Kerajinan Caping Masih Memiliki Potensi Menjanjikan di Era Modern

Kerajinan Caping Masih Memiliki Potensi Menjanjikan di Era Modern
info gambar utama

#FutureSkillsGNFI

Masyarakat desa selalu identik dengan kesederhanaannya. Tidak heran jika kebanyakan dari mereka memiliki mata pencaharian sebagai petani dan peternak. Selain itu, mayoritas memiliki pandangan bahwa masyarakat yang tinggal di desa terkenal hidup berdampingan dengan damai, ramah, rasa tolong menolong tinggi, menjunjung nilai gotong royong, dan apa adanya.

Begitu pula dengan masyarakat di Desa Slorok. Sebagian besar warga desa bekerja sebagai petani, buruh tani, dan peternak. Setiap pagi, pasti terlihat para warganya bergegas pergi ke sawah untuk bercocok tanam.

Melihat kondisi demikian, kita bisa memastikan bahwa banyak orang membutuhkan caping sebagai pelindung saat berada di sawah untuk menghindari dari panas sinar matahari. Peluang bagus tersebut tidak disia-siakan oleh Pak Gun, salah seorang warga di desa tersebut yang cukup terkenal pekerja keras dan kreatif.

Ilustrasi | Foto: Pexels.com
info gambar

Pak Gun sendiri bekerja sebagai petani dan peternak. Akan tetapi dengan kreatifitasnya, beliau tidak mau membuang waktu secara percuma. Di kala semua pekerjaan rampung, Pak Gun selalu berkreasi membuat berbagai kerajinan maupun perabot rumah tangga. Beberapa di antaranya, yaitu meja, kursi, pagar pintu, caping kayu, dan lainnya.

Caping memiliki bentuk khas, biasanya dilengkapi tali dagu untuk menopang keseimbangan. Caping termasuk kerajinan yang berbahan dasar bambu. Sejatinya, kerajinan ini  sudah ada sejak zaman dahulu. Hingga sekarang pun, masih banyak orang yang mengenakannya, terutama di lingkungan petani.

Di desa tersebut, caping masih cukup terjangkau, caping dengan ukuran kecil dihargai Rp10.000,00 dan ukuran besar dihargai Rp15.000,00.

Awalnya, Pak Gun tidak berniat  menjadi pengrajin, tetapi melihat potensi yang cukup bagus, membuat Pak Gun bersemangat dalam membuat kerajinan dengan kualitas yang lebih baik lagi. Terlebih, ternyata banyak tetangga dari Pak Gun yang tertarik untuk membeli capingnya.

Ia bercerita, "Saya iseng saja, karena semua pekerjaan sudah selesai, saya bingung mau mengerjakan apa lagi. Kemudian, terlintas membuat caping karena di belakang rumah banyak bambu tidak pernah terpakai."

"Sejak awal memang tidak ada niatan untuk menjual karena saya membuatnya iseng untuk mengisi waktu senggang. Tetapi, ada tetangga yang tertarik membeli. Saya sih berinisiatif memberikan saja, tetapi tetangga menolak menerima. Akhirnya, tetap memaksa membeli," tutur Pak Gun.

Semakin hari, semakin banyak pula tetangga yang ikut membeli, terutama caping, karena memang mereka memerlukannya untuk melindungi kepala dari sinar matahari saat bertani.

Meskipun terbilang aktif sebagai pengrajin caping, Pak Gun tetap beraktivitas dan menjalankan pekerjaan utama seperti biasanya, sebagai petani dan peternak. Sementara membuat kerajinan perabot rumah tangga ia jadikan sebagai pekerjaan sampingan atau hobi.

"Setiap hari saya masih tetap bekerja di sawah dan mencari rumput untuk ternak. Jadi, membuat kerajinan perabot saya lakukan saat senggang saja," tukasnya.

Proses pembuatan caping terbilang cukup mudah. Bahan yang dibutuhkan pun sedikit. Seorang pengrajin caping hanya membutuhkan bambu, clurit, dan tali. Umumnya, lebih banyak menggunakan bambu berjenis apus (bambu apus) karena mudah mendapatkannya.

Tahapannya dimulai dari memotong dan menipiskan bambu tersebut sehingga dapat melengkung. Lalu, Pak Gun langsung menganyamnya. Ia biasa menjajakan caping di pasar tradisional terdekat, menjualnya secara langsung, maupun menitipkan di toko kelontong dengan sistem bagi untung.

Meski zaman sudah sangat modern, fenomena tersebut menjadi bukti bahwa warga desa masih tetap memiliki keunikan tersendiri dan melestarikan kerajinan budayanya. Hal itu pula ciri khas warga desa yang tidak peduli akan kemewahan dunia luar.

 

Referensi: Wawancara dengan Pengrajin Caping

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini