah kalimat itu di dalam poster yang kemudian diperbanyak. Setiap perupa yang membantu dibayar sebungkus nasi. Tidak sia-sia, poster ini sedemikian terkenal di daerah luar Jakarta.

“Banyak utusan daerah yang datang ke Jakarta selalu minta poster “Boeng, Ajo Boeng” untuk disebarkan di daerahnya masing-masing. Untuk memenuhi kebutuhan poster tersebut maka Walikota Jakarta Suwiryo memutuskan untuk membuat klise yang akan dicetak di percetakan,” tulis Suhatno.

Ketika ibu kota pindah ke Yogyakarta, Affandi menjadi ikut rombongan yang hijrah. Dia kemudian mendirikan sanggar Seniman Masyarakat dan Pelukis Rakyat. Dirinya juga bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) walau tak bertahan lama.

Pada tahun 1950, Affandi banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Tahun 1954, dirinya pulang ke Indonesia dan perjuangannya inilah yang menorehkan namanya dalam komunitas terhormat.

Pelukis yang abadi

Affandi semasa hidupnya telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik Asia, Eropa, Amerika maupun Australia. Lukisannya selalu memukau pecinta seni lukis dunia.

Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya.

Dalam perjalanan karirnya, Affandi memang dikenal sebagai pelukis aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga sering kali lukisannya tidak dimengerti orang lain terutama yang awam tentang dunia seni lukis.

Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali Affandi merasa bingung ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Affandi bahkan tidak mengerti saat kritisi Barat menyebut gaya lukisannya adalah sebuah corak baru bernama ekspresionisme.

Affandi malah lebih sering mengatakan dia adalah pelukis kerbau, julukan yang diakuinya karena merasa sebagai pelukis bodoh. Affandi, saat ditanya mengapa dirinya melukis pun hanya menjawabnya dengan enteng.

“Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong.”

Wow, Lukisan Karya Seniman Indonesia Laku dengan Harga Fantastis

Museum Affandi Yogyakarta

Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis layaknya orang lapar. Sampai pada posisi yang cukup tinggi di dunia lukis, Affandi hanya ingin disebut sebagai tukang gambar. Dia berdalih tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman.

Walau begitu, Affandi sempat mendirikan sendiri meseum dengan menggunakan biaya dari hasil penjualan lukisan-lukisan yang dia buat. Museum Affandi ini terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Galeri yang dia bangun berhasil diselesaikan pada tahun 1962 yang kemudian diresmikan pada tahun 1974 oleh Direktur Kebudayaan Umum Prof Ida Bagus Mantra. Lukisan ini di galeri I ini menggambarkan awal karirnya hingga selesai.

Pembangunan Galeri II dibantu orang Pemerintah Indonesia yang diresmikan tanggal 9 Juni 1988 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Fuad Hassan. Di galeri ini terdapat lukisan teman-temannya, seperti Popo Iskandar, Basuki Abdullah, dan lain-lain.

Dua tahun setelah Galeri II diresmikan, Affandi kemudian menghembuskan nafas terakhirnya, tepatnya tanggal 23 Mei 1990. Dengan adanya museum ini, karya dan jejak tintanya masih abadi dalam ingatan dunia lukis Indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini