Dipati Ukur, Perjalanan Hidup Pemberontak yang Ditumpas oleh Mataram

Dipati Ukur, Perjalanan Hidup Pemberontak yang Ditumpas oleh Mataram
info gambar utama

Dipati Ukur, bagi sebagian warga Jawa Barat tentulah tidak asing bila mendengar nama tersebut. Meskipun banyak juga yang tidak mengenal karena berselimut misteri, siapa sebenarnya tokoh tersebut?

Pengabadian nama tersebut sebagai salah satu jalan utama di Bandung menjadikannya tokoh terhormat. Walau begitu ada juga yang menyebut sosok ini sebagai pemberontak dari penguasa Tanah Jawa saat itu, Mataram Islam.

Dipati Ukur bernama asli Wangsanata yang berasal dari Kerajaan Jambu Karang yang berlokasi di Purbalingga, Banyumas, Jawa Tengah. Dia merupakan keturunan Sunan Jambu Karang yang saat itu masih beragama Buddha.

Dia terpaksa menyingkir ke wilayah Priangan karena daerah leluhurnya itu dikuasai oleh Panembahan Senopati dan hegemoninya itu terus berlanjut hingga para keturunannya. Mereka kemudian berpindah ke Tatar Ukur yang dikuasai Adipati Ukur Agung.

Institut Pasteur Dr Sardjito dan Perjuangan Tenaga Kesehatan bagi Kemerdekaan

Lasmiyati dalam artikel berjudul Dipati Ukur dan Jejak Peninggalannya di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung (1627-1633) menyebut bahwa Ukur memiliki wilayah yang sangat luas dan mencangkup sejumlah kabupaten di Jawa Barat saat ini.

Menurutnya, wilayah yang ada dalam kekuasaan Dipati Ukur meliputi Sumedang Larang, Karawang, Pamanukan, Ciasem, Indramayu, Sumedang, Sukapura, Limbangan, dan Timbanganten.

Di Ukur, Wangsanata berkembang menjadi pemuda yang giat, tekun, dan lincah. Kelebihan yang dimiliki pemuda ini tidak hanya menarik perhatian Adipati Ukir Agung, namun juga menarik cinta putri sang adipati.

“Tidak ingin kehilangan kesempatan, penguasa Tatar Ukur itupun segera menikahkan putrinya dengan Wangsanata,” tulis Tendy Chaskey dalam Dipati Ukur dan Perjalanan Hidupnya yang Mengesankan.

Semenjak itu, posisi Wangsanata di Kerajaan Ukur semakin kuat. Ketika mertuanya tutup usia, dirinya kemudian naik tahta menggantikannya. Dengan posisinya itu, Wangsanata kemudian dikenal sebagai Dipati Ukur, penguasa Tatar Utur.

Berperang melawan Belanda

Ekspansi wilayah yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah menyerang Banten. Akan tetapi untuk menyerang Banten, mereka terhalang oleh keberadaan VOC di Batavia yang sedang membuat benteng pertahanan.

Karena itulah, Dipati Ukur yang telah diangkat oleh Sultan Mataram sebagai bupati wedana di Priangan, diminta untuk mengusir VOC di Batavia. Guna menyerang VOC, Sultan Agung melakukan berbagai persiapan disebabkan jalan yang harus dilalui belum memadai.

Pada 1628, Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur dan Bahureksa untuk menggempur VOC di Batavia. Dalam perjanjian awal, pasukan Dipati Ukur akan digabungkan dengan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Bahureksa di Karawang.

Usai perjanjian tersebut, Dipati Ukur membawa 10.000 prajurit pilihan dari sembilan umbul. Mereka pergi dari Tatar Ukur, kemudian melewati Cikao -Sekarang Purwakarta- kemudian membelok ke arah Utara sampai ke Karawang.

Dalam rangka mengusir VOC di Batavia, Dipati Ukur sudah terlebih dahulu tiba di Karawang dibandingkan dengan rombongan Bahureksa. Setelah menunggu sekitar tujuh hari, rombongan Bahureksa belum juga datang.

Dengan pertimbangan kekuatan VOC tidak begitu besar, Dipati Ukur dan rombongan merasa yakin bisa mengalahkannya. Setelah ditunggu hingga esok harinya, rombongan Bahureksa belum tiba, rombongan Dipati Ukur akhirnya pergi ke Batavia.

Aku Sangat Muda, Aku Sulut "Bandung Lautan Api" di Tanah Sunda

Sesampai di Batavia, dirinya mengatur strategi dan siasat penyerangan. Kompeni yang mendapat serangan mendadak menjadi panik, namun akhirnya mereka bisa menguasai keadaan dan mempersiapkan diri untuk bertempur.

Pada 11 September 1628, Pasukan Dipati Ukur mulai menggali garis pertahanannya ke arah depan mendekati Kota Batavia. Garis pertahanan ini diperkuat dengan kayu dan tumpukan tanah. Pembangunan garis pertahanan ini memakan waktu setengah bulan.

Pada 12 September 1628, secara mendadak VOC membalas serangan ke arah garis pertahanan pasukan Dipati Ukur. Atas serangan VOC, pasukan Dipati Ukur bergerak mundur dari garis pertahanan.

“Garis pertahanan Dipati Ukur tersebut dirusak oleh VOC. Dari pertempuran tersebut, prajurit Dipati Ukur kewalahan dan banyak yang gugur,” jelas Lasmiyati.

Kekalahan Dipati Ukur disebabkan kondisi senjata yang tidak seimbang. Akhirnya pasukan Dipati Ukur mundur ke Gunung Pongporang. Sejak kekalahan tersebut Dipati Ukur memutuskan untuk tidak mau lagi mengabdi kepada Mataram.

Dieksekusi Mataram

Di Mataram, Bahureksa melapor ke Sultan Agung atas kekalahannya dalam melakukan penyerangan ke Batavia. Dia juga menceritakan, ketika sampai di Karawang hingga selesai melakukan penyerangan, dia tidak menemukan Dipati Ukur.

Dirinya beranggapan bahwa kekalahan tersebut akibat dari kurangnya kekuatan. Kekalahan Bahureksa dalam melakukan penyerangan kepada VOC membuat Sultan Mataram kecewa. Kekecewaan ini bertambah ketika keempat umbul melaporkan kekalahan Dipati Ukur.

Karena kekecewaan tersebut, Sultan Agung mengutus Bahureksa untuk menangkap Dipati Ukur. Adapun keempat umbul tersebut dijadikan sebagai penunjuk jalan. Karena pasukan Bahureksa jumlahnya lebih banyak, pasukan Dipati Ukur terdesak.

Dipati Ukur dan pengikutnya berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Gunung Lumbung, masuk daerah Batulayang Bandung. Di Gunung Lambung, Dipati Ukur diikuti oleh pengikutnya sebanyak 1.000 orang.

Pada saat Dipati Ukur bersembunyi di Gunung Lumbung, pasukan Mataram melakukan penyerangan. Pasukan Dipati Ukur pun membalas perlawanan tersebut. Pasukan Mataram tidak dapat menahan balasan serangan itu, sehingga Dipati Ukur terselamatkan.

Untuk mengelabui kejaran pasukan Mataram, pengikut Dipati Ukur membuat gundukan tanah yang menyerupai kuburan. Gundukan tersebut oleh pengikutnya diberi nama Wangsanata dari Priangan.

Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api

A Setiawan dalam Dipati Ukur Ksatria dari Pasundan menyebut hal ini dilakukan agar pasukan Mataram mengira bahwa Dipati Ukur telah mati terbunuh. Dengan demikian masyarakat beranggapan bahwa makam Dipati Ukur ada di beberapa tempat.

N,J Krom dalam buku Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (1914) menyebut setelah terdesak dan berhasil ditangkap. Dipati Ukur kemudian dibawa ke Mataram dan dihukum mati oleh orang-orang Sunda sendiri.

Menurut Karel Frederik Holle, penangkap Dipati Ukur adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala), dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita).

Sedangkan dalam Naskah Dipati Ukur yang ada di Leiden dan ditulis oleh R.A Sukamandara, disebutkan bahwa sang dipati ditangkap oleh pasukan yang dipimpin oleh Adipati Kawasen, Bagus Sutapura.

Cerita tutur mengenai Dipati Ukur sangat banyak ragamnya. Hingga kini, tokoh yang termasyhur di wilayah Priangan ini masih gelap dan diliputi misteri. Sejumlah tempat di Priangan pun diyakini sebagai petilasan Dipati Ukur dan kerap diziarahi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini