Dengan Inovasi Ini, Tumpukan Sampah Bisa Diubah Jadi Sumber Energi

Dengan Inovasi Ini, Tumpukan Sampah Bisa Diubah Jadi Sumber Energi
info gambar utama

Selain sandang, pangan, papan, kehidupan manusia juga tak lepas dari kebutuhan akan energi. Ada begitu banyak aspek dalam kehidupan yang membutuhkan energi, mulai dari memasak, menerangi rumah, berkendara, hingga sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, dan perekonomian.

Hingga saat ini, dunia masih bergantung pada energi tak terbarukan yaitu energi fosil. Sayangnya penggunaan energi fosil dapat merusak lingkungan karena limbah yang dihasilkan, membuat bumi diracuni polusi, hingga meningkatkan emisi gas rumah kaca. Di sisi lain, energi fosil juga punya keterbatasan cadangan dan tidak bisa diperbarui.

Maka dari itu, pengembangan energi terbarukan menjadi hal yang sangat penting karena ketersediaannya cenderung melimpah, tidak menghasilkan polusi dan emisi karbon, dan bisa dimanfaatkan serta diperbarui terus-menerus.

Berbagai pihak termasuk ilmuwan, peneliti, hingga pemerintah terus berupaya mencari solusi alternatif bagi sumber energi yang ramah lingkungan demi mengurangi penggunaan fosil. Salah satunya dengan memanfaatkan sampah, mulai dari inovasi energi baru dan terbarukan berbasis sampah organik, pembangkit listrik tenaga sampah, hingga penggunaan teknologi co-firing.

Tumpang Tindih Energi Fosil dan Energi Terbarukan dalam RUU EBT

Inovasi energi baru dan terbarukan berbasis sampah organik

 Utilization of Pistia stratiotes L. Biogas As Renewable Energy Source | Dok Universitas Indonesia
info gambar

Tim mahasiswa Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) yang terdiri dari Ermita Rizki Umaya, Balqis Jihaan Nabila Budi, Margaretta Elsa Damayanti, Nalia Atalla Ramadhieni, dan Syahira Andini, telah menghasilkan inovasi energi baru dan terbarukan berbasis sampah organik dari tanaman selada air (Pistia stratiotes).

Inovasi tersebut dituangkan ke dalam sebuah paper lmiah berjudul "Utilization of Pistia stratiotes L. Biogas As Renewable Energy Source" dengan pendekatan alternatif berupa energi terbarukan dapat menjadi solusi, salah satunya dengan menggunakan biogas dari biomassa tanaman.

Diketahui kandungan hemiselulosa P. stratiotes dapat berperan sebagai substrat dalam proses fermentasi, sehingga menghasilkan gas metana (CH4) yang merupakan komponen utama biogas. Penelitian terkait produksi biogas menggunakan P. stratiotes memang bukan sesuatu yang baru. Sejak tahun 1980, penelitian tersebut terus mengalami perkembangan, terutama tentang potensi serta metode produksinya mana yang terbaik.

“Penelitian yang kami lakukan ini berupa review studi-studi terdahulu dan bertujuan untuk mendapatkan informasi yang cukup untuk aplikasi P. stratiotes dalam produksi biogas di skala besar,” ujar Saifudin, M.Si., pembimbing tim mahasiswa yang juga merupakan dosen dengan kepakaran botani.

Menurut Saifudin, pembentukan biogas dengan P. stratiotes sebagai bahan dasar diawali dengan pre-treatment untuk menghilangkan pengotor. Setelah itu akan dilakukan proses anaerobic digestion yang merupakan serangkaian proses fermentasi.

Proses ini dapat dilakukan dengan berbagai variasi metode, yakni batch, continuous, photofermentation, separate hydrolysis and fermentation (SHF), dan semi-batch. Proses-proses tersebut akan menghasilkan produk utama biogas, yakni gas metana, karbon dioksida, dan produk sampingan lainnya.

“Di antara kelima metode tersebut, tim menyimpulkan bahwa semi-batch lah yang merupakan metode paling baik dalam menghasilkan biogas untuk aplikasi skala besar. Selain aplikatif, kami menilai metode semi-batch dapat memenuhi nilai keekonomian sehingga tidak membebankan masyarakat jika nanti gas yang diproduksi sudah siap didistribusikan,” ujarnya.

Pohon Bintaro, Tanaman Beracun yang Dapat Dikembangkan Menjadi Energi Alternatif

Pembangkit listrik tenaga sampah

PLTSa Bantar Gebang | Dok. BRIN
info gambar

Sebagai salah satu solusi pengolahan sampah menjadi sumber listrik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengenalkan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) yang akan bermanfaat bagi masyarakat.

Plt. Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi, Mego Pinandito mengatakan bahwa jumlah sampah di Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahun. Ditambah lagi sebagian besar tempat penampungan sampah sudah mulai melebihi kapasitas dan mencari lokasi penampungan sampah yang baru masih dirasa sulit.

“PLTSa merupakan salah satu hasil riset yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang sekarang terintegrasi dengan BRIN,” jelas Mego.

PLTSa hasil kerja sama BRIN dengan Pemerintah Provinsi DKI merupakan pilot proyek yang dapat mengelola sampah secara termal. PLTSa didesain untuk beroperasi secara kontinyu dan menghasilkan listrik. Dalam sehari bahkan mampu membakar sampah 100 ton dan menghasilkan energi listrik sebesar 700 KW.

“PLTSa ini wujud dari keberhasilan anak bangsa dalam menghasilkan produk fasilitas pengolahan sampah dengan kandungan lokal yang sangat tinggi, sehingga pilot proyek ini dapat diterapkan di daerah lain,” ujarnya.

Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi (PRKKE) BRIN juga telah mendapatkan hak paten untuk salah satu inovasi riset mereka yaitu Lashamor. Lashamor merupakan alat pengolahan sampah organik yang dapat digunakan pada lingkup rumah tangga.

Cara kerja alat tersebut yaitu mengolah sampah organik basah rumah tangga menjadi kompos dalam waktu 2 minggu, tanpa bau, mudah digunakan, dapat dipasang di sekitar rumah, hasil pengolahan tidak menghasilkan gas CH4, dan tidak memerlukan aditif tambahan ketika proses kecuali kompos jadi 10 kg untuk starter.

RUPTL Resmi Dirilis, Porsi Pembangkit EBT Diperbesar Demi Dukung Transisi Energi Hijau

Co-firing sebagai bahan bakar energi baru terbarukan

Sampah di pantai | Wikimedia Commons
info gambar

Pada April 2022 lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak bekerja sama dengan PT Kusuma Jaya Agro untuk pengolahan sampah dan co-firing sebagai bahan bakar energi baru terbarukan. Menurut keterangan Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono, dalam kerja sama ini Pemkot Pontianak akan menyediakan lahan untuk pembangunan pabrik co-firing maupun kebutuhan lainnya berdasarkan kesepakatan yang dibuat.

Edi juga menjelaskan bahwa kerja sama ini sangat membantu pihak Pemkot dalam mengatasi persoalan sampah di Pontianak yang terus membludak dan sulit ditangangi. Bahkan, produksi sampah di Pontianak mencapai 400 ton per hari dan bisa meningkat saat masuk musim buah, seperti rambutan dan durian. Keberadaan bak sampah yang ada juga masih belum bisa mengolah seluruh sampah yang dihasilkan.

Solusi masalah sampah menjadi co-firing atau produk energi baru terbarukan ini tak hanya akan menghilangkan sampah, tetapi juga menciptakan produk bahan bakar pengganti batu bara sehingga bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik yang ada di Kalimantan Barat.

Rencananya pabrik co-firing akan dibangun di lokasi TPA Batu Layang. Nantinya sampah-sampah sisa makanan dan plastik akan diolah di pabrik co-firing dan hasil dari pengelolaan sampah ditujukan untuk mendukung pembangkit listrik yang ada di Singkawang. Untuk pengolahan sampah pun sudah ramah lingkungan karena tanpa B3 dan bisa terbakar.

Menurut penjelasan Mochamad Soleh, Head of Research Innovation and Knowledge Management PT Indonesia Power, jika dibandingkan energi yang dihasilkan, satu ton sampah yang diolah menjadi bahan bakar akan menghasilkan 300 kilogram bahan bakar dengan nilai sekitar 3.400 kilokalori perkilogram.

"Jadi dari satu ton sampah terjadi penyusutan karena termasuk sampah basah, menjadi bahan bakar yang sudah kering seberat 300 kilogram. 300 kilogram ini nilai kalorinya 3.400 kilokalori per kilogram, itu jumlah minimalnya," jelasnya.

Melihat Potensi Besar Energi Terbarukan Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini