Kisah Kampung Bergota, Perkampungan yang Berada di Tengah Pemakaman

Kisah Kampung Bergota, Perkampungan yang Berada di Tengah Pemakaman
info gambar utama

Kampung Bergota, di Kota Semarang, Jawa Tengah tidak seperti perkampungan yang ada di daerah lainya. Betapa tidak, lokasi kampung ini berada di tengah kuburan. Tentunya bila mendengarnya langsung akan terkesan angker.

Namun bagi warga sekitar Kampung Bergota, Krajan, Randusari sepertinya sudah terbiasa. Selama puluhan tahun mereka tinggal di tengah kuburan, bahkan rumah mereka berdempetan dengan makam.

Ada beberapa makam yang berada persis di depan pintu rumah. Hal yang menarik, ada juga toko kelontong hingga angkringan yang dikelilingi oleh makam. Meski demkian, aktivitas warga di Kampung Bergota tetap dilakukan secara lumrah.

“Kalau saya biasa sih mas. Dari kecil sudah di sini. Dan sekarang sudah 38 tahun tinggal di Bergota Krajan. Alhamdulilah enggak terjadi apa-apa,” ujar Dian Heru, Ketua RT 8 RW 5 Kelurahan Randusari yang dimuat Suara, Kamis (26/5/2021).

Dian menyebut bahwa gambaran pemakaman yang menakutkan hanya ada dalam televisi saja. Meski dinilai tidak menakutnya, dirinya sendiri meminta warga di Bergota Krajan tetap harus bisa menjaga etika saat hidup di sana.

Berbeda dengan Dian, ketua RT 005 Bergota Krajan, Bayu Suprihatin mengaku sering mendengar cerita angker mengenai kampungnya dari para remaja setempat. Selain itu ada juga masyarakat luar kampung yang menceritakan pengalaman mistis di kampungnya.

Kisah Burung Garuda yang Beristirahat di Gunung Emansiri Papua

“Kalau cerita orang sini (Bergota Krajan), banyak yang bilang dari jalan pos masuk ke perkampungan angker. Katanya banyak yang sering diganggu,” ujar Bayu yang dimuat Solopos.

Bayu mengungkapkan banyak orang-orang yang kerap diganggu hingga sering tersesat. Anehnya mereka tersesat bukan hanya sekali, tetapi berulangkali, bahkan ada yang tanpa sadar berjalan pada tengah malam.

Dirinya juga mengaku pernah mengalami kejadian mistis di Jalan Bergota. Tepatnya, 10 tahun lalu saat dia sedang berjalan pulang seusai bekerja, sekitar jam 01.00 WIB, tiba-tiba motornya berhenti di tengah jalan.

Anehnya, lanjut Bayu, motornya tidak bisa maju, bahkan mundur juga tidak bisa, layaknya ada yang menahan. Beruntung kemudian ada seorang warga yang datang untuk membantu. Sehingga motor Bayu bisa menyala kembali.

“Waktu istri saya naik manggil warga situ, setelah ada salah satu warga turun, baca doa, akhirnya bisa jalan. Tetapi setelah saya antarkan terus pulang sendiri, turun lagi, pas lewat itu lagi saya seperti dilempari batu kecil,” ujarnya.

Cerita awal kampung

Memasuki kawasan perkampungan Bergota, meski pada siang hari tetap akan terkesan seram. Karena pada sisi kanan dan kiri penuh dengan batu nisan dan patok penanda dari orang-orang yang sudah meninggal.

Pohon Kamboja telah puluhan tahun tumbuh berdiri di sela-sela kuburan yang bunganya menimbulkan bau menyengat, serta pohon besar, seperti jati, ringan, dan lainnya akan menambah kesan angker.

Suasana Bergota akan tambah mencekam bila melintas pada malam hari, sebab sebagian jalan, tidak ada penerangan listrik. Ada beberapa gang kecil yang jalannya sudah beraspal, namun tidak sedikit yang masih berbatu.

Jalan yang hanya bisa dilalui satu mobil, ketika berkendara ke kampung ini akan langsung membelah kuburan yang dikelilingi bangunan rumah. Bangunan rumah ini kebanyakan sudah permanen, ditembok, bahkan ada yang telah ditingkat.

Rumah-rumah tersebut mengelompok secara terpisah ke dalam beberapa Rukun Tetangga (RT). Sebagai pemisah antara RT satu dengan RT lainnya adalah kuburan. Meski hidup di tengah kuburan, mereka tetap melakukan aktivitas sehari-hari dengan biasa.

Mitos Orang Cepu-Bojonegoro yang Dilarang Mendaki ke Gunung Lawu, Benarkah?

Dikabarkan Solopos, Rubiyanto, pria asal Cirebon, Jawa Barat (Jabar) ini mengaku telah tinggal di kuburan Bergota sejak masih kecil. Awal mula dirinya datang ke Semarang karena mengikuti almarhum orang tunya yang menjadi juru kunci makan Bergota.

Saat itu kondisinya masih sepi, hanya ada puluhan rumah dan belum ada aliran listrik. Tetapi kini menurutnya sudah ada ratusan rumah yang berdiri di kampung ini dan aliran listrik sudah masuk.

Pria yang kerap dipanggil Totok ini menjelaskan awal mulanya areal makam Bergota ini diperuntukan untuk pemakaman keluarga keturunan Tionghoa, yakni keluarga Oei Tiong Ham yang merupakan salah satu orang terkaya di Semarang saat itu.

Oei memang pemilik dari bukit Bergota saat itu, dirinya kemudian mempekerjakan sejumlah pribumi untuk menjadi juru kunci pemakaman di atas bukit tersebut. Sehingga banyak makam Tionghoa di areal pemakaman.

Sementara itu pada 1961, Bergota kemudian diambilalih pemerintah serta dijadikan tempat pemakaman umum sampai sekarang. Menurut Totok, para juru kunci diperbolehkan untuk tetap tinggal di Bergota secara turun temurun sampai sekarang.

Wisata makam

Totok mengatakan status tanah di perkampungan ini milik Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, sedangkan warga hanya memiliki status hak pakai, sehingga tidak bisa disertifikat menjadi hak milik (HM). Karena kondisi ini rumah tidak laku kalau dijual.

“Saya dan warga pernah ke Badan Pertanahan Nasional untuk mensertifikatkan tanah tidak bisa. Tapi setiap tahun tetap membayar pajak bumi dan bangunan (PBB),” katanya.

Sariyono, Sekretaris Kelurahan Randusari mengungkapkan jumlah rumah warga yang ada di tengah Bergota sekitar 672 rumah. Warga yang tinggal di Bergota terbagi dari lima rukun warga (RW) dan 17 RT.

Menurutnya, status rumah warga yang hanya hak pakai karena tanahnya merupakan aset milik Pemkot Semarang. Warga hanya menempati secara turun temurun. Sedangkan dari 672 rumah, sebagian besar membayat PBB, hanya 10 persen yang tidak membayar.

Mengenai adanya upaya pemerintah akan memindahkan rumah warga, Sariyono menegaskan belum ada rencana merelokasi. Bahkan tempat ini disebut akan dijadikan perkampungan wisata.

Hal ini dilakukan oleh Kolektif Hysteria bersama Universitas Pelita Harapan (UPH) dan Paguyuban Kali Semarang menyelenggarakan kegiatan “Panggilan Kali Semarang”. Kegiatan ini bermula dari riset bersama mengenai kampung Bergota.

Menurut Ernest Irwandi dari UPH hal ini dilandasi minimnya aktivitas warga untuk membuat kegiatan, dan mural yang pernah dibuat nyaris minim sekali yang berkenaan dengan cerita lokal di sana.

Legenda Buaya yang Dianggap sebagai Kembaran Manusia di Sulsel

“Nyai Brintik misalnya, ceritanya tidak banyak dieskplore padahal itu bagian sejarah kampung,” ujarnya pada awak media yang dimuat Halo Semarang.

Sementara itu Adin yang merupakan Direktur Hysteria mengaku cukup intens untuk meneliti perkampungan yang telah dikelilingi pekuburan umum sejak ratusan tahun lalu. Dirinya menyebut pemakaman kuno ini sudah ada sebelum Islam masuk.

Banyak narasumber yang menyatakan daerah ini dahulunya merupakan perbukitan kuno yang masih sederetan dengan Gedong Batu, Simongan. Bergota juga menjadi konektor bagi banyak tokoh penting berkaliber nasional maupun internasional.

Secara umum, jelas Adin, daerah Randusari memiliki potensi luar biasa, mulai dari Gereja Katerdal, Pasar Randusari, dan makam-makam orang penting di antaranya, Pandanaran, Nartosabdo, Soleh Darat, Kertoboso Bustam, Atmodirono, dan petilasan Pangeran Puger.

“Khusus uji coba pertama dalam event ini warga hanya membuat tour untuk 5 makam saja,” kata Wisnu, Ketua RW IV sekaligus panita.

Ditambahkannya dengan adanya penggalian data sejarah, dirinya berharap wisata sejarah dan religi makam-makam Bergota bisa dikembangkan lebih jauh. Tidak hanya wisata makam, namun juga beberapa event lainnya.

“Selain itu untuk menarik minat terhadap Kali Semarang, warga menggelar mancing bersama gratis, pembagian takjil dan hiburan dari beberapa band di Semarang,” pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini