Mitos Orang Cepu-Bojonegoro yang Dilarang Mendaki ke Gunung Lawu, Benarkah?

Mitos Orang Cepu-Bojonegoro yang Dilarang Mendaki ke Gunung Lawu, Benarkah?
info gambar utama

Kisah mistik selalu menjadi daya tarik lain bagi Gunung Lawu, yang berlokasi di perbatasan Karanganyar, Jawa Tengah dan Magetan, Jawa Timur. Hal inilah yang menjadikan gunung ini cukup populer di kalangan para pendaki.

Gunung yang terkenal dengan julukan Seven Summits of Java (Tujuh Puncak Pulau Jawa) ini memang kerap dikunjungi para pendaki, tidak hanya untuk menikmati keindahan pemandangan namun juga berziarah maupun menggelar ritual.

Gunung ini pun dianggap sebagai salah satu tempat yang memiliki kekuatan spiritual cukup tinggi. Pasalnya Gunung Lawu konon menyimpan banyak cerita mengenai keberadaan Raja Majapahit yang terakhir, yakni Prabu Brawijaya V.

Gunung Lawu memang berhubungan dengan keberadaan raja terakhir Kerajaan Majapahit ini. Salah satu puncaknya, yakni Hargo Dalem diyakini sakral, karena sebagai tempat menghilangnya Prabu Brawijaya V ketika dikejar pasukan pemberontak.

Begitupun dengan dua puncak Gunung Lawu lainnya, yakni Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah yang juga dipercayai kesakralannya. Hargo Dumiling dipercaya tempat menghilangnya Ki Sabdo Palon dan Hargo Dumilah tempat meditasi penganut kejawen.

Malam 1 Suro, Kisah Pendaki yang Berdoa dan Ziarah ke Gunung Lawu

Selain itu, juga ada kisah pantangan bagi pendaki yang berasal dari daerah Cepu di Blora dan Bojonegoro untuk mendaki Gunung Lawu. Kepercayaan ini masih dipercayai oleh beberapa masyarakat di sekeliling Gunung Lawu.

Mitos mengenai warga Cepu yang dilarang mendaki Gunung Lawu ternyata karena sumpah yang dikeluarkan Prabu Brawijaya V. Mitos ini lahir ketika Prabu Brawijaya V ini mengasingkan diri akibat kejaran pasukan pimpinan Adipati Cepu.

Menukil dari Solopos, namun, pasukan Cepu ini tak berhasil menangkap Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri ke puncak Gunung Lawu. Di tempat ini, konon Prabu Brawijaya V mengeluarkan sumpah kepada Adipati Cepu.

Menurut cerita, isi sumpahnya jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau keturunan langsung Adipati Cepu naik Gunung Lawu, makan akan celaka. Karena itulah beberapa orang dari daerah Cepu ada yang masih takut naik ke Gunung Lawu.

“Mitos larangan mendaki Gunung Lawu dan sumpah Prabu Brawijaya V tersebut sampai sekarang masih diikuti oleh orang-orang dari daerah Cepu, terutama keturunan Adipati Cepu,” tulis Nugroho Meidinata dalam Sumpah Raja: Awal Mula Mitos Warga Cepu-Bojonegoro Dilarang Naik Lawu.

Mitos yang dipercaya

Mitos warga Cepu yang dilarang naik ke Gunung Lawu, santer diperbincangkan. Jika mitos larangan ini dilanggar dipercaya akan memberikan musibah. Cerita ini terus diwariskan secara turun temurun ke generasi ke generasi.

Kepala Dusun Cemoro Sewu, Desa Sarangan, Magetan, Agus Suwandono juga membenarkan adanya mitos ini. Dirinya menyebut lahirnya mitos ini terkait hilangnya raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya V.

Agus menjelaskan Prabu Brawijaya V pada tahun 1400 Masehi pernah beradu kesaktian dengan pimpinan pasukan dari Bojonegoro dan Cepu. Namun, pimpinan dari dua wilayah tersebut kalah dan tumbang.

“Jadi mitosnya dalam legenda pemimpin Cepu dan Bojonegoro dikalahkan Brawijaya, Raja Majapahit yang bertapa di Gunung Lawu,” kata Agus yang dimuat Detik.

Agus juga mengungkapkan bahwa mitos ini masih berkembang di kalangan para pendaki. Banyak yang percaya bila ada pendaki melanggar pantangan, tak jarang akan mendapat musibah ketika pendakian.

Legenda Brawijaya V, Misteri dan Keindahan Gunung Lawu

“Dulu waktu kebakaran yang meninggal orang Jakarta, tetapi setelah ditelusuri punya silsilah dari Cepu. Tapi ini boleh percaya boleh tidak,” tandasnya.

Sementara itu, Kholil yang merupakan Kepala Pemangkuan Hutan (RPH) Sarangan KPH Lawu juga menanggapi terkait mitos ini. Dirinya mempersilahkan kepada masyarakat tentang adanya pantangan ini.

Terkait pelarangan bagi pendaki yang berasal dari daerah tertentu, Kholil hanya mengingatkan kepada pendaki agar selalu berhati-hati. Karena bila niatnya baik, menurutnya perjalanan para pendaki akan berlangsung tanpa halangan.

“Kita selalu menghimbau untuk pendaki agar niatnya baik. Kalau niatnya baik Insya Allah juga baik, tidak ada musibah,” paparnya.

Membatalkan pantangan

Banyak para pendaki penasaran dengan cerita mistis Gunung Lawu, terutama bagi mereka yang berasal dari Cepu dan Bojonegoro. Tidak sedikit dari mereka ingin mematahkan mitos ini, apalagi keindahan Gunung Lawu yang begitu menarik untuk disambangi.

Salah satunya Diyah (25), perempuan asal Bojonegoro yang hobi mendaki gunung ini mengaku pernah berada di puncak Gunung Lawu tahun 2005 silam. Dirinya mengaku tidak merasakan sesuatu yang mistik saat berjalan mendaki hingga turun dari Gunung Lawu.

“Saya pernah sampai puncak Gunung Lawu bersama teman-teman. Saya asli Kecamatan Kanor Bojonegoro. Malah teman saya yang dari luar pulau waktu itu kuliahnya di Malang, sampai di atas itu sempat pingsan dan nyaris kesurupan saat turun lewat Cemoro Sewu,” tutur Diyah yang dikabarkan Detik.

Perempuan yang memiliki nama lengkap Rodhiyatul Islamiyah ini memerlukan waktu 3 hari 2 malam untuk mencapai puncak Gunung Lawu hingga turun. Diyah berpendapat, selama naik gunung hal yang terpenting adalah tidak merusak alam.

Begitupun saat naik gunung bersama teman-temannya, dirinya kerap berpesan agar jangan sekali-kali merusak alam. Sementara itu terkait mitos, baginya hanya sekadar mitos, intinya dirinya tidak melakukan hal-hal yang aneh ketika naik gunung.

“Jangan merusak apalagi mengganggu penjaga gunung yang tak terlihat. Gunung sekarang juga kebanyakan malah dibuat wisata, jadi banyak peminat ingin mendaki,” tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Khusnul Fiton, pemuda asal Kecamatan Balen, Bojonegoro ini mengaku sudah dua kali mendaki gunung yang terletak di antara tiga kabupaten tersebut.

Dalam perjalanannya ke puncak Gunung Lawu tersebut. Khusnul mengaku tidak pernah mengalami kendala apapun. Bahkan saat pendakian yang kedua, dirinya hanya berdua bersama teman yang berasal dari Bojonegoro pun tidak menemui kendala.

5 Gunung Dengan Ladang Edelweiss di Indonesia

Sementara itu terkait adanya mitos ini, dirinya menyerahkan kepada masing-masing orang. Tetapi yang terpenting adalah menjaga keamanan saat mendaki, melihat kondisi kesehatan dan juga berserah kepada Sang Pencipta.

“..Intinya ketika di sana harus menaati anjuran yang ada, karena kalau menengok sejarah yang ada semua gunung merupakan tempat yang sakral,” jelasnya yang dikutip dari Blok Bojonegoro.

Tidak hanya warga dari Bojonegoro, pendaki dari Cepu pun pernah merasakan naik puncak Gunung Lawu tanpa kendala. Hal ini dikisahkan oleh rombongan pendaki yakni Semsal, Nanda, Yusuf, Lis, Shenta, dan Dhani.

Pendaki asal Cepu ini memulai pendakiannya dari Cemoro Sewu tepat pada tanggal 17 Agustus 2017. Dan mereka selamat baik ketika naik maupun turun. Sama sekali tidak ada hambatan seperti kisah-kisah pantangan yang diceritakan.

“Pokoknya saat mendaki taatilah peraturan yang ada, tidak lupa jangan meremehkan alam,” pesan Semsal dalam penasemsal.blogspot.com.

Bagi Semsal, dengan niat dan cara yang baik, adanya mitos larangan bahwa orang Cepu tidak boleh mendaki di Gunung Lawu bisa terbantahkan. Walau diakuinya masih ada warga Cepu yang belum berani mendaki ke Gunung Lawu.

“Jadi sekarang orang Cepu tak perlu takut lagi untuk mendaki ke Gunung Lawu. Karena sudah banyak orang Cepu mendaki ke Gunung Lawu tanpa ada hambatan,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini