Dyah Wiyat dan Kisah Cinta Segitiga dalam Intrik Kekuasaan di Majapahit

Dyah Wiyat dan Kisah Cinta Segitiga dalam Intrik Kekuasaan di Majapahit
info gambar utama

Kisah asmara selalu menghiasi berbagai kerajaan kuno di Indonesia. Tidak terkecuali Kerajaan Majapahit. Kisah ini melibatkan adik perempuan dari raja kedua Majapahit, prabu Jayanegara yang bernama Dyah Wiyat.

Dyah Wiyat merupakan putri kedua dari Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit dengan Gayatri. Kakak kandungnya adalah Dyah Gitarja atau dikenal sebagai Tribhuwana Tunggadewi yang kelak menjadi raja ketiga Majapahit.

Pada pemerintahan kakaknya, Dyah Wiyat diangkat sebagai raja bawahan di daerah Daha atau sekarang Kediri. Dirinya bergelar Rajadewi Maharajasa Bhre Daha ketika menjabat sebagai bupati di Daha.

Posisi ini terus dipegangnya sampai dia meninggal pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, keponakan sekaligus menantunya. Serta perannya tak tergantikan, termasuk dalam cerita panjang dan kemegahan Kerajaan Majapahit.

Dalam pemerintahan Hayam Wuruk, Dyah Wiyat tergabung dalam Saptaprabhu yaitu semacam dewan pertimbangan mulai yang beranggotakan keluarga kerajaan. Namun perebutan kekuasaan membuat dirinya harus tersingkir dari lingkaran kekuasaan.

Tidak diketahui pasti kapan Dyah Wiyat meninggal. Pararaton hanya menyebut kematiannya setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. Dyah Wiyat kemudian didharmakan di Adilangu, dengan candi bernama Purwawisesa.

Cerita Harta Karun Majapahit yang Diburu dan Diabaikan

Cerita cinta di balik keraton

Dalam novel Gadjah Mada, Langit Kresna Hadi menyebut Dyah Wiyat merupakan sekar kedaton yang memiliki kedudukan sosial tinggi. Posisinya sebagai putri raja benar-benar membuatnya jadi incaran.

Dikisahkan dalam novel tersebut, sosok Dyah Wiyat memiliki sifat yang tegar, berwawasan luas, memiliki pandangan ke depan, dan berwibawa. Sosok ini dianggap sangat cocok bila dijadikan sebagai pemimpin.

“....Ibu Ratu (Gayatri) melihat dalam banyak hal Dyah Wiyat memang memiliki sifat dan sikap yang menonjol dari kakaknya (Sri Gitarja). Dyah Wiyat bisa bersikap tegas, mampu memilih secara tegas satu di antara banyak pilihan yang berada dalam kedudukannya tak ubahnya malakama. Sifat dan sikap yang demikian lebih mandiri dan amat sesuai untuk menjadi pemimpin…”

Namun, kisah percintaan sang putri ternyata tetap menginjak bumi. Cinta tak mengenal batas kedudukan dan ruang hati untuk bertambat. Secara diam-diam, Dyah Wiyat dicintai oleh tabib kerajaan yang bernama Ra Tanca.

Ra Tanca juga salah satu dari tujuh anggota Dharmaputra atau jabatan istimewa bentukan dari Raden Wijaya. Tidak diketahui dengan pasti apa tugas dan wewenang mereka, namun Pararaton menyebut mereka sebagai pegawai yang disayangi raja.

Cinta yang bersemi di balik tembok kerajaan itu terus menemukan labuhannya. Dyah Wiyat membalas rasa cinta seorang Ra Tanca yang hanya rakyat jelata, namun menempati sebagian besar cinta dalam hatinya.

Karena rasa cinta ini Dyah Wiyat ingin selalu bertemu dengan pujaan hatinya tersebut. Namun keduanya tidak bisa secara terang-terangan bertemu. Karena itulah Dyah Wiyat sering menginginkan dirinya sakit agar bisa bertemu dengan Ra Tanca.

Candi Panataran Masa Akhir Majapahit, Bertahan Tanpa Bantuan Penguasa

“...Kelemahan Sri Gitarja adalah karena ia sering sakit-sakitan, sebuah keadaan yang di masa silam sangat diinginkan Dyah Wiyat, sebab hanya dengan sakit dia bisa bertemu dengan Rakrian Tanca kekasih hatinya.”

Namun cinta mereka berdua terhalang oleh tembok kekuasaan Majapahit. Cinta kedua insan tersebut tidak bisa berjalan seperti apa yang direncanakan. Perbedaan status menjadi penghalang cinta Dyah Wiyat dan Ra Tanca.

Kabar cinta terlarang antara Dyah Wiyat dan Ra Tanca ternyata telah menjadi rahasia umum di kalangan kerajaan Majapahit, bahkan sampai ke telinga istri Ra Tanca, Nyai Tanca. Dirinya bahkan menuduh Dyah Wiyat yang menggoda suaminya.

Nyai Tanca bahkan menganggap kematian Ra Tanca disebabkan oleh Dyah Wiyat. Sehingga memicu Nyai Tanca melakukan percobaan pembunuhan kepada Dyah Wiyat dengan mengirimkan sekeranjang buah mangga yang di dalamnya dimasukan ular bandotan yang beracun.

Cerita cinta segitiga

Setelah percintaannya dengan Ra Tanca kandas, Dyah Wiyat dijodohkan dengan Raden Kudamerta Bhre Wengker. Sebelumnya, putri-putri Raden Wijaya memang dilarang untuk menikah selama pemerintahan Raja Jayanegara.

Namun kemudian, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Ra Kuti bersama dengan Dharmaputra. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Gajah Mada. Namun beberapa tahun kemudian, Raja Jayanegara tewas di tangan Ra Tanca.

Akhirnya putri-putri Raden Wijaya menikah. Raden Kudamerta yang merupakan bangsawan dari Wengker melamar Dyah Wiyat. Namun pernikahan antara Raden Kudamerta dan Dyah Wiyat tidak berlandaskan cinta.

Bahkan dijelaskan pula, Raden Kudamerta sebelum menikah dengan Dyah Wiyat telah memiliki istri bernama Dyah Menur Hardiningsih dan memiliki seorang anak laki-laki. Di sinilah terjadi cinta segitiga dalam lingkaran Majapahit.

Sebelum pernikahannya dengan Dyah Wiyat, Panji Wiradapa yang merupakan paman dari Raden Kudamerta menawan istrinya Dyah Menur. Hal ini dilakukan agar Raden Kudamerta bersedia menikah dengan Dyah Wiyat.

Bila Dyah Wiyat menjadi ratu, maka otomatis Raden Kudamerta akan menjadi seorang raja. Jika Kudamerta menjadi orang nomor satu di Majapahit, maka kemungkinan besar Panji Wiradapa menjadi orang nomor dua, yaitu mahapatih akan terwujud.

Di sisi lain, Dyah Wiyat yang kisah cintanya kepada Ra Tanca gagal karena status sosial, kini harus menerima perjodohan dengan suami wanita lain. Sementara itu nasib Dyah Menur lebih malang, dia harus menyingkir karena Raden Kudamerta mengaku belum memiliki istri.

“...Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia yang kini bukan rahasia lagi, bahwa dia telah beristri saat mengawini dirinya, sungguh merupakan pelecehan yang tak akan terampuni.”

Karena cinta terlarang ini jugalah, Gajah Mada merasa kekhawatiran akan kestabilan kekuasaan trah murni Raden Wijaya, karena Raden Kudamerta dan Dyah Menur memiliki seorang anak laki-laki.

Tentunya saja ini akan mempengaruhi peralihan kekuasaan di masa yang akan datang. Selain itu berarti Raden Kudamerta akan menempatkan Dyah Wiyat sebagai istri kedua. Sebuah kesalahan yang sangat fatal!

Karena itulah, Bhayangkara - pasukan elite Kerajaan Majapahit - akhirnya berusaha membebaskan Dyah Menur. Setelah diselamatkan, Gajah Mada kemudian menyembunyikan Dyah Menur dan bayinya.

Dyah Menur yang sangat ingin bertemu dengan suaminya akhirnya diselundupkan ke dalam istana. Dirinya menyamar menjadi Sekar Tanjung yang menjadi dayang kesayangan Dyah Wiyat. Hal yang menjadi beban bagi seorang Raden Kudamerta.

Awal Mula Pendirian Kerajaan Majapahit Ternyata Berasal dari Daerah Ini

Gajah Mada, dan pasukannya satu persatu berhasil menggagalkan rencana makar yang dilakukan paman dari Kudamerta. Satu persatu dari para pengkhianat kerajaan ini dikirim ke pengadilan kerajaan.

Dari pengadilan ini diketahui bahwa pembunuhan yang terjadi di dalam istana ditujukan untuk mengkambinghitamkan Raden Cakradara (suami Sri Gitarja) oleh Panji Wiradapa agar tahta raja jatuh ke tangan Raden Kudamerta.

Serta dibukanya identitas asli Panji Rukmamurti yaitu Nyai Tanca, istri Ra Tanca. Dendamnya kepada Gajah Mada yang telah membunuh suaminya dan kepada Dyah Wiyat telah membuatnya gelap mata dan merencanakan makar.

Setelah menjatuhi hukuman kepada Nyai Tanca dan Wiradapa, Ratu Gayatri memanfaatkan kesempatan ini untuk mengukuhkan status Dyah Wiyat sebagai istri sah dan satu-satunya Raden Kudamerta demi keutuhan Kerajaan Majapahit.

Sementara itu Dyah Menur akhirnya harus memberikan suami tercintanya kepada Sekar Kedaton. Dan dirinya pergi membawa bayi yang dikhawatirkan oleh Gajah Mada sebagai pemutus silsilah keturunan Raden Wijaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini