Hubungan Mancanegara antara Kerajaan Champa dengan Nusantara di Masa Silam

Hubungan Mancanegara antara Kerajaan Champa dengan Nusantara di Masa Silam
info gambar utama

Kerajaan Champa merupakan kerajaan di wilayah Vietnam yang pernah menjadi salah satu raksasa di Asia Tenggara. Kerajaan ini diperkirakan berdiri sejak akhir abad ke 2 dan bertahan hingga abad ke 19 Masehi.

Kerajaan ini awalnya bercorak Hindu-Buddha tetapi dalam perkembangannya, Kerajaan Champa berubah menjadi kerajaan Islam yang memiliki pengaruh di Asia Tenggara. Salah satunya kepada Kerajaan Majapahit

Kerajaan ini memang memiliki hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, bahkan berpengaruh terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Keterikatan ini bahkan tercatat dalam risalah-risalah kuno.

Champa memang banyak sekali disebutkan dalam narasi sejarah Nusantara. Michael Vickery, sejarawan Asia Tenggara melalui The Cham of Vietnam memperkirakan bahwa asal usul orang Champa datang dari Kepulauan Asia Tenggara.

“Dugaan itu diperkuat karena kebahasaannya yang mirip dengan bahasa Melayu dan Aceh,” tulisnya yang dimuat National Geographic.

Melalui bukunya, Vickery menjabarkan bahwa jalur migrasi Austronesia-Champa bermula dari Formosa, Kalimantan, dan berlabung di Vietnam bagian selatan. Dengan kata lain, jelas Vickery, orang Champa merupakan pelaut yang maju pada masanya.

Ritual Kurban, Persembahan Raja Nusantara dan Kendaraan di Akhirat

Pendapat ini pun disepakati oleh Anne-Valerie Schweyer dalam Ancient Vietnam: History, Art, and Archeology yang melihat arsitektur Kerajaan Champa, terutama Candi Lembah My Son F1 dan Candi Po Dam di Bhin Thuan sangat dipengaruhi budaya Jawa.

Hubungan Champa dan Nusantara juga terikat melalui kisah Aji Saka. Dalam legenda tersebut disebutkan bahwa dia sempat tinggal di Champa dan menikah dengan Putri Prabawati di sana.

“Kunjungan itu terjadi setelah dia menyebarkan agama Hindu di Pulau Jawa,” tulis Anne.

Aji Saka kerap dikaitkan dengan bangkitnya peradaban di Pulau Jawa. Konon sosok inilah yang membuat aksara Jawa dan pencipta tarikh Tahun Saka. Bahkan dianggap sebagai nenek moyang orang Jawa.

Dengan kerajaan Nusantara

Hubungan Champa dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan Asia Tenggara terekam dalam prasasti mereka. Disebutkan dalam prasasti Champa mengenai kisah Sriwijaya yang merupakan tempat asal singa untuk persembahan kepada Dinasti Song pada 1011 Masehi.

Singa bukanlah hewan endemik di Asia Tenggara. Tetapi karena Sriwijaya menguasai jalur utama perdagangan laut, mereka kerap didatangi pengusaha dari jazirah Arab, Persia, dan juga Tiongkok.

Ahmad Dahlan dalam Sejarah Melayu menyebutkan Sriwijaya sangat penting bagi Champa sebagai pusat transit mancanegara. Sriwijaya bisa menjadi sekutu mereka, seperti melindungi dari perompak yang sempat menyerang ke pusat Champa.

Erlangga Ibrahim dan Syahrizal Budi Putranto pada bukunya yang berjudul Champa: Kerajaan Kuno di Vietnam menyatakan dengan interaksi dengan Sriwijaya ini pula, agama Islam bisa berkembang di Champa sejak abad ke 10.

Hubungan dengan Sumatra terus berlanjut pada masa berikutnya, misalnya dengan Aceh dan Minangkabau. Kebudayaan di Sumatra dengan Champa memang ada beberapa kesamaan, seperti konsep matrilineal.

Champa di bawah Jaya Simhawarman III juga turut andil dalam menghalangi serbuan Mongol ke Tanah Jawa. Hubungan ini terjadi karena sebelumnya Kertanegara dari Singhasari menikahkan Simhawarman dengan putrinya, Putri Tapasi.

Jejak Akulturasi Budaya Indonesia-Tionghoa yang Kini Tetap Lestari

“...Dengan tujuan memperkuat kerjasama ekonomi,” tulis Ibrahim.

Menurut Ibrahim dampaknya adalah ketika Simhawarman mengetahui rencana invasi Mongol ke Jawa dengan membawa 1.000 kapal, dia lantas melarang mereka untuk transit ke Pelabuhan Champa.

Akibat pelarangan ini akhirnya memaksa bangsa Mongol harus berlayar non-stop 40.000 kilometer yang sangat berisiko. Risiko pelayaran itu bagi bangsa Mongol berupa ombak yang begitu tinggi, angin kencang, dan persediaan makanan yang habis.

Pada 13 Maret 1293, armada itu tiba di Karimun Jawa, dan invasi dimulai pada 22 Maret ketika tiba di perairan Tuban. Tetapi mereka malah melawan dua kekuatan perang, antara Raden Wijaya dan Kertanegara yang sampai menewaskan 3.000 prajurit Mongol.

Hubungan dalam pernikahan

Peran Champa di Jawa juga hadir melalui Ratu Dwarawati, seorang putri raja Champa yang sudah memeluk agama Islam. Dirinya dinikahkan dengan Prabu Brawijaya V yang disebut raja terakhir dari Majapahit.

Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawa, Prabu Brawijaya bermimpi memiliki istri putri dari Negeri Champa. Paginya setelah bangun tidur, dirinya memanggil patih dan memerintahkannya pergi ke Negeri Champa.

Dirinya menitipkan sepucuk surat untuk raja di Champa berisi lamaran untuk putrinya. Perjalanan patih selamat sampai tujuan dan langsung menghadap sang raja kemudian menyerahkan surat lamaran yang langsung diterima.

Putri Champa dibawa ke Jawa. Mereka juga membawa gong Kiai Sekar Delima dan tandu Kiai Jebat Bedri. Rombongan selamat sampai di Majapahit dan sang putri dipertemukan dengan Prabu Brawijaya.

Prabu Brawijaya V menikah lagi dan memperoleh putri dari China. Ratu Dwarawati cemburu dan meminta dipulangkan ke negerinya. Prabu Brawijaya tak sampai hati, hingga akhirnya menyerahkan Putri China kepada Arya Damar penguasa Palembang.

Kini, kompleks makam di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur diyakini banyak orang sebagai pusara Putri Champa. Lokasinya tak jauh, di utara timur Kolam Segaran. Kompleks makam Putri Champa adalah salah satu situs ziarah paling terkenal di Trowulan.

Kuburan yang dikenal juga sebagai Putri Cempo ini pernah dikunjungi oleh J.W.B Wardenaar yang mensurvei tinggalan purbakala di Trowulan atas perintah Gubernur Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles pada 1815.

“...desa yang berdekatan adalah Trawoelan, atau Trang Wulan (cahaya bulan), di sini kami menemukan makam Putri Champa..” tulis Raffles ketika menguraikan situs Putri Champa dalam bukunya History of Java yang dimuat Historia.

Dyah Wiyat dan Kisah Cinta Segitiga dalam Intrik Kekuasaan di Majapahit

Makam Putri Champa itu kini dikeramatkan, banyak peziarah datang terutama pada malam Jumat Kliwon. Namun kebenaran makam Putri Champa ini masih simpang siur, karena di daerah lain banyak klaim serupa.

Selain di Trowulan, makam Putri Champa juga dipercaya masyarakat berada di Gresik, tepatnya di Gunungsari, Sidomoro, Kebomas, tak jauh dari makam Sunan Giri, ada bangunan makam dengan cungkup berdinding merah.

Kisah Putri Champa juga dikaitkan dengan orang-orang suci penyebar Islam di Surabaya dan Gresik. Dalam Serat Kanda, dikisahkan Raja dan masyarakat Champa telah memeluk agama Islam berkat Makdum Ibrahim.

Sebagai tanda terima kasih dan penghargaan, Makdum Ibrahim kemudian diambil menantu oleh raja dan dikawinkan dengan adik perempuan Putri Champa, permaisuri Raha Brawijaya V. Dari perkawinan ini, lahirlah Raden Rahmat dan Raden Santri.

“Cempa (Champa) dikatakan sebagai negara asal Muslim pertama yang datang ke Jawa,” tulis H.J. de Graaf dan Th G Th Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini