Memori Landhuis Pondok Gede, Rumah Mewah yang Kini Telah Lenyap

Memori Landhuis Pondok Gede, Rumah Mewah yang Kini Telah Lenyap
info gambar utama

Pondok Gede merupakan sebuah kawasan yang cukup terkenal. Hal ini karena menjadi tempat para jamaah calon haji, khususnya wilayah DKI Jakarta dan Provinsi Banten transit sebelum berangkat ke Tanah Suci.

Pondok Gede merupakan perbatasan antara Bekasi dan Jakarta. Secara administratif, Pondok Gede adalah sebuah kecamatan di Kota Bekasi. Awalnya Pondok Gede merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Bekasi sebelum masuk ke dalam wilayah Kota Bekasi.

Pondok Gede mencakup wilayah Pondok Melati, Jatiwaringin, Jatiwarna, Jatiasih, Jatimakmur, Jatibening, Jatikarya, dan beberapa wilayah Jakasampurna di Bekasi. Namun, bagaimana asal usul nama Pondok Gede?

Zaenuddin HM Menjelaskan dalam bukunya 212 Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe. Menyebut tempat itu ternyata tidak terkait dengan pondok calon jamaah haji. Sebab tempat tersebut memiliki sejarah unik sebagai kawasan tempat menetapnya orang China.

Kampung Pondok Gede memang tidak terlepas dari pengembangan lahan-lahan perkebunan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hal ini didorong meningkatnya komoditas gula di pasar internasional menggantikan rempah-rempah.

Upaya ini memaksa pemerintah kolonial VOC untuk melibatkan kelompok masyarakat dalam pengelolaan tanaman tebu, khususnya orang-orang China di Batavia. Orang China selain dikenal pekerja keras, juga memiliki teknologi pengolahan tanaman tebu.

Teknologi ini berupa alat penggilingan tebu, berupa rotasi batu silindris yang digerakkan oleh tenaga sapi atau kerbau, yang disebut oleh orang Belanda Suikermolen. Kemampun inilah yang mendorong orang China datang ke Ommelanden – wilayah luar kota Batavia –.

Jalan di Jakarta Diganti Nama Tokoh Betawi, Sudahkah Melalui Kajian?

“Bahkan Ommelanden secara sempit diartikan sebagai tempat para pembuat gula China dan lahan perkebunan Eropa,” tulis Gusman J Nawi dalam Pondok yang Gede di Kampung yang Kecil yang dimuat di Sejarah Jakarta, Sabtu (25/6/2022).

Untuk memenuhi sarana tempat tinggal para kuli yang bekerja di perkebunan, para tuan tanah mengubah fungsi bangunan bersekat-sekat menyerupai rumah kecil yang mereka sebut pakhuis atau gudang penyimpanan hasil perkebunan,

Tempat ini akan menjadi rumah tinggal para kuli pribumi yang disebut sebagai pondok. Karena itulah, daerah perkebunan swasta milik para tuan tanah ini sering kali ditemukan di kampung-kampung yang diawali dengan nama pondok.

Pondok-pondok yang berdiri berdekatan dan hampir menyatu menjadi satu bangunan besar ini oleh tuan tanah Belanda disebut huisvesting (perumahaan), sementara para kuli pribumi pekerja perkebunan menyebutnya dengan nama Pondok Gede.

Asal nama Pondok Gede

Gedung besar atau Landhuis Pondok Gede itu dibangun pada 1775. Bangunan ini sangat panjang dengan atap yang besar. Lantai keduanya pernah dibongkar dan atapnya diperpanjang lagi karena disesuaikan dengan bagian belakang.

Lantai satu dibangun dalam gaya Indonesia terbuka dengan serambi pada ketiga sisinya (joglo). Sementara bagian depan yang bertingkat dua, dibangun gaya tertutup Belanda. Rumah kombinasi dua gaya ini dahulu sangat lazim pada rumah-rumah tuan tanah.

Adolf Heuken dalam bukunya Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta menulis interior rumah ini pernah menunjukkan cita rasa tinggi. Plesteran terdapat pada beberapa ruangan dan serambi, ditambah aneka hiasan pada pintu dan kusen jendela.

“Karena bagunan ini cukup besar, warga sekitar sering menyebutnya dengan ‘Pondok yang Gede’ yang lambat laun hanya disebut dengan Pondok Gede,” tulisnya.

Namun menurut Gusman J Nawi, dalam Mengenang Landhuis Pondok Gede menyebut bahwa penyebutan nama pondok gede sudah ada jauh sebelum dibangunnya pasar dan Landhuis Pondok Gede.

Hal ini berdasarkan resolusi Gubernur Jenderal Gustaaf Baron van Imhoff tertanggal 1 Februari 1746 yang memberikan izin penyelenggaraan pasar di hari rabu (Pasar Rebo). Penyelenggara pasar itu adalah Pieter van De Velde.

“Pemilik lahan Pondok Gede di Bekasi dan Kapitein Jawa penguasa wilayah timur, Soetawangsa,” tulisnya.

Kesejukan Taman Suropati, Tempat Rekreasi Favorit dari Zaman Kompeni

Keberadaan pasar dekat dengan Landhuis sebagai tempat tinggal tuan tanah. Hal ini berfungsi sebagai tempat menjual hasil perkebunan yang dikelola oleh para tuan tanah. Van De Valde salah satunya yang pernah tinggal di kawasan Pondok Gede ini.

Setelahnya kawasan ini ditinggali oleh seorang pendeta, Johannes Hooyman (1741-1789). Dirinya menginjakkan kaki di Batavia pada tahun 1765 dan bekerja sebagai pendeta di pemerintahan kolonial Belanda.

Pada tahun 1778, dia menjadi anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Ikatan Seni dan Ilmu Pengetahuan Belanda). Lalu dirinya diberikan sebidang lahan oleh VOC di Bojong Nangka.

Hooyman kembali diberikan lahan perkebunan di Pancallang Oeringing (Pangkalanoeringin). Di lahan perkebunan itu dia mengembangkan perkebunan karet, tebu, indigo/pohon nila dan sarang burung walet.

Namun kisah tragis mengakhiri perjalanan sang pendeta, Hooyman tewas ditembak oleh seorang yang tidak dikenal di depan Landhuis Pondok Gede pada 20 Juni 1789. Setelahnya Landhuis ini terus berpindah tangan.

Bangunan yang lenyap

Pada tahun 1800, bangunan ini dibeli lengkap dengan sebidang tanah luas di sekitarnya oleh Lendeert Miero alis Juda Leo Ezekiel. Dirinya adalah seorang Yahudi Polandia yang dikenal sebagai orang kaya raya.

Dirinya ketika datang pertama kali ke Batavia pada tahun 1775, keadaannya sebenarnya lontang lantung. Miero adalah seorang pria miskin yang menjadi prajurit kecil di Kerajaan Hindia Belanda.

Dirinya menyembunyikan identitas sebagai Yahudi, karena Belanda saat itu dinahkodai oleh dua perusahaan eksploitasi terbesarnya VOC dan the Dutch West India Company (WIC) yang melarang adanya bangsa Yahudi untuk bekerja.

Namun segalanya berbalik setelah Belanda mengizinkan Yahudi berkongsi dalam perekonomian dan pemerintahan mereka. Nasib Miero mulai berubah drastis, dia bisa membangun kerajaan bisnisnya.

Dirinya memiliki toko di Molenvliet West, sekarang menjadi kawasan Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, serta satu rumah mewah yang kini menjadi Gedung Arsip Nasional. Dari hasil berdagang inilah dia bisa membeli sebidang tanah luas dengan rumah besar milik Hooyman.

Miero meninggal dalam usia 79 tahun dan dimakamkan di samping rumahnya di Pondok Gede. Tetapi makam itu dibongkar dan dijadikan rumah hunian penduduk. Bahkan nisannya pun dicongkel untuk pondasi rumah.

Misteri Hantu Toko Merah: Saksi Peristiwa Berdarah Geger Pecinan di Batavia

Harta-hartanya pun diwariskan kepada anak-anaknya. Jauh setelah dirinya meninggal, satu persatu hartanya terbagi-bagi dan terjual ke pihak lain. Termasuk tanah dan rumah gedong di Pondok Gede.

Survei arkeologi pernah dilakukan pada Januari 1988. Dari survei ini diketahui bahwa luas tanahnya tersebut mencapai 325 hektare, di mana semula tanah yang luas ini merupakan perkebunan sereh.

Setelahnya kawasan ini berpindah tangan ke CV Handel yang dijadikan perkebunan karet. Pada 1946, tempat ini lagi-lagi berpindah tangan ke NV Pago Rado dan pada 1962 dibeli oleh TNI AU (Inkopau).

Sampai 1992, bangunan itu masih ada. Awalnya direncanakan bangunan kuno itu akan dilestarikan bahkan menjadi sentra dari taman rekreasi. Namun semuanya berubah karena kepentingan ekonomi.

Pada tahun 1992, bangunan bersejarah itu dirobohkan untuk dijadikan mall, yang sekarang dikenal sebagai Mall Plaza Pondok Gede. Bangunan sejarah ini kemudian lenyap, namun namanya masih terkenang sebagai nama Kampung Pondok Gede.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini