Borobudur, A Walk To Remember

Fauzan Luthsa

Berlatar belakang jurnalis ekonomi dan politik, saat ini aktif sebagai pengamat kebijakan publik, terkait ekonomi dan sosial.

Borobudur, A Walk To Remember
info gambar utama

Candi Borobudur tengah jadi buah bibir dunia maya. Rumah ibadah umat Buddha ini merupakan yang terbesar di dunia. Kali ini masyarakat ramai oleh wacana kenaikan harga tiket masuk sebesar Rp750 ribu dan pelajar Rp50.000.

Banyak yang keberatan. Banyak yang pro kontra. Tapi saya mencoba melihat dari sisi lain.

Biaya perawatan dan operasional candi Borobudur per tahunnya bisa mencapai Rp3 miliar. Jika biaya pertahun ini termasuk ongkos pegawai dan listrik, jumlahnya jelas tidak cukup.

Merawat bangunan yang selesai dibangun tahun 825 Masehi ini jelas tidak seperti menangani rumah hunian. Perawatannya detail, untuk membersihkan debu dan lumutnya saja butuh bahan khusus agar tidak merusak tekstur batu yang sudah berusia 1197 tahun. Bahannya jelas tidak seperti kita membeli pembersih rumah di depo bangunan atau mitra 10.

Herannya, kok kita lebih banyak terpaku pada wacana biaya tiketnya saja, bukan ke fungsi dan kondisi candi bersejarah ini. Saat ini Candi berpotensi mengalami kerusakan karena banyak pengunjung yang naik ke atas--stupa candi. Jenis kerusakannya seperti pengikisan lapisan batu dan bentuk lainnya.

Itu dari sisi kondisi. Dari sisi fungsi, sebagai menjadi warisan dunia, image candi Borobudur sebagai tempat ibadah umat Buddha juga mesti dikembalikan. Karena secara top of mind, masyarakat lebih mengenalnya sebagai tempat wisata. Atmosfir reliji dikawasan tersebut sebaiknya dipelihara.

Kita hampir kehilangan Borobudur

Bukan clickbait, ini serius.

Indonesia pernah berduka karena warisan dunianya pernah di bom pada 21 Januari 1985 yang mengakibatkan 9 stupa hancur dan 2 patung Buddha rusak. Kita pun membangun ulang kerusakan tersebut.

Tak terbayangkan jika bomnya berkekuatan amat besar yang mampu menghancurkan candi. Dan semua umat beragama di Indonesia menunjukan dukungan untuk renovasi kerusakan. Ini bukti keberagaman Indonesia cukup kuat.

Kembali ke soal tiket, saya menangkap pesan pelestarian candi dengan cara yang tidak populer. Tapi mesti dilakukan. Walau feeling saya wacana tiket ini akan direvisi karena terlanjur menimbulkan kegaduhan.

Candi Borobudur sudah terlanjur amat tenar sebagai destinasi wisata liburan, apalagi di pertengahan tahun bertepatan dengan libur sekolah. Hampir pasti kawasan ini akan dipadati wisatawan domestik. Cara ampuh mengendalikan kunjungan hingga 1.200 orang per hari, ya dengan tarif yang tinggi. Orang akan berfikir ulang.

Kekhawatiran pihak bahwa candi Borobudur nanti akan dilupakan oleh masyarakat dan generasi muda, tidak salah. Pendapat ini harus diperhatikan. Di sinilah fungsi utama negara. Mencari solusi terbaik tanpa harus mengorbankan candi.

Jadikan saja candi Borobudur sebagai destinasi wisata ekslusif, seperti kawasan Raja Ampat. Kita tidak bisa berlibur kesana dengan uang pas-pasan. Tak heran Raja Ampat pelestarian lingkungannya terjaga karena tak ada kunjungan berbondong-bondong yang memadati wilayah tersebut.

Jika kita menolak pengendalian jumlah kunjungan ke Candi Borobudur, kita bisa menganalogikan dan membayangkan apa yang terjadi dengan bendera pusaka merah putih yang dijahit first lady Fatmawati jika bendera aslinya dipamerkan terbuka untuk umum setiap hari?

Solusi mengingat tanpa merusak

Buat saya, momentum diskursus ini dapat menjadi terobosan bagi pemerintah. Caranya, buat saja selengkap mungkin wisata virtual candi Borobudur sebagai bahan ajar siswa sekolah dan masyarakat umum. Dan gunakan metaverse untuk “wisata imajiner” Candi Borobudur.

Jangan sampai masyarakat kita tercerabut dari akar sejarahnya dan jangan pula warisan sejarah berharga ini terancam bangunan aslinya karena akomodatif terhadap keinginan berwisata. Jadi yes, saya setuju agar warisan dunia ini tetap lestari!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Fauzan Luthsa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Fauzan Luthsa.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

FL
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini