Perdebatan Nikuba dan Pemahaman Bahan Bakar Hidrogen, Bukan Air

Perdebatan Nikuba dan Pemahaman Bahan Bakar Hidrogen, Bukan Air
info gambar utama

Beberapa waktu lalu publik dibuat heboh dengan sebuah penemuan yang dianggap visioner. Betapa tidak, seorang pria asal Cirebon bernama Aryanto Misel (67), sukses membuat kagum banyak masyarakat Indonesia karena dinilai berhasil menciptakan alat yang dapat menghasilkan bahan bakar alternatif untuk kendaraan.

Lebih tepatnya lewat sebuah alat bernama Nikuba, Aryanto mengeklaim jika alat tersebut dapat mengubah air menjadi bahan bakar kendaraan bermotor, khususnya kendaraan roda dua. Klaim tersebut juga semakin menjanjikan, karena rupanya sudah dicoba dan digunakan langsung oleh kendaraan operasional TNI Kodam III Siliwangi.

“Uji tes jalan motor 100 persen dengan bahan bakar air Anggota TNI Kodam Siliwangi keliling Kota Bandung, karya H. Aryanto Misel,” tulisnya dalam kolom kapsi video, yang memperlihatkan uji coba yang dimaksud.

Namun belakangan, kabar penemuan ini nyatanya diikuti dengan kontroversi pro dan kontra. Tak sedikit masyarakat yang skeptis dan menyatakan bahwa klaim yang diajukan kurang tepat. Alih-alih sebagai pengganti bahan bakar, alat tersebut lebih tepat disebut sebagai penghemat bahan bakar.

Bukan lagi masyarakat, ungkapan tersebut bahkan diungkapkan langsung oleh ahli dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) dan Ahli Konversi Energi asal ITB, yang menjelaskan lebih jauh proses konversi air menjadi ‘bahan bakar’ yang dimaksud, dari segi ilmiah.

Proporsi Jumlah Konsumsi Bahan Bakar Kendaraan di Indonesia

Klaim nikuba

Menurut keterangan pembuat Nikuba yang banyak dimuat dalam berbagai pemberitaan nasional, alat tersebut diklaim dapat mengubah 1 liter air menjadi hidrogen, dan mampu membuat sepeda motor dapat menempuh perjalanan pulang-pergi antara Cirebon-Semarang.

Jika diperhitungkan, antara Cirebon-Semarang kurang lebih berjarak sekitar 235 kilometer, yang artinya jika ditotal, maka 1 liter air dapat menembuh perjalanan hingga 470 kilometer.

“Kalau kita bicara Nikuba, ini bukan sebagai penghemat BBM lagi, tapi full ini 100 persen dari air," tegas Aryanto, mengutip Detik.com.

Sementara itu di saat bersamaan, Aryanto sendiri juga mengungkap jika proses konversi yang dimaksud adalah mengubah air menjadi hidrogen, dengan melalui proses kimia yang dinamakan elektrolisis.

Sekadar informasi, elektrolisis sendiri adalah proses pemanfaatan arus listrik untuk mengubah zat yang mengandung elektrolit dalam hal ini air. Air sendiri selama ini dikenal memiliki rumus senyawa kimia H2O.

Saat mengalami proses elektrolisis--dengan bantuan listrik, senyawa air diurai menjadi Hidrogen dan Oksigen. Maka selanjutnya, hidrogen itu lah yang dalam dunia otomotif memang sudah dikenal sebagai jenis bahan bakar alternatif, yakni bahan bakar hidrogen. Jadi bukan airnya secara langsung yang digunakan sebagai bahan bakar.

Tantangan Dekarbonisasi dan Pilihan Bahan Bakar Alternatif yang Ideal

Kata para ahli

Melihat konsep tersebut, cara kerja alat nikuba yang dimaksud langsung mengundang pandangan dari para ahli. Untuk bisa menjalankan proses elektrolisis guna mengubah air, diperlukan kandungan zat-zat kimia lain yang cenderung lebih mahal, seperti litium, natrium, atau listrik yang biasanya mengandalkan energi listrik dari aki.

Pada akhirnya, klaim energi alternatif air akan sama saja atau bahkan lebih mahal dibanding bahan bakar kendaraan biasa. Eniya Listiani Dewi, selaku profesor riset dari BRIN menyebut jika alat yang dibuat Aryanto tidak bisa menggantikan konsumi BBM, melainkan hanya untuk efisiensi.

“Itu adalah HHO atau brown-gas yang digunakan untuk pembakaran, bukan pengganti BBM ya, tapi bisa untuk efisiensi BBM sekitar 3-20 persen,” tegasnya.

Di lain kesempatan, Tri Yuswidjajanto Zaenuri selaku Ahli Konversi Energi asal ITB memaparkan hal lebih rinci mengenai fakta alat nikuba yang banyak diberitakan. Menurutnya, teknologi satu ini bukan hal baru, melainkan penemuan yang sudah lama ada tepatnya sejak tahun 1960-an.

“Itu (teknologi) sudah lama banget. Coba lihat saja di (situs jual beli) Tokopedia, tulis ‘Joko Energy’, keluar semua alatnya itu. Jadi yang ngembangin udah banyak. Termasuk (tutorialnya) di Youtube, juga udah banyak banget,” ungkapnya, mengutip Detikoto.

Lebih jauh, Yuswidjajanto juga menyebut jika penggunaan teknologi ini tidak akan pernah bisa menggantikan bensin. kalaupun digunakan dalam waktu lama, dirinya mengungkap akan ada dampak kerusakan yang dialami oleh mesin.

Karena pada dasarnya, mengubah air untuk menjadi hidrogen dalam sistem pembakaran mesin kendaraan bermotor sangat tidak efisien. Hal tersebut lantaran energi listrik yang diperlukan untuk proses elektrolisis air menjadi hidrogen, lebih besar ketimbang energi pembakaran hidrogen menjadi bahan bakar di mesin.

“Lama-lama aki bisa tekor karena secara keseimbangan energi tidak cukup. Lebih besar untuk memproduksi dari pada yang berguna. Jadi tak hanya butuh aki, tapi juga tetap butuh bensin,” jelasnya lagi.

Meski begitu, dalam kesempatan lain Yuswidjajanto mengaku sangat menanti kesempatan untuk melakukan penelitian secara bersama terhadap alat nikuba bersama pembuatnya. Terlebih, Aryanto mengaku telah menemukan sendiri katalis yang dapat melancarkan proses elektrolisis yang belum ada di pasaran.

"Dalam hal ini saya sangat ingin mengajak diskusi penemu Nikuba untuk sama-sama menghitung, sehingga bisa disampaikan kepada masyarakat," ujar Yuswidjajanto.

Perwujudan Beralih Dari Bahan Bakar Fosil ke Biodiesel Semakin Nyata

Hidrogen yang belum terlalu efisien sebagai bahan bakar

Sementara itu bicara lebih jauh mengenai bahan bakar hidrogen. Jika memang pada akhirnya tujuan mengelektrolisis air pada alat nikuba yang dimaksud adalah untuk memperoleh hidrogen sebagai bahan bakar alternatif, nyatanya ada pilihan lebih praktis yakni dengan langsung menggunakan kendaraan dengan mesin yang menggunakan bahan bakar hidrogen.

Meski nyatanya, penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar alternatif sendiri belum dihadirkan dalam produk secara massal, terutama jika dibandingkan dengan kendaraan listrik. Hal tersebut lantaran infrastruktur atau sistem transmisi kendaraan listrik sudah jauh lebih banyak tersedia di seluruh dunia.

Sedangkan bagi bahan bakar hidrogen, untuk saat ini sendiri masih dikembangkan infrastruktur perpipaan aliran hidrogen sebagai bahan bakar dalam mesin. Karena sebelumnya, pilihan yang diaplikasikan adalah menampung hidrogen dalam bentuk gas pada kendaraan dalam sebuah tangki khusus.

Yang mana hal tersebut dinilai kurang efisien karena memiliki sejumlah kekurangan seperti biaya yang besar hingga risiko kebocoran gas hidrogen yang bisa menimbulkan ledakan.

Sama seperti penjelasan di atas, dalam The Conversation,juga dijelaskan bahwa elektrolisis untuk menghasilkan bahan bakar hidrogen cenderung memiliki ketidak-efisienan yang lebih besar. Sejauh ini, pabrikan otomotif yang memiliki kendaraan berbahan bakar hidrogen adalah Toyota lewat Toyota Mirai.

Sementara itu produk dari pemain lain misalnya Hyundai Nexo, juga belum dipasarkan secara meluas karena masih adanya beberapa kendala. Bahkan pada bulan April lalu, Hyundai melakukan recall kepada para pemilik mobil tersebut karena adanya masalah kebocoran hidrogen.

Usia lebih pendek bahkan dialami oleh Honda Clarity yang mengakhiri produksi pada tahun 2021 lalu. Meski begitu, sampai saat ini juga masih ada sejumlah pabrikan otomotif yang dikenal akan visi energi bersih, yang masih mengembangkan dan memecahkan permasalahan efisiensi kendaraan berbahan bakar hidrogen, salah satunya Tesla.

Intinya dari perdebatan mengenai alat pengubah bahan bakar alternatif bernama nikuba, bukan air yang dijadikan sebagai bahan bakar melainkan hidrogen yang dihasilkan lewat proses elektrolisis. Yang mana dalam industri otomotif sendiri, proses elektrolisis dan hidrogen masih dipandang belum efisien dibanding kendaraan listrik, karena masih memiliki sejumlah kekurangan dan risiko.

Mencermati Peta Jalan Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

Terima kasih telah membaca sampai di sini