Ritual Kurban, Persembahan Raja Nusantara dan Kendaraan di Akhirat

Ritual Kurban, Persembahan Raja Nusantara dan Kendaraan di Akhirat
info gambar utama

Kerajaan-Kerajaan awal di Nusantara banyak mengeluarkan prasasti tentang hewan kurban. Misalnya dalam Prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai Kartanegara, Prasasti Tugu dari Kerajaan Tarumanegara, dan Prasasti Dinoyo dari Kerajaan Kanjuhuran, Jawa Timur.

Dimuat di Historia, Dwi Cahyono, arkeolog dari dosen sejarah Universitas Negeri Malang menyebut dalam Prasasti Yupa dan Prasasti Tugu dikisahkan pengurbanan lembu dalam jumlahnya yang fantastis.

Pada salah satu Prasasti Yupa yang ditemukan di Murakaman, Kalimantan Timur (Kaltim) dikisahkan Raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ribu ekor sapi kepada para Brahmana untuk upacara di tanah suci yang bernama Vaprakeswara.

“Di dalam Prasasti Yupa semacam jadi penekanan, bahkan disebutkan tiang atau tugu yang dijadikan tempat mengikat hewan kurban yang kemudian disebut yupa itu,” paparnya.

Dwi juga menyebut ritual kurban ini ada dalam Prasasti Tugu yang ditemukan di Kelurahan Tugu, Koja, Jakarta Utara. Dalam Prasasti Tugu disebutkan Punawaran menyumbang 1.000 ekor sapi sebagai persembahan untuk upacara yang dilakukan oleh para Brahmana.

Pada Prasasti Dinoyo juga menyebutkan upacara penggantian arca resi Agastya yang berbahan kayu cendana menjadi marmer hitam dan indah. Di dalam upacara itu, raja akan dibantu para imam Weda.

Serupa Tapi Tak Sama, Mengenal Perbedaan Kambing dan Domba

Menurut Dwi, Prasasti Dinoyo juga menyebut adanya ahli Rgveda yaitu ahli Weda dalam upacara, para pertapa (yati) terbaik, para pemahat, dan para ahli lainnya dari penduduk negeri ketika itu.

“Raja kemudian menganugerahkan tanah lapang, lembu-lembu gemuk bersama dengan kawanan kerbau, serta sekelompok budak laki-laki dan perempuan,” ucapnnya.

Arkeologi Sri Soejatmi Satari menjelaskan semua hadiah tersebut disediakan dalam berbagai upacara, seperti prawara-caru-hawis-snana. Bagi Soejatmi, bila dibandingkan dengan upacara Weda di India upacara ini sangat dekat dengan Somayajna.

Di Nusantara, ucapnya tradisi Weda cenderung melakukan persembahan kepada Dewa Wisnu. Hal ini dipercaya akan mendatangkan banyak hal, seperti mengatasi permusuhan dan menghancurkan rumah.

“Karena bagi raja, mereka akan mendapatkan kekuatan dan energi yang melekat dalam kerajaan untuk menjadi raja dunia,” tulis Hariani Santiko, arkeolog Universitas Indonesia dalam The Vedic Religion in Nusantara yang terbit dalam jurnal Kalpataru, Vol 31 No 2, Desember 2013.

Menjelma jadi Ken Arok

Dwi mengisahkan tentang ritual kurban yang terdapat dalam serat Pararaton yang berasal dari masa akhir Majapahit, Pada diciptakannya manusia, ada anak seorang jandi di Djiput yang memiliki kelakukan buruk.

Pada suatu hari, anak itu pergi ke daerah Bulalak di mana hidup seorang pertapa Mpu Tapawangkeng. Sang Mpu saat itu ingin membuat pintu gerbang untuk pertapaannya, demi keperluan itu dirinya membutuhkan seekor kambing berwarna merah (wdus bang).

Anak janda yang mengetahui peristiwa ini merelakan dirinya untuk menjadi kurban. Keinginannya bisa pulang ke tempat Dewa Wisnu dan menjelma kembali menjadi manusia yang lebih luhur.

Awalnya Mpu Tapawengkeng tidak bersedia. Dirinya takut bila mengorbankan seorang manusia, dia akan masuk neraka. Tetapi, dia tak punya cara untuk menemukan kambing merah dan tujuan si anak itu dinilainya baik.

Karena itu, diluluskanlah permohonan anak itu oleh Mpu Tapawengkang. Kemudian anak itu diambil sebagai kurban demi membuat pintu gerbang pertapaannya. Sesudah menjadi kurban, anak itu lenyap ke tempat Dewa Wisnu.

Upaya Hindari Kantong Plastik untuk Pembagian Daging Kurban

“Dia nanti bereinkarnasi menjadi Ken Angrok. Dia melewati fase sebagai pengganti wdus bang,” kata Dwi yang dipaparkan Historia.

Selain Pararaton, kisah ritual kurban juga ditemukan pada teks Sudhamala. Ceritanya bisa terbaca di dinding Candi Tegawangi di Kediri dari abad ke 14 dan Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu dari abad ke 15.

Sudhamala berkisah mengenai Sadewa, bungsu dari Pandawa Lima yang diminta menjadi kurban untuk meruwat Ranini, raksasa bermata lebar, mulutnya menganga, dan rambutnya tebal awut-awutan.

Ketika pedang (kadga) Ranini hampir mengenai leher Sadewa tiba-tiba muncul seekor biri-biri. Berkat Sadewa, Ranini bisa kembali berwujud Batari Uma dan noda kejahatannya telah dibebaskan.

Ditulis oleh Dwi, konsep berkurban memang telah dikenal masyarakat Nusantara. Lewat kisah-kisah dari masa Hindu-Buddha itu, ritual kurban menjadi jalan mengubah seseorang menjadi sosok yang lebih baik, suci, dan luhur.

“Sementara itu dalam konsep yang lebih tua, hewan yang dikurbankan dihubungkan dengan perjalanan seseorang yang telah mati menuju dunia arwah,” paparnya.

Kendaraan di Akhirat

Peneliti Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradnyana mencatat di Sumatra bagian utara ditemukan pahatan gajah di situs Batu Gajah, Simalungan, dan di Pulau Samosir yang terkait dengan religi.

Di atas pahatan batu gajah itu terdapat kubur pahat batu yang secara kontekstual berkaitan dengan penguburan. Bagi Ketut, hal ini bisa dimaknai sebagai hewan tunggangan roh ke alam arwah setelah kematian.

Walau daya prasejarah baginya tak bisa diandalkan untuk mengungkapkan adakah hewan yang dikurbankan dalam upacara adat masa lalu. Namun informasi ini bisa ditemukan melalui data etnoarkeologi.

Misalnya yang sering disembelih dalam upacara-upacara adat adalah kerbau. Seperti pada masyarakat Batak Toba yang memilih kerbau sebagai hewan kurban dengan kriteria, jantan, sehat dan muda.

Selain itu kerbau tampaknya juga menjadi simbol kekerabatan. Hal ini terindikasi dalam prosesi upacara yang dagingnya dibagi-bagikan kepada kerabat, dengan aturan tertentu agar menjaga hubungan kekerabatan.

Mengenal Jenis Kambing Kurban Unggulan yang Ada di Indonesia

Selain di masyarakat Batak, tradisi pembagian daging juga bisa dijumpai dalam masyarakat Toraja dan Dayak. Kerbau dianggap sebagai hewan yang paling tinggi statusnya dalam upacara kematian bagi masyarakat Batak dan Toraja,

“Konsep itu berkaitan dengan anggapan bahwa kerbau berfungsi sakral, yakni sebagai tunggangan roh,” catat Ketut.

Beberapa jenis hewan seperti gajah, kerbau, dan kuda memiliki tubuh yang besar dan kuat. Sehingga dianggap sebagai hewan tunggangan dan penjaga. Karena itu hewan ini akan menjadi kendaraan baik di kehidupan sehari-hari maupun urusan sakral.

“Orang Islam juga ada yang percaya kalau binatang kurban itu nantinya bisa menjadi kendaraan menuju surga,” katanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini