Fenomena Citayam Fashion Week yang terjadi di kawasan Dukuh Atas, Jakarta memang memunculkan sudut pandang baru. Banyak publik yang menilai bahwa kota sekitar Jakarta seperti Bekasi, Depok, dan Bogor juga butuh digencarkan pembangunan fasilitas ruang publik yang memadai, agar masyarakatnya memiliki kesempatan untuk mengakses fasilitas serupa.
Bukan direspons dengan wacana pembangunan, tanggapan berbeda justru datang dari Pemkot Depok, salah satu kota satelit Jakarta yang selama ini memang dikenal sebagai penyangga dan tempat tinggal para pekerja Ibu Kota.
Melihat fenomena banyaknya masyarakat Citayam dan Depok yang berbondong-bondong ke Jakarta, Wali Kota Depok, Mohammad Idris menyuarakan agar wilayah administrasinya bergabung dengan Jakarta.
"Satu ide saya, kalau mau sukses pembangunan Jakarta dan sekitarnya, satukan Jakarta Raya. Masalah banjir, masalah apa, bisa selesai semua. Kalau satu Gubernur Jakarta Raya." Ujar Idris, mengutip Detikcom.
Bukan ungkapan baru, sebelumnya di tahun 2019 Idris juga pernah mengungkapkan pernyataan serupa. Jika diminta untuk memilih, Idris mengaku lebih condong menjadi bagian dari Jakarta ketimbang Bogor Raya.
Bukan tanpa alasan, menurutnya hal tersebut lebih wajar karena Depok dan Jakarta dinilai memiliki kesamaan dalam hal budaya dan bahasa yakni Betawi, serta dari kedekatan wilayah.
Bisa dibilang sebagai kota yang belum terbaru lama dibanding Bogor dan Jakarta, jika menilik asal-usulnya bagaimana sebenarnya awal mula pembentukan Kota Depok?
Citayam Fashion Week dan Bukti Kebutuhan Masyarakat Akan Ruang Publik
Berawal dari salah satu Kecamatan cakupan Bogor
.jpg)
Seperti yang diketahui, Depok saat ini menjadi salah satu kota yang masuk dalam wilayah Provinisi Jawa Barat. Awal mulanya kota ini berasal dari sebuah Kecamatan di wilayah Parung, Kabupaten Bogor, yang mulai dikenal sebagai kawasan pemukiman di tahun 1976.
Pesatnya aktivitas perdagangan, apalagi ditambah dengan dibangunnya kawasan kampus Universitas Indonesia membuat Menteri Dalam Negeri di masa Pemerintahan Order Baru, yakni Amir Machmud mengkaji peningkatan status Depok dari Kecamatan menjadi Kota Administratif.
Tujuannya, peningkatan status dilakukan agar pembangunan lebih tertata dan terarah, ketimbang berstatus sebagai Kecamatan di wilayah Bogor yang hanya dipimpin oleh Camat.
Akhirnya pada tahun 1999, lahirlah Depok yang dimekarkan dan seluruh desanya berganti status menjadi Kelurahan. Hasil pemekaran tersebut membentuk 3 Kecamatan dan 17 Desa, yang terdiri dari Kecamatan Pancoran Mas dengan 6 desa, Kecamatan Beji yang memiliki 5 desa, dan Kecamatan Sukmajaya dengan 6 desa.
Bukan hanya itu, sebagian wilayah Depok juga bersinggungan dengan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, yang meliputi Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan, Kecamatan Limo, dan Kecamatan Bojong Gede.
Meski riwayat pembentukannya jelas lebih condong ke Bogor atau bagian dari Jawa Barat. Tapi rupanya wacana untuk menjadikan kota satelit ini bergabung dengan Jakarta Raya sudah sering terdengar.
Tahura Pancoran Mas, Saksi Bisu Depok Jadi Hutan Kota Zaman Hindia Belanda
Antara penggabungan administrasi atau tata ruang
Apa yang diusulkan oleh Wali Kota Depok saat ini bukan kali pertama muncul, keinginan yang sama rupanya juga sudah lebih dulu pernah diusulkan oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta yang menjabat pada tahun 1997-2007, yakni Sutiyoso.
Bedanya, kalau Wali Kota Depok saat ini ingin bergabung secara administrasi, Sutiyoso lebih ingin agar tidak hanya Depok melainkan Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Jakarta digabungkan secara tata ruang, sehingga menerapkan konsep megapolitan.
Maksudnya, dalam artian secara administratif Bekasi, Depok, dan Bogor tetap berada di wilayah Jawa Barat, dan Tangerang masih tetap wilayah Banten. Namun, daerah-daerah tersebut bersama-sama Jakarta membangun tata ruangnya.
"Kalau menyatu seperti itu (administrasi), Bodetabek itu hanya dapat racunnya. Itu akan menjadi dapat madunya jika digabung megapolitan, nanti pembangunan akan bergeser ke tempat dia," pungkas sosok yang akrab disapa Bang Yos tersebut, pada tahun 2019.
“Transportasi bisa menyatu menjadi satu sistem. Banjir kita bisa atasi bersama” tambahnya lagi.
Ungkapan di atas yang sekiranya dapat dijadikan jawaban, bahwa keinginan untuk menyatukan Depok menjadi satu wilayah administratif dengan Jakarta Raya tidak terlalu perlu dilakukan.
Jika alasannya adalah agar masyarakat bisa mendapat hak dan akses lebih mudah ke ruang publik memadai seperti yang ada di Jakarta, hal tersebut mendapat pandangannya sendiri menurut pengamat sosial dari Universitas Indonesia, yakni Devie Rahmawati.
Mengutip Narasi Newsroom, disebutkan bahwa ruang publik bukan faktor tunggal yang menyebabkan masyarakat luar Jakarta berbondong-bondong datang ke Sudirman. Menurutnya, ada hal lain yang dimiliki Jakarta yakni mengenai kesan kota elit yang membuat masyarakat ingin menjadi bagian dari hal tersebut.
Fenomena berbondong-bondongnya masyarakat ke kawasan Dukuh Atas juga bukan karena keistimewaan berlebih, melainkan karena kebetulan destinasi termudah yang bisa diakses adalah kawasan tersebut. Lebih lanjut menurut Devie, sebagai masyarakat hierarki Jakarta yang sudah elite juga masih memiliki tingkatan hierarkienya.
"Siapa yang dianggap paling kota di antara orang kota (Jakarta)? Pasti jawabannya satu, Jaksel (Jakarta Selatan)," jelas Devie.
"Kenapa kemudian anak-anak (masyarakat) itu bukan ke Jaksel? Sederhana, engga ada aksesnya, kereta yang murah dan mudah itu berhentinya di situ (Dukuh atas). Kalau ada yang tiba-tiba ke Pondok Indah atau Kemang, saya yakin mereka juga akan ke situ" pungkasnya.
Sejarah Kereta Rel Listrik, Moda Transportasi Andal Masyarakat Jabodetabek
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News